Saturday, September 29, 2007

Rumusan Penanggulangan Kelangkaan BBM

Rancangan & Usulan Bahan Rumusan Untuk Penyusunan Kebijakan Penanggulangan Kelangkaan BBM

Disusun Oleh :
ARULAN HATTA
Direktur Eksekutif
BBMWATCH Research Indonesia

EVALUASI PENYEDIAAN DAN PENDISTRIBUSIAN BBM DALAM RANGKA PENANGGULANGAN KELANGKAAN BBM

POKOK BAHASAN
1. PENDAHULUAN
2. FAKTOR-FAKTOR DOMINAN PENYEBAB KELANGKAAN BBM
3. DEFINISI KELANGKAAN BBM
4. PEDOMAN UMUM PENCEGAHAN KELANGKAAN BBM
5. TANGGAP DARURAT PENANGGULANGAN KELANGKAAN BBM
6. OPTIMALISASI SISTEM PENGAWASAN BBM NASIONAL
7. PENGATURAN ASPEK KELEMBAGAAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF.
8. OPTIMALISASI SISTEM DAN INFRASTRUKTUR PENYEDIAAN DAN PENDISTRIBUSIAN BBM
- RE-EVALUASI MEKANISME PENETAPAN KUOTA-ALOKASI BBM, KHUSUSNYA MINYAK TANAH.
- RE-EVALUASI DAN PENETAPAN SISTEM DISTRIBUSI MINYAK TANAH.
- OPTIMALISASI POLA DISTRIBUSI BBM UNTUK DAERAH TERPENCIL
- PENETAPAN POLA DISTRIBUSI BBM REGULER, ALTERNATIF, DAN EMERGENCY.
- PROGRAM PENGAWASAN MINYAK MENTAH KPS
- OPTIMALISASI DAN PENGEMBANGAN KILANG NASIONAL
- OPTIMALISASI INFRASTRUKTUR PENGANGKUTAN BBM
- OPTIMALISASI INFRATRUKTUR PENYIMPANAN BBM
- PERENCANAAN CADANGAN BBM NASIONAL
- PERENCANAAN CADANGAN MINYAK STRATEGIS.


PENDAHULUAN

1. Rasionalisasi
- Salah satu penyebab utama kelangkaan BBM adalah karena belum optimalnya kebijakan yang ada.
- Suatu pedoman/ peraturan diperlukan agar proses pengambilan keputusan memiliki suatu acuan dan arah yang standar, jelas, serta efektif.
- Hingga kini, belum ada kebijakan yang mengatur secara khusus mengenai penanggulangan kelangkaan BBM di Indonesia sehingga penanganannya cenderung lamban dan terkesan ada saling lempar tanggung jawab antar stakeholder.
- Rumusan kebijakan ini disusun berdasarkan analisis data lapangan, pengkajian peraturan/ perundang-undangan terkait, serta diskusi dengan beberapa stakeholder terkait dan menguasai.

2. Dasar Hukum
- Undang-Undang No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
- Peraturan Pemerintah No 36 tahun 2004 tentang kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi.
- Peraturan Presiden No 71 tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.


3. Bentuk Rumusan Kebijakan
- Bahwa Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi adalah representasi dari Pemerintah sebagai pembuat/ penyusun kebijakan makro.
- Agar kebijakan nanti bisa juga teknis dalam menanggulangi kelangkaan BBM, maka bahan dari kajian ini dipersiapkan sebagai rumusan kebijakan dalam bentuk “Pedoman Umum” yang nantinya bisa ditetapkan dalam format Keputusan Dirjen/ Keputusan Menteri.

4. Kegunaan & Status Pedoman
- Tujuan pedoman umum ini adalah untuk memberikan gambaran umum mengenai penanggulangan kelangkaan BBM yang dapat digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah beserta stakeholder yang lain. Sehingga akan diperoleh kesepahaman yang sama dalam penanggulangan kelangkaan BBM.
- Selanjutnya untuk peningkatkan efektifitas dalam pelaksanaannya, Pemerintah senantiasa harus melakukan kajian dan penyempurnaan terhadap pedoman ini yang hasilnya diterbitkan secara berkala dan didiskusikan dengan stakeholder terkait.

5. Beberapa Hal Krusial Yang Harus Diperhatikan Stakeholder
- Perlu penangangan dan penaggulangan yang cepat dan tepat terhadap kelangkaan BBM. Di beberapa wilayah, yang mengalami kelangkaan BBM umumnya terjadi dalam rentang waktu yang lama (lebih dari 1 minggu);
- Kelangkaan BBM di daerah terpencil umumnya disertai dengan lonjakan harga eceran yang sangat tinggi diatas kewajaran, padahal daerah terpencil ini umumnya memiliki rasio kemiskinan yang lebih besar.
- Pemberitaan terhadap kelangkaan BBM di suatu wilayah umumnya tidak proporsional dengan kondisi yang sebenarnya, sehingga seolah memojokkan peran Pemerintah/ Badan Regulasi/ Pemerintah yang dianggap gagal dalam mendistribusikan BBM.

6. Perspektif Kebijakan
- Dalam perspektif kebijakan, penanggulangan/ pencegahan kelangkaan BBM dapat dilakukan melalui 7 (tujuh) kegiatan utama:
1. Merumuskan Definisi “Kelangkaan BBM”
2. Merumuskan Langkah-Langkah Pencegahan Kelangkaan BBM
3. Merumuskan Langkah Tanggap Darurat Penanggulangan Kelangkaan BBM;
4. Optimalisasi Sistem Pengawasan Kelangkaan BBM
5. Pengaturan fungsi koordinasi dan pelaporan lembaga dan penetapan sanksi administratif.
6. Optimalisasi sistem dan pengembangan infrastruktur dalam penyediaan BBM;
7. Optimalisasi sistem dan pengembangan infrastruktur dalam Pendistribusian BBM;


FAKTOR-FAKTOR DOMINAN PENYEBAB KELANGKAAN BBM

1. Klasifikasi Faktor Dominan
Berdasarkan temuan lapangan serta penulusuran data sekunder maka ditemukan berbagai macam modus kelangkaan BBM. Pada prinsipnya faktor-faktor dominan penyebab kelangkaan BBM dapat diklasifikasikan dalam 4 kelompok besar:
- Faktor Alam
- Faktor Teknis
- Faktor Ekonomis
- Faktor Kebijakan

1.1 FAKTOR ALAM
Kelangkaan BBM Karena Faktor Alam
- Kelangkaan BBM Karena Faktor Alam adalah suatu kondisi dimana kelangkaan BBM terjadi karena kondisi alam yang tidak mendukung moda dan jalur transportasi sehingga distribusi BBM menjadi terganggu atau terhambat sama sekali.

- Berdasarkan hasil survey dan penelusuran data, kelangkaan BBM yang disebabkan oleh faktor alam ini diantaranya:
1. Gangguan cuaca
2. Jalan/ jembatan rusak akibat gejala alam/ bencana
3. Geografis (pegunungan, pedalaman) yang sulit
4. Pendangkalan sungai/ laut/ Pelabuhan sehingga kapal yang mengangkut BBM menjadi tidak dapat/ terganggu dalam memasok BBM pada suatu Depo/ Instalasi/ terminal/ lembaga penyalur.

1.2 FAKTOR TEKNIS

Kelangkaan BBM Karena Faktor Teknis

- Kelangkaan BBM karena Faktor Teknis adalah suatu kondisi dimana kelangkaan BBM terjadi karena sisi pasokan (supply side) dalam hal ini sistem dan infrastruktur penyediaan dan pendistribusian yang terganggu atau kurang optimal, sehingga distribusi BBM menjadi terganggu atau terhambat sama sekali.

- Dari temuan lapangan yang bisa masuk dalam kelangkaan yang disebabkan faktor teknis ini disebabkan oleh:
+ Infrastruktur yang rusak/ perlu perawatan
+ Jumlah/ kapasitas infratruktur penyimpanan dan pengangkutan yang kurang
+ Kompleksitas tata niaga minyak tanah
+ Penyebaran infrastruktur penyimpanan serta lembaga penyalur yang kurang merata
+ Pola pengaturan pengisian di depo dari tangker yang kurang teratur (Antrian).


1.3 FAKTOR EKONOMIS

Kelangkaan BBM Karena Faktor Ekonomis

- Kelangkaan BBM Karena Faktor Ekonomis adalah suatu kondisi dimana kelangkaan BBM terjadi karena sisi permintaan (demand side) meningkat melebihi sisi pasokan sehingga terjadi ketidakseimbangan.

- Dari kegiatan survey dan pengumpulan data sekunder maka umumnya kelangkaan BBM yang disebabkan karena faktor ekonomis ini terjadi karena beberapa hal diantaranya:
+ Pertumbuhan Penduduk
+ Pertumbuhan Ekonomi dan Industri
+ Pertumbuhan Kendaraan Bermotor
+ Kondisi musim tertentu (panen, lebaran, dll)
+ Aspek psikologis (Panic buying)
+ Disparitas Harga (Maraknya penyalahgunaan)


1.4 FAKTOR KEBIJAKAN

Kelangkaan BBM Karena Faktor Kebijakan
- Kelangkaan BBM karena Kebijakan adalah suatu kondisi dimana kelangkaan BBM terjadi karena adanya kebijakan pemerintah/ badan regulasi/ badan usaha/ pemerintah daerah/ lembaga penyalur yang kemudian mengakibatkan seimbangnya/ terganggunya pasokan BBM dibandingkan dengan permintaan/ kebutuhan yang ada.
- Berdasarkan hasil survey dan pengumpulan data, kelangkaan BBM yang disebabkan oleh faktor kebijakan ini diantaranya:
+ Penetapan kuota dan alokasi yang kurang tepat
+ Pengawasan yang tidak optimal
+ Pengaturan distribusi yang tidak baik.
+ Koordinasi antar stakeholder yang tumpang tindih/ berjalan
+ Maraknya penyalahgunaan karena tidak ada sanksi yang jelas


DEFINISI KELANGKAAN BBM

Temuan Lapangan
Berdasarkan kegiatan survey dan pengumpulan informasi/ wawancara diperoleh:
- Dari sisi waktu, kelangkaan BBM umumnya memiliki rentang waktu mulai dari 2 (dua) hari hingga 3 (tiga) bulan.
- Umumnya kelangkaan BBM yang terjadi disertai dengan lonjakan harga eceran mulai dari 10% hingga diatas 100%.
- Kelangkaan BBM umumnya ditunjukkan dengan kondisi visual terjadinya antrian orang membeli BBM yang diperkuat dengan adanya penjatahan BBM.
- Kelangkaan BBM yang terjadi umumnya dipersepsikan sebagai tidak tersedianya BBM di titik penjualan (lembaga penyalur dan pengecer) dalam suatu wilayah mulai dari tingkat kelurahan-kabupaten/ kota.


Definisi Saat Ini
Definisi umum soal kelangkaan BBM saat ini:
- Bagi Media dan Publik, Kelangkaan BBM bisa didefinisikan: “Antrian Masyarakat Membawa Jerigen Minyak Tanah, atau Antrian Kendaraan Bermotor di SPBU yang ingin membeli premium dan Solar dan disertai dengan penjatahan”
- Bagi Pertamina, kelangkaan BBM relatif tidak pernah terjadi, yang terjadi adalah terhambatnya pasokan BBM ke suatu lokasi, sedangkan stok BBM masih ada (status aman)
- Bagi Pemerintah Daerah, bahwa kelangkaan BBM didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana masyarakat sulit mendapatkan BBM baik karena pasokan yang kurang, terhambat, ataupun karena kuota/ alokasi yang diberikan memang sudah tidak mencukupi.
- Bagi BPH Migas, kelangkaan BBM hanya didefiniskan sebagai ketidaktersediaan BBM dalam kurunwaktu tertentu.
Permasalahan
- Antara stakeholder (Pemerintah, Badan Pengatur, badan Usaha, Pemerintah Daerah, lembaga penyalur, serta konsumen akhir) memiliki pemahaman yang berbeda soal kelangkaan karena kepentingan yang berbeda.
- Hingga kini belum ada keseragaman dalam definisi dan kriteria-kriteria suatu daerah dikatakan mengalami kelangkaan BBM. Dari pemantauan di lapangan antara stakeholder terkait umumnya memiliki persepsi yang berbeda terhadap kelangkaan BBM.
- Demikian juga halnya antara pemberitaan media dengan kejadian nyata (factual) di masyarakat. Akibatnya, dengan adanya perbedaan terhadap definisi ini telah menyebakan terjadinya mis-persepsi soal kelangkaan BBM.
- Definisi kelangkaan umumnya tidak terlalu detail menjelaskan kriteria sehingga seringkali menimbulkan mis-persepsi.


Bahan Rumusan
Rancangan Definisi Kelangkaan BBM:
- Perlu ditetapkan oleh Pemerintah Definisi dan Kriteria suatu daerah dikatakan langka BBM agar lebih jelas dan standar sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran persepsi (mis-persepsi)
- Sebagai kerangkanya, definisi/ kriteria kelangkaan BBM harus mencakup beberapa hal seperti:
+ Berapa “batas psikologis” stok BBM pada saat kelangkaan?
+ Berapa lama kejadian tersebut berlangsung?
+ Di titik mana kelangkaan tersebut terjadi?
+ Sampai wilayah adminitratif/ radius berapa kelangkaan terjadi?
+ Seberapa besar lonjakan harga eceran?
+ Hal-hal lain yang dianggap pendukung (Antrian/ penjatahan)


Usulan Definisi (Minyak Tanah)
Suatu kondisi bisa disebut “Kelangkaan Minyak Tanah” apabila memenuhi setidaknya 5 (lima) kriteria berikut:
- Terjadi lonjakan harga eceran ditingkat penyalur resmi (Pangkalan) dan pengecer sebesar minimal 20% dari harga kondisi normal.
- Minyak Tanah yang tersedia di Pangkalan dan pengecer kurang dari 10% dari kondisi normal selama kelangkaan terjadi.
- Minyak Tanah tidak tersedia dalam radius minimum 10 km dari wilayah terindikasi langka atau dalam satu wilayah administratif setingkat kelurahan/ Desa.
- Terjadi antrian warga pangkalan setidaknya 3 (tiga) hari berturut-turut.
- Ada penjatahan maksimal 5 (lima) liter per Rumah Tangga selama 3 (tiga) hari berturut-turut.
- Minyak Tanah yang tersedia di Depo penyuplai kurang dari 50% kondisi normal.
- Terjadi dalam kurun waktu lebih dari 3 (tiga) hari berturut-turut.

Usulan Definisi (Premium dan Solar di SPBU)
Suatu kondisi bisa disebut “Kelangkaan Premium dan Solar” apabila memenuhi setidaknya 5 (lima) kriteria berikut:
- Terjadi dalam kurun waktu lebih dari 3 (tiga) hari berturut-turut.
- Terjadi lonjakan harga eceran ditingkat penyalur resmi (SPBU) dan pengecer sebesar minimal 10% dari harga kondisi normal.
- Premium atau solar yang tersedia di tingkat penyalur resmi dan pengecer kurang dari 10% dari kondisi normal selama kelangkaan terjadi.
- Premium atau solar tidak tersedia dalam radius minimum 15 km dari wilayah terindikasi langka atau dalam satu wilayah administratif setingkat kecamatan.
- Terjadi antrian warga/ kendaraan di SPBU hingga keluar dari area SPBU setidaknya 3 (tiga) hari berturut-turut.
- Ada penjatahan setidaknya 5 (lima) liter per kendaraan roda 4 setidaknya selama 3 (tiga) hari berturut-turut.
- Premium atau solar yang tersedia di Depo penyuplai kurang dari 50% kondisi normal.


PENCEGAHAN KELANGKAAN BBM
Pencegahan terhadap kelangkaan BBM dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan:
- Pengawasan intensif/ khusus pada daerah-daerah yang telah diklasifikasikan secara berkala sering mengalami kelangkaan.
- Perbaikan dan pengembangan terhadap pola dan moda distribusi pada wilayah-wilayah yang seringkali mengalami kelangkaan BBM karena faktor alam.
- Penggunaan Early Warning System terhadap neraca volume stok BBM yang ada di tingkat Depo (pengaturan stok optimal).
- Penekanan dan sosialisasi kepada badan usaha/ lembaga penyalur akan adanya sanksi administrasi jika terjadi kelangkaan BBM di wilayah kerjanya.
- Badan usaha wajib melaporkan/ mempresentasikan alokasi dan kesimbangan supply-demand BBM diwilayah kerjanya kepada Pemerintah setiap bulan sekali.
- Lembaga penyalur wajib melaporkan volume, titik dan wilayah penyaluran BBM setiap bulan sekali kepada Pertamina dan Pemerintah Daerah.
- Setiap bulan, Pemerintah Daerah wajib membuat laporan kepada Pertamina mengenai keseimbangan estimasi tingkat kebutuhan serta volume pasokan BBM diwilayahnya.
- Perlu dilakukan “Audit Berkala Angka Penjualan” oleh Badan Usaha terhadap lembaga penyalur yang ada didaerahnya.
- Sosialisasi kepada lembaga penyalur, badan usaha, Pemerintah Daerah mengenai beberapa kegiatan operasional yang dilarang di tingkat lembaga penyalur (sesuai UU dan Peraturan yang berlaku nasional)

TANGGAP DARURAT PENANGGULANGAN KELANGKAAN BBM
Kondisi Faktual di Lapangan
Berdasarkan penelusuran data dan survey di lapangan diperoleh temuan sebagai berikut:
- Suatu kondisi kelangkaan umumnya tidak tertanggulangi dengan baik oleh badan usaha dimana dari survey yang dilakukan serta berdasarkan hasil analisis monitoring berita kelangkaan ternyata kondisi kelangkaan umumnya berjalan berlarut-larut hingga lebih dari 1 (satu) minggu. Ini membuktikan bahwa tanggap darurat (quick response) terhadap kelangkaan BBM masih berjalan belum dengan baik.
- Keberadaan BPH Migas selama ini terhadap penanggulangan kelangkaan masih hanya sebatas melakukan kunjungan lapangan (site visit) secara sampling dan terbatas pada pengumpulan data.

Kondisi Faktual di Lapangan
- Selama ini Pertamina hanya fokus dalam penyiapan skenario pasokan, namun tidak utuk distribusi. Dari semua UPMS Pertamina yang didatangi dan dimintai data, mereka hanya bisa menunjukkan gambaran pola suplai untuk 3 (tiga) kondisi yaitu reguler, alternatif, dan emergency. Sedangkan untuk pola distribusi untuk kondisi yang sama belum tersedia. Apabila terjadi kelangkaan umumnya hanya melakukan Operasi Pasar.
- Pada saat kelangkaan BBM terjadi, Pemerintah Daerah cenderung mendapat respon yang kurang cepat dari Pertamina. Belum lagi terkadang di beberapa daerah terjadi koordinasi yang kurang baik antara Pemerintah Daerah dan Pertamina dalam melaksanakan tanggap darurat penanggulangan kelangkaan BBM karena tidak ada pedoman umum yang disepakati bersama.


Langkah Tanggap Darurat
- Yang dimaksud “tanggap darurat” adalah proses penyelenggaraan (intervensi) oleh badan usaha selambat-lambatnya pada hari ke-3 mulai kondisi kelangkaan dilaporkan/ diberitakan.

Langkah Tanggap Darurat:
- Dalam kondisi darurat, Badan Usaha (Pertamina) dapat langsung melakukan operasi pasar (OP) tanpa harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan lembaga penyalur, untuk itu Badan Usaha wajib menyediakan angkutan khusus milik badan usaha.
- Operasi Pasar akan terus dilakukan di lokasi terjadinya kelangkaan hingga kondisi pasokan BBM di wilayah tersebut tertangani dengan baik. Langkah ini juga dalam upaya stabilisasi harga eceran.
- Pemerintah daerah (Tingkat II) pada lokasi terjadinya kelangkaan BBM, dapat langsung berkoordinasi dengan Pertamina (UPMS/ Cabang/ Depo) untuk penanggulangan kelangkaan BBM secara efektif dan efisien.
- Sebagai pelaksana kebijakan teknis Pemerintah, BPH Migas harus melakukan Counter Issue (melalui mekanisme siaran pers) apabila kelangkaan ini diberitakan melalui media. Untuk itu harus ada koordinasi dan kerjasama antara BPH Migas dengan instansi terkait di daerah (Pertamina, Pemda, dan aparat lainnya).
- Dalam kondisi tertentu dimana kelangkaan BBM terjadi secara meluas dan cenderung terjadi pada daerah yang “politis” maka, BPH Migas harus melakukan kunjungan lapangan (Site Visit) dan melakukan siaran pers untuk dilaporkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.


OPTIMALISASI SISTEM PENGAWASAN TERHADAP KELANGKAAN BBM
Fakta Lapangan
Berdasarkan hasil survey dan pengumpulan data:
- Masih maraknya kelangkaan BBM yang disebabkan karena adanya penyalahgunaan BBM yang bukan peruntukkan semestinya. Ini membuktikan bahwa pengawasan yang ada saat ini masih sangat lemah.
- Selama ini peristiwa kelangkaan BBM umumnya diketahui melalui pemberitaan media sehingga memberikan kesan Pemerintah dan Pertamina “kalah cepat” dalam mengidentifikasi adanya kelangkaan BBM. Ini membuktikan belum optimalnya sistem pengawasan terhadap kelangkaan BBM.
- Peran pemerintah daerah dalam pengawasan distribusi BBM ternyata lebih terlihat dibandingkan lembaga-lembaga yang lain (Pertamina, BPH Migas, Hiswana).
- Masih banyak ditemukan suatu kondisi dimana lembaga pengawas yang ada di lapangan bekerja tidak sistematis, seringkali terjadi benturan kepentingan di lapangan.


Permasalahan
- Pemerintah sebenarnya telah menyusun suatu sistem dan organisasi pengawasan nasional. Secara konsep sudah nampak bagus, namun dalam implementasinya masih sangat kurang.
- Sistem pengawasan BBM yang direncanakan selama ini belum berjalan optimal, dimana terlihat bahwa BPH Migas cenderung tidak akomodatif (koordinasi dan pelaporan) terhadap stakeholder yang lain serta cenderung berjalan sendiri.
- Disamping itu belum adanya standar operasional dan prosedur/ pedoman umum terhadap penanggulangan kelangkaan BBM membuat pengawasan kelangkaan BBM di Lapangan menjadi tidak optimal.


Optimalisasi dan Alternatif Kebijakan:
- Pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian BBM harys dilakukan secara kontinyu dan konsisten. Pengawasan yang baik akan menjadi “early warning system” yang baik.
- Pengawasan dalam format investigasi harus dilakukan secara periodik dan random pada lembaga penyalur yang ada sehingga akan selalu diperoleh data yang akurat.
- Dalam menjalankan pengawasan, Pemerintah dapat melibatkan publik sebagai subjek. Harus dibuat sebuah sistem pelaporan yang murah dan mudah digunakan (user friendly) oleh publik. Sistem ini juga hendaknya dibuat dalam sistem informasi yang terbuka.
- BPH Migas sebagai badan pengawas independen bentukan Pemerintah agar lebih melibatkan peran stakeholder lain sesuai dengan organisasi pengawasan serta job description yang telah disepakati (Terlampir).
- Perlu dibuat pengawasan khusus pada daerah-daerah yang sercara berkala mengalami kelangkaan, daerah terpencil, serta daerah yang memiliki nilai politis tinggi.


PENGATURAN KELEMBAGAAN DAN SANKSI ADMINISTRASI
Kondisi Faktual Lapangan
Berdasarkan analisis terhadap data survey:
- Dalam konteks terjadinya kelangkaan BBM, maka masyarakat umumnya menyorotinya sebagai kesalahan Pemerintah/ Pertamina. Pertamina dinilai telah gagal dalam melakukan pendistribusian BBM, sehingga harus diberikan sanksi sebagai efek jerah dan lebih ada tanggung jawab.
- Hal lain, masyarakat juga menilai bahwa antara Pemerintah Daerah, Pertamina, Lembaga Penyalur cenderung saling lempar tanggung jawab apabila kelangkaan BBM terjadi.

Permasalahan
- Pihak Pertamina belum bisa sepenuhnya memahami posisinya sebagai badan usaha yang “bekerja” untuk Pemerintah. Akibatnya Pertamina cenderung tidak memahami fungsi koordinasi dan pelaporan terhadap Pemerintah cq Ditjen Migas.
- Selama ini hnya diatur secara tegas mengenai margin (keuntungan) Badan Usaha yang ditunjuk sebagai pelaksana/ penanggungjawab Public Service Obligation (PSO). Sedangkan mengenai sanksi bagi badan usaha apabila tidak dapat menjaga kondisi pasokan dan Pendistribusian BBM dari kelangkaan hingga kini belum diatur secara tegas. Kondisi ini telah menyebabkan Badan Usaha akan lebih berorientasi pada keuntungan perusahaan.
- Hal lain adalah fungsi regulasi oleh badan pengatur seperti yang diamanahkan Peraturan/ perundang-undangan belum berjalan dengan baik. Perlu juga diatur sanksi administratif untuk badan regulasi serta lembaga penyalur hingga konsumen akhir yang secara langsung atau tidak mengakibatkan kelangkaan terjadi atau tidak teratasinya kondisi tersebut dengan baik.


Usulan Kebijakan Alternatif

Kelembagaan & Sanksi Administrasi
- Pemerintah cq Ditjen Migas adalah pemegang kekuasan tertinggi dalam struktur kelembagaan sektor hilir migas diatas fungsi regulator (BPH Migas), badan usaha, serta lembaga penyalur. Untuk itu perlu diatur suatu fungsi koordinasi dan pelaporan yang lebih jelas sesuai dengan peraturan/ perundangan yang berlaku.
- Hal yang utama diatur adalah Badan Usaha yang ditunjuk sebagai pelaksana/ penanggungjawab Public Service Obligation (PSO) harus diterapkan secar tegas prinsip Reward and Punishment. Badan usaha disamping mendapatkan penggantian biaya dan margin, juga harus diberikan sanksi apabila tidak dapat menjaga kondisi pasokan dan Pendistribusian BBM dari kelangkaan;
- Perlu juga diatur sanksi administratif untuk badan regulasi serta lembaga penyalur hingga konsumen akhir yang secara langsung atau tidak mengakibatkan kelangkaan terjadi atau tidak teratasinya kondisi tersebut dengan baik.

Friday, September 28, 2007

BBMWATCH NEWS Edisi Oktober 2007

+ Harga Motor Gasoline (Mogas) Singapore yang menjadi acuan harga Premium sedikit mengalami penurunan. Akibatnya harga Keekonomian Premium pada periode Oktober 2007 turun 2,16% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi Rp 5.816/ Liter. Meski mengalami penurunan, harga ini belum menyentuh harga jual bersubsidi dalam negeri yang mencapai Rp 4.500/liter.

+ Harga Gasoil Singapore yang menjadi acuan harga Solar mengalami kenaikan tipis. Harga keekonomian solar Oktober 2007 naik 1,55% menjadi Rp. 6.351/ Liter. Sama halnya dengan Premium, maka beban subsidi solar (sektor transportasi) juga semakin besar.

+ Hal yang sama juga terjadi pada harga kerosene Singapore sebagai acuan harga minyak Tanah. Harga Keekonomian Minyak tanah pada bulan Oktober 2007 naik tipis sebesar 0,25% menjadi Rp. 6.386/ liter, akibatnya subsidi minyak tanah akan sedikit naik hingga mencapai diatas Rp. 4.000/ liternya.

+ Berdasarkan perhitungan BBMwatch, harga Pertamax, Pertamax Plus, dan Pertamina DEX (Solar Grade Tinggi) pada Oktober 2007 nanti diperkirakan berturut-turut mencapai Rp. 6.016, Rp. 6.240, dan Rp. 6.851 per Liternya.

+ Untuk harga Bahan Bakar Nabati/ Biofuel sesuai dengan harga referensi Biodiesel dan Ethanol bulan Juli-September 2007 sedikit mengalami penurunan. Diperkirakan harga keekonomian Ethanol (Bio-Premium) dan Biodiesel (Bio-Solar) berturut-turut mencapai angka Rp. 4.470/ liter, dan Rp. 7.540 / Liternya.

+ Harga LPG Saudi Aramco Contract Prices (Aramco CP) berdasar data akhir September 2007 yang dapat menjadi acuan harga keekonomian LPG bulan Oktober 2007 di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 5.850/Kg.

+ Harga Minyak Mentah BCI-13 (Rata-rata Harga Minyak Mentah dari 13 Negara Pilihan BBMwatch berdasarkan aspek sensitivitas geopolitik & konsistensi volume produksi) mencapai US$ 70.82/ Barel. Total produksi per September 2007 dari negara BCI-13 mencapai 50.290.000 barel, sekitar 60% produksi dunia.

Thursday, September 20, 2007

Kontrak Pengusahaan Migas di Indonesia

Sampai tahun 2000, ada lima jenis kontrak yang dipakai dalam eksplorasi dan produksi minyak yaitu:
(a) Kontrak Karya
(b) Kontrak Production Sharing – KPS (Production Sharing Contract - PSC),
(c) Joint Operating Agreement (JOA atau Joint Operating Body –JOB,
(d) Tecnical Assistance Contract – TAC, dan
(e) Kontrak Enhance Oil Recovery –EOR Contract

Dari kelima jenis kontrak tersebut, hanya PSC yang diatur dengan undang-undang, yaitu UU No. 8 Tahun 1971. Model kontrak di luar PSC lebih merupakan kontrak operasional dengan Pertamina untuk membantu Pertamina mengerjakan wilayah kerjanya.

Kontrak Karya
Kontrak Karya ditandatangani oleh Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Negara dengan Kontraktor sesuai dengan ketentuan UU. No. 44 Prp Tahun 1960.
Prinsip dari kontrak ini adalah sebagai berikut:
- Perusahaan Minyak Negara bertindak sebagai pemegang Kuasa Pertambangan, sedangkan perusahaan minyak swasta bertindak sebagai kontraktor.
- Seluruh manajemen dipegang oleh Kontraktor,
- Kontraktor menanggung semua risiko,
- Pembagian produksi dilakukan dalam bentuk uang dengan 60% untuk negara dan 40% untuk kontraktor dengan ketentuan bahwa penerimaan tahunan negara tidak boleh kurang dari 20% dari produksi.
- Masa kontrak 30 tahun untuk wilayah baru dan 20 tahun untuk wilayah lama.
- Kontraktor wajib mengembalikan sebagian wilayah kerjanya kepada perusahaan negara (relinguishment) dua atau tiga kali selama masa kontrak.
- Kontraktor wajib menyediakan minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan dalam negari (Domestic Market Obligation –DMO). Jumlah DMO ditetapkan berdasar prorata dengan kontraktor-kontraktor lain, tetapi tidak melebihi 25% dari produksi kontraktor yang bersangkutan. Harga minyak DMO ditetapkan US$0.20/Bbl.

Kontark Karya dipakai hanya sampai tahun 1963, yaitu sejak diintroduksinya Kontrak PSC. Namun Kontrak Karya yang sudah ada itu tetap berlaku dan baru berakhir bulan November tahun 1993.

Kontrak Production Sharing – KPS (Production Sharing Contract - PSC)

Akses Pada Wilayah Kerja
Kontraktor mendapat wilayah kerja melalui lelang

Modal
Kontraktor menyediakan modal untuk investasi dan untuk bekerja dari dana sendiri. Dana pinjaman dapat dilakukan namun tidak diakui oleh Pertamina, dengan implikasi bunga yang diakibatkan modal pinjaman tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai komponen biaya produksi.

Teknologi
Kontraktor membawa teknologinya sendiri, dengan implikasi bahwa jika dipakai teknologi pihak lain maka royalty atas teknologi sewaan tersebut tidak dapat dibebankan sebagai komponen biaya produksi.

Management
Pertamina memegang management dalam arti keputusan penting, harus mendapat persetujuan Pertamina. Jiwa dari ketentuan ini sebenarnya adalah untuk menjaga kepentingan negara dalam masalah yang strategis, misalnya investasi tidak dapat dilakukan untuk hal-hal yang tidak berkait erat dengan kegiatan eksplorasi dan produksi. Ketentuan mengenai manajemen tersebut pernah dilaksanakan secara melampaui batas, misalnya bahwa seluruh pegawai kontraktor harus menjadi anggota Korps Pegawai Republik Indonesia, sehingga harus menyalurkan aspirasi politiknya ke Golongan Karya. Pernah juga bahwa perjalanan dinas para eksekutif Kontraktor PSC ke luar negeri juga harus mendapat ijin Pertamina, yang dinilai banyak pihak sebagai melewati batas.

Bonus
Kontraktor harus membayar bonus-bonus yaitu bonus data dan bonus produksi yang besarnya tergantung pada prospek wilayah yang bersangkutan. Setiap kontrak berbeda.
Besarnya bonus data tergantung banyak sedikitnya informasi yang telah terkumpul pada saat kontrak ditandatangani. Makin banyak informasi yang sudah tersedia, makin mahal bonus data. Bonus produksi adalah semacam severance tax. Makin tinggi tingkat produksi makin tinggi pula bonus produksi yang harus dibayar. Bonus produksi pada awalnya ditetapkan berdasar tingkat produksi hari yang dicapai oleh kontraktor untuk masa tertentu, misalnya jika produksi mencapai 100 ribu barel per hari selama 3 bulan berturut turut, maka Kontraktor harus membayar bonus produksi sekian juta dolar. Namun sistem ini ternyata mengandung kelemahan yaitu kontraktor, dengan berbagai alasan yang “masuk akal”, menurunkan kembali tingkat produksinya setelah hampir 3 bulan berturut-turut, sehingga ketentuan kontrak” selama 3 bulan berturut turut” tidak terpenuhi dan bonus tidak harus dibayar. Bonus produksi yang dirumuskan belakangan menyatakan bahwa jika produksi kumulatif mencapai sekian barel, maka kontraktor harus membayar bonus. Sistem produksi kumulatif sebagai dasar pengenaan bonus produski lebih efektif karena kontraktor tidak dapat lagi menghindar. Kontraktor hanya dapat menunda pembayaran tetapi dengan biaya yang besar baginya.

Pembagian Produksi
Pada dasarnya, produksi dipakai pertama-tama untuk menutup biaya produksi. Sisanya dibagi sekian persen untuk Indonesia dan sekian persen untuk Kontraktor. Dengan cara pembagian seperti itu, menurut Pertamina, yang dibagi adalah produksi, sedangkan menurut banyak ahli ekonomi, sebenarnya yang dibagi adalah laba. Unsur-unsur biaya yang boleh dimasukkan dalam biaya produksi, termasuk perlakuan atas depresiasi dan amortisasi, diatur secara rinci dalam masing-masing kontrak, namun umumnya seragam.

Ada tiga jenis pembagian yaitu:
Pembagian Untuk Minyak
Produksi (P) adalah nilai minyak yang diproduksi. C adalah biaya produksi. Equity to be split adalah P dikurangi C. Jumlah ini dibagi sedemikian rupa sehingga pada akhirnya Indonesia harus mendapat 85% dari ETS dan Kontraktor mendapat 15% dari ETS. Pajak dan Royalty sudah termasuk di dalam penerimaan Indonesia. Oleh sebab itu, dalam kontrak disebutkan bagian Indonesia dalah 73,21% dan bagian Kontraktor 26,79%. Bagian kontraktor tersebut dipajaki dengan tingkat 44% sehingga pajaknya adalah 0,44 x 26,79% = 11.79%. Dengan demikian bagian Kontraktor = 26,79% - 11,79% menjadi 15%. Sedangkan bagian Indonesia menjadi 73,21% + 11,79% = 85%. Perhitungan ini dikenal dengan perhitungan yang di gross-up. Pajak 44% sebenarnya terdiri dari dua bagian, yaitu PPh sebesar 30% dan Pajak atas Bunga Dividen dan Royalty sebesar 20%. Bunga atas Bunga, Dividen, dan Royalty sering juga disebut Witholding Tax. Dengan PPH sebesar 30% berarti Royalty untuk Kontraktor adalah 70% dan inilah yang dikenai witholding tax sebesar 20% atau 0,2 x 70% = 14%. Jadi pajak seluruhnya adalah 30% + 14% = 44%. Pada saat PPH ditetapkan 35% maka witholding tax = 0,2 X 65% = 13% sehingga pajak totalnya adalah 48%.

Pembagian Untuk Gas
Sama dengan pembagian untuk minyak, kecuali bahwa pada akhirnya Kontraktor diberi 30% sedangkan Negara mendapat 70%. Perhitungan gross-upnya dapat dilihat pada Gambar xxx.
Mengapa untuk gas Kontraktor diberi bagian yang lebih besar dibanding minyak, karena memasarkan gas tidak semudah memasarkan minyak. Minyak dapat ditimbun jika jumlahnya kecil, tetapi gas tidak dapat ditimbun dalam jumlah yang besar. Infrastruktur pemasaran gas juga lebih mahal.

Kajian Perminyakan Global oleh KSEP ITB

KAJIAN PETA PERMINYAKAN GLOBAL
(STUDI KASUS NEGARA INDONESIA)

OLEH :
KELOMPOK STUDI EKONOMI DAN PASAR MODAL ITB (KSEP-ITB)
JANUARI 2006


ABSTRAK
Kenaikan harga minyak dunia beberapa tahun terakhir dipicu oleh berbagai faktor yang mempengaruhi baik sisi permintaan maupun pasokan. Pertumbuhan ekonomi dunia yang membaik terutama di Cina sebagai konsumen energi terbesar kedua setelah Amerika, mempengaruhi volume permintaan minyak dunia. Sementara itu, kekhawatiran kelangsungan sisi pasokan minyak disebabkan oleh berbagai gejolak politik yang melanda Venezuela, Nigeria, Irak, skandal keuangan perusahaan minyak Yukos di Rusia, serta bencana badai topan yang menghancurkan kilang minyak di Teluk Meksiko.
Dengan status Indonesia sebagai produsen minyak mentah dan anggota OPEC, seharusnya Indonesia dapat merasakan windfall profit yang terjadi seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. Tapi yang terjadi adalah pukulan keras terhadap anggaran pemerintah khususnya pos subsidi bahan bakar minyak (BBM). Hal ini terjadi karena nilai impor minyak Indonesia membengkak akibat konsumsi BBM domestik yang meningkat namun tidak disertai peningkatan volume produksi minyak Indonesia yang justru mengalami penurunan sebagai akibat dari lambatnya investasi baru dan faktor usia sumur minyak yang semakin tua. Tingkat produksi minyak mentah per hari dalam 2004 mengalami penurunan menjadi 1,09 juta barel per hari (bph) dari 1,14 juta bph pada tahun 2003, jauh di bawah batas kuota produksi minyak OPEC untuk Indonesia sebesar 1,4 juta bph. Jika kondisi ini terus berlanjut maka Indonesia yang hanya memiliki cadangan 0,4% minyak terbukti dunia akan menjadi net importer oil (sebenarnya sudah pada tahun 2004) lebih dini.
Persoalan utamanya adalah bagaimana menciptakan iklim investasi yang kondusif khususnya untuk sektor migas. Diperlukan adanya kestabilan makro ekonomi, politik, serta kepastian dan konsistensi implementasi regulasi yang berlaku (UU Migas No 22 Tahun 2001 beserta peraturan pendukungnya) untuk mendapatkan kepercayaan investor. Pemerintah diharapkan juga untuk menawarkan keunggulan kompetitif lainnya seperti insentif fiskal serta tingkat bagi hasil yang menarik khususnya untuk lapangan-lapangan marjinal.

LATAR BELAKANG
Energi berperan penting dalam pembangunan suatu negara. Salah satu bentuk energi yang paling penting dewasa ini adalah minyak bumi. Sumber energi ini terbukti sangat berkaitan dengan perkembangan politik masing-masing negara di dunia, terutama dikawasan Timur-Tengah. Sampai saat ini, minyak bumi masih sulit disubstitusi dengan bentuk energi lain seperti; gas bumi, batubara dan nuklir. Telah dikembangkan dan digunakan berbagai energi alternatif pengganti minyak, namun karena kendala teknologi untuk energi lain yang belum begitu berkembang, membuat minyak masih tetap lebih unggul. Minyak bumi sangat vital bagi negara-negara maju, namun hampir dua per tiga atau sekitar 70% cadangan minyak dunia berada di kawasan Timur Tengah. Negara-negara industri maju dapat dikatakan tidak memiliki cadangan atau jumlahnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, minyak menjadi barang yang sangat strategis, baik bagi negara maju maupun negara produsen minyak.
Minyak berperan vital dalam industrialisasi di negara maju dan sumber pemasukan penting bagi negara produsen minyak. Kepentingan negara industri maju yang bertemu dengan kepentingan negara produsen minyak, menyebabkan politik ikut berperan dalam permintaan dan penawaran dunia. Permintaan dan penawaran minyak cenderung tidak berlaku semestinya, disebabkan oleh intervensi politik. Hal tersebut makin menunjukkan betapa minyak memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan politik dan ekonomi suatu negara.
Dilatarbelakangi hal tersebut, maka makalah ini disusun guna mengkaji peta perminyakan global, mendeskripsikan dan menganalisis data-data faktual perminyakan, serta memberikan gambaran posisi Indonesia dalam peta percaturan perminyakan dunia. Kesemua ini dirasakan relevan terutama jika dikaitkan dengan akan ditinggalkannya pasar monopoli BBM sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001.

RUMUSAN MASALAH
Makalah ini terutama akan membahas mengenai :
Profil negara-negara produsen OPEC dan negara konsumen OECD, meliputi cadangan minyak terbukti, produksi, konsumsi, ekspor, impor, dan kapasitas kilang minyak.
Gambaran secara umum dan regional mengenai peta perminyakan global.
Gambaran dan profil perminyakan hulu Indonesia.

PROFIL SINGKAT KELOMPOK NEGARA PRODUSEN DAN KONSUMEN MINYAK DUNIA
Beberapa pihak yang memiliki peran penting dalam industri perminyakan global antara lain Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC), Non-OPEC, dan Organization of Economics Cooperation Development (OECD). Untuk mempermudah pemahaman, mereka bisa disebut sebagai produsen (OPEC dan Non-OPEC) dan konsumen (OECD), bahkan terkadang peranan mereka saling beririsan, artinya sebagai produsen dan konsumen yang signifikan pula. Berikut akan dipaparkan lebih jauh mengenai profil dan karakteristik perminyakan mereka agar didapatkan gambaran perminyakan global dengan lebih objektif lagi.

OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries)
OPEC merupakan organisasi kartel yang didirikan di Baghdad, Irak pada bulan September 1960. OPEC didirikan sebagai upaya untuk menyatukan dan mengkoordinasi kebijakan perminyakan angotanya. Agenda utama para Menteri Perminyakan anggota OPEC adalah bertemu secara berkala membahas harga dan produksi minyak yang sejak 1982 ditetapkan kuotanya. Anggota OPEC pada awal pendirian adalah Iran, Irak, Kuwait, Arab Saudi, dan Venezuela. Antara tahun 1960-1975 keanggotaannya terus bertambah dengan masuknya Qatar (1961), Indonesia (1962), Libya (1962), Uni Emirat Arab (1967), Aljazair (1969), dan Nigeria (1971). Equador dan Gabon ikut bergabung namun kemudian keluar pada Desember 1992 dan Januari 1995. EIA (Energy Information Administration) memperkirakan bahwa sebelas anggota OPEC saat ini menguasai 40% produksi minyak dunia dan 77% cadangan terbukti minyak dunia.

NON OPEC
Karakteristik Non-OPEC dimiliki oleh negara-negara, sebagai berikut :
q Kebanyakan dari negara Non-OPEC pengimpor minyak yang sekaligus pula mempunyai cadangan minyak. Ada sekitar 204 negara, Non-OPEC dan wilayah independen, menurut data dari EIA (Energy Information Agency), sekitar 85% diantaranya atau sekitar 173 negara adalah negara yang meskipun memiliki kapasitas produksi yang signifikan, namun kebutuhan pemakaian yang sangat tinggi menyebabkan tetap harus mengimpor minyak. Tidak berarti negara penghasil minyak terbesar bukanlah pengimpor minyak terbesar pula.
q Kebanyakan dari anggota Non-OPEC adalah negara yang memiliki sektor perminyakan yang dikelola oleh sektor swasta (pengecualian bagi Meksiko), dan terdapat kontrol yang lemah akan tingkat produksinya. Perusahaan-perusahaan hanya bereaksi pada harga pasar tingkat internasional, dimana biaya eksplorasi dan pengeboran yang tinggi dilakukan ketika harga minyak dunia mahal dan begitu pula sebaliknya, jika harga jatuh maka memfokuskan pada penekanan biaya yang serendah-rendah untuk eksplorasi dan pengeboran.
q Perusahaan swasta tidak memperoleh keuntungan produksi dan mengelola selisih tingkat kapasitas produksi yang sedikit.
q Biaya produksi negara Non-OPEC cenderung mengalami peningkatan, bila dibandingkan dengan biaya angkut (negara OPEC), yang mengakibatkan produksi negara Non-OPEC mudah terpuruk.

Pemasok minyak dunia datang dari beragam sumber. Sementara kawasan Timur-Tengah (pemasok terbesar OPEC) adalah pemasok terbesar diantara kawasan lainnya di tahun 2004, dengan total produksi dunia sebesar 29%, Amerika Utara 19% sedangkan sisanya 52% tersebar di seluruh dunia.
Dari 14 negara yang memproduksi lebih dari 2 juta bph pada tahun 2004, 7 negara diantaranya merupakan anggota OPEC. Dan 7 negara lainnya adalah anggota Non-OPEC, termasuk: AS (pemasok ketiga terbesar dunia), Rusia, Meksiko, Cina, Kanada, Norwegia, dan Inggris. Perlu diketahui bahwa keuntungan dari total produksi AS yang meningkat dilatarbelakangi oleh kilang yang besar-mencapai lebih dari 1 juta bph di tahun 2004.
OPEC sebagai eksportir terbesar di dunia diwakili oleh negara-negara anggota OPEC. Dari 14 negara pengekspor terbesar, 10 negara diantaranya mempunyai kapasitas produksi lebih dari 1 juta bph dari total (selisih bersih) di tahun 2004 adalah anggota OPEC. Rusia, Norwegia, Meksiko dan Kazakhstan adalah anggota Non-OPEC dengan kapasitas ekspornya yang besar. AS adalah negara pengimpor terbesar di dunia, disusul oleh Cina, sedangkan Kanada dan Inggris negara pengekspor terkecil.
Produksi minyak Non-OPEC diperkirakan akan mengalami kenaikan dalam 2 tahun mendatang, meskipun tidak berdasarkan standar dari total kenaikan permintaan akan minyak bumi dunia. Kenaikan terbesar akan produksi minyak, diperkirakan akan dihasilkan oleh wilayah federasi Uni Soviet, termasuk Rusia, negara bagian Laut Kaspia (Asia Tengah) dan pemasok non-OECD lainnya, khususnya Angola dan Brazil yang diharapkan dapat menjadi eksportir dalam 2 tahun mendatang.



OECD (Organization for Economics Cooperation and Development)
OECD adalah suatu organisasi internasional yang didirikan tahun 1961 untuk mengoordinasikan kebijakan ekonomi dari negara-negara industri maju. OECD memiliki 29 negara anggota termasuk AS, Kanada, Jepang, Jerman, Perancis, Inggris, Korsel, dan Australia.
Sebagai reaksi terhadap usaha OPEC mengatur harga minyak dunia tahun 1973, OECD membentuk organisasi International Energy Agency (IEA). IEA berfungsi guna mengoordinasikan usaha-usaha pencadangan minyak nasional, mempromosikan konservasi energi, pengembangan sumber daya energi terbarukan, mengumpulkan data pasar energi internasional, serta mengintervensi pasar dunia untuk menstabilkan harga minyak dan energi lainnya. Kesinambungan pasokan minyak dan sumber daya energi lainnya bagi negara-negara industri maju adalah sesuatu yang sangat vital.

PROFIL PERMINYAKAN INDONESIA
Energi memegang peranan sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa, baik sebagai salah satu komponen penggerak roda kehidupan masyarakat pada umunya maupun sebagai masukan utama bagi pembangunan industri dan perekonomian. Oleh kerenanya ketersediaan dan keberlanjutan pasokan energi merupakan hal yang krusial. Dari perjalanan sejarah bangsa-bangsa kita mendapat pelajaran, dan saat ini pun kita menyaksikan, tentang pentingnya energi sehingga segala daya dan upaya dikerahkan demi menjamin pasokan energi.
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang diberkahi dengan cadangan sumber daya minyak dan gas, serta merupakan salah satu anggota dari OPEC semenjak tahun 1962. Dengan pandangan ini, sangatlah beralasan untuk mengasumsikan bahwa Indonesia mendapat keuntungan dari kenaikan harga minyak yang terjadi baru-baru ini. Namun sangat disayangkan, bahwa situasi ini tidak terjadi di tahun 2004. Kenaikan harga minyak yang terjadi pada tahun 2004 bertepatan dengan situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, yakni untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia menjadi negara importir minyak.
Sepuluh tahun yang lalu, produksi minyak Indonesia mencapai puncaknya, dan mengalam penurunan sejak itu. Di akhir tahun 2004, produksi minyak bertengger di level perkiraan sekitar 1,1 juta bph, level terendah dalam tiga dekade terakhir. Standar kuota yang ditetapkan OPEC adalah 1,4 juta bph, namun Indonesia belum mampu untuk memenuhi kuota tersebut dalam waktu belakangan ini.
Sebagai negara yang memiliki ketergantungan pendapatan akan industri gas dan minyak hulu untuk membiayai program pembangunannya, serta sebagai negara yang juga mengatasi persediaan minyak dengan mengeluarkan kebijakan penyediaan subsidi BBM, maka penurunan produksi minyak memiliki dampak bagi ekonomi makro yang sangat signifikan. Seiring dengan penurunan produksi minyak, maka pendapatan pemerintah pun sama-sama mengalami penurunan.
Meskipun skenario penyusutan subsidi harga BBM secara berangsur-angsur dalam beberapa tahun belakangan dan tindakan penaikan harga BBM pada bulan Maret dan Oktober 2005 sebagai bentuk realisasi telah dilakukan, namun kenaikan harga minyak mentah dunia yang terjadi tetap membentuk jurang pemisah antara windfall profit dengan banyaknya dollar yang harus dikeluarkan lagi oleh pemerintah. Dengan status Indonesia sebagai negara penghasil minyak mentah, seharusnya Indonesia dapat merasakan windfall profit (keuntungan mendadak) yang terjadi seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. Tapi yang terjadi adalah pukulan keras terhadap anggaran pemerintah.
Usaha yang dilakukan pemerintah ini sebagai cara untuk mengurangi dampak negatif dari kenaikan harga minyak mentah dunia terhadap defisit anggaran dan mendorong pembentukan harga oleh kekuatan pasar.


ANALISIS PERMINYAKAN GLOBAL

Cadangan
Potensi cadangan dalam industri minyak dan gas (migas) mempunyai peranan yang sangat penting, hal ini jelas terlihat kaitannya dalam jumlah produksi, jumlah ekspor hingga penentuan harga minyak itu sendiri.
Cadangan berdasarkan tingkat keyakinan terbagi menjadi tiga , yaitu :
· Cadangan Terbukti (Proven Reserves)
· Cadangan Mungkin (Probable Reserves)
· Cadangan Harapan (Possible Reserves)
Cadangan terbukti merupakan besarnya jumlah minyak yang dapat diperoleh dimasa yang akan datang dari suatu reservoir, dalam hal ini diindikasikan oleh informasi geologi dan juga informasi teknik lainnya dengan tingkat keyakinan yang logis serta mempertimbangkan kondisi operasional dan ekonomi saat ini. Untuk selanjutnya penggunaan istilah cadangan ini akan merujuk pada cadangan kategori terbukti.
Dari Data BP Statistical Review of World Energy 2005 dapat dilihat bahwa cadangan minyak terbesar terletak pada kawasan Timur Tengah. Lebih dari 60% cadangan minyak terbukti berada di kawasan ini. Negara-negara seperti Arab Saudi, Iran, Irak, UEA, dan Kuwait berkontribusi terhadap besarnya cadangan di kawasan ini. Keberadaan negara-negara bekas Uni Soviet memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah cadangan minyak di kawasan Eropa dan Eurasia. Hal ini dibuktikan dengan posisi kawasan tersebut yang berada pada urutan kedua setelah Timur Tengah dalam hal jumlah cadangan.
Kawasan Afrika menempati cadangan ketiga terbesar di dunia. Beberapa negara seperti Aljazair, Libya, dan Nigeria merupakan kontributor utama cadangan minyak di kawasan ini. Sedangkan kawasan dengan jumlah cadangan terkecil adalah kawasan Asia Pasifik, di mana Indonesia termasuk di dalamnya. Di kawasan Asia Pasifik ini negara dengan cadangan terbukti terbesar adalah Republik Rakyat Cina (RRC), sisanya tidak menunjukkan cadangan yang signifikan.
Dari tahun 2003 ke 2004 tidak terjadi perubahan jumlah cadangan yang signifikan. Tercatat hanya ada terjadi perubahan jumlah cadangan dunia sebesar 0,02% secara keseluruhan.
Data tersebut memperlihatkan bahwa jumlah produksi minyak terbesar dihasilkan kawasan Timur Tengah, sedangkan kawasan Asia Pasifik menghasilkan produksi minyak yang paling sedikit. Dapat ditarik kesimpulan bahwa ada korelasi positif antara jumlah cadangan dengan dengan tingkat produksi minyak pada suatu kawasan.

Produksi
Produksi terbesar masih ditempati kawasan Timur Tengah dengan sekitar 30% produksi dunia. Kawasan terbesar produksinya kedua masih ditempati Eropa dan Eurasia dengan kontribusi negara-negara bekas Uni Soviet yang signifikan. Terdapat korelasi antara jumlah cadangan dengan tingkat produksi setidaknya untuk kasus kawasan Timur Tengah serta Eropa dan Eurasia. Yang perlu mendapat perhatian adalah posisi kawasan Amerika Utara yang menempati urutan ketiga padahal cadangannya lebih sedikit dari Afrika (posisi keempat). Hal ini menunjukkan negara-negara di kawasan Amerika Utara cukup masif memproduksi minyaknya. Hal yang berbeda diperlihatkan kawasan Amerika tengah dan Selatan yang menjadi kawasan yang terkecil produksinya padahal cadangannya menempati urutan keempat. Kawasan tersebut tampaknya belum memproduksi minyaknya secara optimum.

Konsumsi
Terdapat perubahan yang signifikan pada peta konsumsi jika dibandingkan dengan peta cadangan. Distribusi konsumsi menunjukkan tingkat industrialisasi yang terjadi dalam suatu kawasan. Secara garis besar ada tiga kawasan di dunia yang memiliki tingkat konsumsi yang signifikan. Kawasan dengan jumlah konsumsi terbesar adalah Amerika Utara (hampir 30% konsumsi dunia), menyusul Asia Pasifik (sekitar 29%), dan di bawahnya adalah Eropa dan Eurasia (sekitar 25%).
Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Kanada merupakan negara-negara industri G-8 terkemuka di kawasan Amerika Utara. Sedangkan di Asia Pasifik, negara seperti Australia, Jepang, Korea Selatan (Korsel), Taiwan, serta bintang baru RRC merupakan motor industrialisasi di kawasan itu. Rusia sebagai anggota baru G-8 menjadi kontributor signifikan konsumsi minyak di kawasan Eropa dan Eurasia di samping negara-negara industri yang sudah mapan di kawasan tersebut seperti Inggris, Jerman, Perancis, dan Italia. Kawasan Afrika menjadi konsumen minyak terkecil di dunia. Hal tersebut dapat dipahami mengingat kawasan tersebut masih tergolong miskin dan terbelakang tingkat ekonominya (pengecualian Afrika Selatan).

Rasio Cadangan terhadap Produksi (Rasio R/P)
Rasio cadangan terhadap produksi (Rasio R/P) adalah cadangan sisa akhir tahun dibagi terhadap tingkat produksi tahun tersebut, yang mana hasilnya adalah jangka waktu habisnya cadangan sisa tersebut jika diasumsikan tingkat produksi berada pada level yang sama.
Data BP Statistical Review of World Energy 2005 menyajikan rasio cadangan terhadap produksi (Rasio R/P) beberapa kawasan seperti Amerika Utara, Amerika Tengah dan Selatan, Eropa dan Eurasia, Timur Tengah, Afrika dan Asia Pasifik.
Dari data tersebut terlihat bahwa satu dekade terakhir rasio R/P relatif stabil di sekitar angka 40 tahun. Artinya jika diasumsikan tidak ada penemuan-penemuan cadangan baru lagi di seluruh dunia, maka cadangan minyak yang ada hanya cukup untuk 40 tahun lagi, dengan asumsi tingkat produksi yang sama (stagnan) untuk tiap kawasan. Padahal kecenderungan konsumsi minyak dunia cenderung naik. Hal ini dapat dilihat pada konsumsi tahun 2004 yang mengalami kenaikan sebesar 3,4% dibandingkan 2003. Sehingga dengan asumsi tidak ada penemuan sumber minyak lagi, dunia akan kehabisan minyak dalam waktu kurang dari 40 tahun lagi.
Apabila dilihat per kawasan, rasio R/P tertinggi (sekitar 80 tahun) ditunjukkan oleh kawasan Timur Tengah sebagai akibat cadangannya yang begitu besar. Sedangkan kawasan Amerika Utara memiliki rasio R/P yang paling kecil (kurang dari 20 tahun). Hal tersebut disebabkan oleh tingkat produksi minyak yang cukup tinggi namun tidak diimbangi oleh cadangannya. Mengingat kawasan ini adalah konsumen minyak terbesar di dunia, maka kesinambungan suplai minyak merupakan hal yang sangat esensial bagi kawasan Amerika Utara.
Apabila dilihat per kawasan, rasio R/P tertinggi (sekitar 80 tahun) ditunjukkan oleh kawasan Timur Tengah sebagai akibat cadangannya yang begitu besar. Sedangkan kawasan Amerika Utara memiliki rasio R/P yang paling kecil (kurang dari 20 tahun). Hal tersebut disebabkan oleh tingkat produksi minyak yang cukup tinggi namun tidak diimbangi oleh cadangannya. Mengingat kawasan ini adalah konsumen minyak terbesar di dunia, maka kesinambungan suplai minyak merupakan hal yang sangat esensial bagi kawasan Amerika Utara.


ANALISIS KONDISI PERMINYAKAN INDONESIA

Kondisi Perminyakan Hulu

Cadangan Minyak
Dapat dikatakan Indonesia tidak kaya cadangan minyak lagi. Hal itu terlihat dari beberapa publikasi cadangan minyak terbukti yang menunjukkan posisi cadangan Indonesia yang semakin menunjukkan penurunan konstan. Seperti terlihat pada Diagram 3.1, berdasarkan dua sumber yang berbeda, yaitu Central Intelligent Agency (CIA) dan British Petroleum (BP), posisi cadangan terbukti Indonesia merupakan yang paling kecil di dalam kelompok negara-negara OPEC. Cadangan Indonesia kurang dari 1% cadangan OPEC (tepatnya sekitar 0,5-0,6%) atau sekitar seperlimapuluh (1/50) besar cadangan Arab Saudi yang merupakan negara dengan cadangan minyak terbukti terbesar di dunia.
Dengan menggunakan data dari BP, diketahui bahwa cadangan minyak terbukti Indonesia hanya sekitar 0,4% dari cadangan dunia. Bahkan di antara negara-negara Non-OPEC seperti Kanada, Meksiko, Angola, atau pun AS, Indonesia masih yang terkecil cadangan minyak terbuktinya.
Berdasarkan data Ditjen Migas, kecenderungan penurunan cadangan minyak Indonesia terus berlanjut terutama pada periode 2000-2004. Dalam jangka waktu empat tahun, cadangan minyak terbukti Indonesia berkurang sebesar 16% menjadi 4,3 miliar barel.
Jika tidak adanya penemuan-penemuan sumber minyak baru yang signifikan, berdasarkan rasio cadangan terhadap produksi (rasio R/P), maka cadangan minyak Indonesia akan habis dalam jangka waktu 10-20 tahun ke depan, bergantung tingkat produksi serta asumsi tingkat konsumsi minyak dalam negeri tidak mengalami kenaikan.

Produksi Minyak
Produksi harian minyak Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara OPEC lain masih merupakan terkecil kecuali terhadap Qatar yang selisih tipis beberapa puluh ribu barel per hari. Terhadap produksi negara-negara Non-OPEC pun Indonesia masih merupakan peringkat bawah negara produsen minyak dengan produksi sekitar 1,1 juta barel per hari.
Data Ditjen Migas yang ada memperlihatkan kecenderungan penurunan produksi minyak harian Indonesia sudah terjadi sejak periode lima tahun terakhir dari sekitar 1,4 juta barel per hari menjadi kurang dari 1,1 juta barel per hari. Diperkirakan lapangan-lapangan yang ada mengalami penurunan produksi minyak di samping tidak adanya penemuan-penemuan yang signifikan.

Ekspor-Impor Minyak
Data Ditjen Migas 2004 menunjukkan perkembangan ekspor-impor minyak Indonesia selama lima tahun terakhir. Ekspor minyak terus mengalami penurunan sedangkan impor minyak secara konsisten mengalami kenaikan. Ekspor minyak Indonesia terdiri dari minyak mentah, kondensat, dan produk kilang, sedangkan impor minyak berupa minyak mentah dan produk kilang.
Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah pada tahun 2004 sebenarnya Indonesia telah menjadi pengimpor bersih minyak (net importer oil), ketika impor minyak (dalam berbagai bentuk produk) telah melebihi ekspor. Kondisi ini terjadi akibat produksi minyak Indonesia yang terus mengalami penurunan selama 5 tahun terakhir sedangkan konsumsi minyak domestik secara konstan mengalami pertumbuhan. Status ini merupakan pukulan yang berat bagi Indonesia yang masih menjadi anggota OPEC. Keberadaan Indonesia dalam OPEC sendiri perlu dipertanyakan, masih relevan kah.
Dari Data Departemen Keuangan dan Petrominer dapat dilihat penurunan kontribusi sektor migas terhadap penerimaan pemerintah dari sebesar Rp 90 triliun pada tahun 2001 turun 40% menjadi Rp 54 pada tahun 2004. Berarti rata-rata per tahun mengalami penurunan 10%. Jumlah tersebut merupakan hal yang sangat signifikan bagi Indonesia. Walau pemerintah telah bertekad untuk tidak menggantungkan lagi penerimaannya hanya pada sektor migas, namun penurunan yang sangat drastis ini sangat mengkhawatirkan mengingat akan kebutuhan pembiayaan anggaran rutin dan non rutin pemerintah.
Kontribusi minyak terhadap ekspor juga masih cukup strategis. Untuk tahun 2004 saja, di tengah penurunan produksi minyak yang konsisten, sektor migas masih menjadi komponen ekspor yang signifikan dengan proporsi sebesar lebih dari seperlima (23%) dari nilai ekspor Indonesia.
Kondisi ekspor-impor minyak Indonesia yang memprihatinkan ini harus segera menjadi perhatian pemerintah agar status net importer oil kita tidak permanen atau setidaknya dapat kita tunda datangnya. Peningkatan produksi minyak dari lapangan-lapangan yang telah ada, perbaikan iklim investasi hulu perminyakan, serta eksplorasi minyak daerah-daerah potensial merupakan langkah-langkah yang harus segera dilakukan pemerintah. Apalagi mengingat Indonesia mempunyai target meningkatkan produksinya hingga 1,3 juta barel per hari pada tahun 2009. Target yang strategis yang memang harus dicapai Indonesia untuk kepentingannya sendiri.

Konsumsi Minyak
Konsumen minyak domestik dapat dikelompokkan menjadi empat sektor, yaitu sektor industri, transportasi, listrik, dan rumah tangga. Secara umum, dari periode 2000-2004 konsumsi minyak semua sektor mengalami kenaikan. Hal ini berkaitan dengan mulai membaiknya keadaan ekonomi Indonesia yang membutuhkan pasokan bahan bakar minyak tambahan. Geliat ekonomi ini didukung dengan rendahnya suku bunga pinjaman sehingga sektor konsumsi menjadi motor pertumbuhan PDB Indonesia.
Sektor industri pada tahun 2004 terjadi kenaikan konsumsi bahan bakar sebesar 20% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini merupakan kenaikan konsumsi bahan bakar tertinggi dibanding sektor lain. Sektor transportasi juga mengalami kenaikan cukup signifikan pada tahun 2004 sebesar 9% lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Tampaknya penjualan otomotif yang hampir mencapai kembali angka 600 ribu unit memicu kenaikan konsumsi bahan bakar.
Konsumsi bahan bakar minyak domestik secara konsisten mengalami pertumbuhan. Pada akhir tahun 2004 konsumsi bahan bakar minyak domestik sudah mencapai kurang lebih 65 juta kiloliter, pertumbuhan yang impresif dibandingkan kondisi pada tahun ’70-an yang hanya mengkonsumsi sekitar jutaan kiloliter saja. Kondisi ini bisa mengancam kestabilan pasokan energi nasional apabila Indonesia tidak berhasil menaikkan jumlah produksi minyaknya mengikuti kecepatan pertumbuhan konsumsi. Jika tidak maka Indonesia akan segera menjadi net importer oil selamanya.

Investasi
Kondisi penurunan produksi minyak Indonesia yang disertai peningkatan konsumsi domestik telah menjadikan Indonesia sebagai importir minyak untuk pertama kalinya dalam sejarah, setidaknya tahun 2004. Alih-alih meningkatkan produksinya untuk memenuhi konsumsi minyak yang meningkat, malah sebaliknya yang terjadi, penurunan produksi yang konsisten. Jika ditarik pangkal masalahnya, maka kondisi ini tidak akan terjadi apabila mekanisme penggantian (replacement) cadangan dan lapangan-lapangan minyak yang lama berlangsung dengan baik. Supaya hal itu terjadi maka perlu adanya penemuan-penemuan (discoveries) cadangan minyak baru yang signifikan. Untuk adanya penemuan-penemuan tersebut dibutuhkan adanya kegiatan eksplorasi, sedangkan eksplorasi membutuhkan biaya yang sangat besar. Biaya itu merupakan pos pengeluaran investasi di sisi perusahaan.
Jadi permasalahan utamanya adalah tidak cukup besarnya investasi yang masuk ke dalam industri perminyakan hulu Indonesia, baik investasi dalam negeri maupun investasi langsung asing (foreign direct investment). Investor tidak cukup dibuat tertarik untuk menanamkan modalnya di industri ini.
Data Ditjen Migas 2004 memperlihatkan pengeluaran operasional sektor migas jika dilihat dari kategorinya. Pengeluaran eksplorasi meningkat namun dengan nilai yang sangat kecil. Semua pengeluaran tahapan lain juga mengalami hal yang sama, bahkan pengeluaran tahapan produksi mengalami penurunan sebesar 9,2%. Hal ini dapat dipahami mengingat secara keseluruhan kegiatan produksi minyak nasional memang mengalami penurunan. Pengeluaran administrasi yang meningkat tidak mengindikasikan apa pun.
Sekarang pertanyaannya adalah, dimana posisi investasi migas di Indonesia dibandingkan total investasi migas di seluruh dunia. Hal tersebut penting untuk melihat antusiasme investor terhadap industri perminyakan hulu Indonesia.

KESIMPULAN
Energi memegang peranan sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa, baik sebagai salah satu komponen penggerak roda kehidupan masyarakat pada umunya maupun sebagai masukan utama bagi pembangunan industri dan perekonomian. Oleh kerenanya ketersediaan dan keberlanjutan pasokan energi merupakan hal yang krusial. Dari perjalanan sejarah bangsa-bangsa kita mendapat pelajaran, dan saat ini pun kita menyaksikan, tentang pentingnya energi sehingga segala daya dan upaya dikerahkan demi menjamin pasokan energi.
Minyak sebagai suatu komoditas energi yang paling vital saat ini memiliki posisi yang strategis di bidang politik dan ekonomi baik bagi produsen maupun konsumennya. EIA (Energy Information Administration) memperkirakan bahwa sebelas anggota OPEC saat ini menguasai 40% produksi minyak dunia dan 77% cadangan terbukti minyak dunia. Kawasan Timur Tengah sendiri (khususnya Arab Saudi, Iran, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Libya) terbukti masih menjadi sumber utama minyak dunia dengan menguasai sekitar 50% lebih produksi OPEC.
Keberadaan negara-negara Non-OPEC tidak bisa dipandang sebelah mata dalam perminyakan global. Negara-negara seperti Rusia, Norwegia, dan Kanada merupakan negara-negara produsen minyak terkemuka dunia yang memiliki potensi cadangan minyak yang besar yang menunggu untuk dieksplorasi lebih lanjut. Bahkan kecenderungan Rusia yang tingkat produksi minyaknya tumbuh signifikan dapat menjadi ancaman terutama bagi Arab Saudi sebagai negara produsen dan pengekspor minyak terkemuka dunia.
Posisi Indonesia dalam perminyakan global saat ini mengalami kemunduran yang cukup signifikan. Penurunan tingkat produksi minyaknya bahkan menjadikan Indonesia tidak mampu memenuhi kuota OPEC (sekitar 1,32 juta barel per hari-efektif Juli 2004). Cadangan minyak bumi terbukti Indonesia hanya berkisar 5 miliar barel. Dengan tingkat produksi 1 juta barel per hari maka cadangan tersebut akan habis dalam waktu 12 tahun, itu pun jika tingkat konsumsinya tidak mengalami kenaikan (yang kenyataannya tidak menunjukkan hal tersebut). Saat ini Indonesia bahkan telah mengimpor baik minyak mentah untuk diolah dalam kilang BBM dalam negeri, maupun BBM jadi guna memenuhi kebutuhan konsumsinya sekitar 1, 1 juta barel per hari. Jika keadaan ini berlangsung terus, maka sebentar lagi Indonesia akan menjadi Net Oil Importer (walau konon saat ini sudah).
Berbeda dengan nilai ekspor minyak Indonesia yang mengalami peningkatan akibat kenaikan harga minyak mentah dunia, volume ekspor minyak Indonesia justru menurun sebagai akibat dari lambatnya investasi baru dan faktor usia sumur minyak yang semakin tua sehingga tingkat produktivitasnya cenderung turun dari tahun ke tahun. Tingkat produksi minyak mentah per hari dalam 2004 mengalami penurunan menjadi 1,09 juta berrel dari 1,14 barel per hari pada tahun 2003, jauh di bawah batas kuota produksi minyak dari OPEC untuk Indonesia. Di samping itu, tingginya kenaikan konsumsi BBM domestik yang terjadi seiring dengan membaiknya kegiatan ekonomi di dalam negeri, pada gilirannya mengurangi pasokan minyak untuk ekspor.
Kecenderungan penurunan produksi minyak di tengah-tengah konsumsi BBM domestik yang terus meningkat tersebut perlu dicermati lebih lanjut untuk menjaga kelangsungan pendapatan ekspor minyak di samping kecukupan konsumsi BBM domestik itu sendiri. Kondisi naiknya konsumsi BBM domestik di tengah produksi minyak yang menurun menyebabkan volume impor mengalami peningkatan baik dalam bentuk minyak mentah maupun produk minyak (BBM). Beban pembayran impor semakin bertambah tinggi dengan kenaikan harga minyak di pasar internasional, khusunya pada harga impor BBM.

SARAN
Bagi Perminyakan Indonesia
· Pemerintah hendaknya menciptakan iklim investasi yang kondusif terutama bidang kepastian hukum dan politik. Hal ini diperlukan untuk menarik investasi asing masuk pada kegiatan eksplorasi sumber-sumber minyak baru, sehingga dapat menambah kestabilan cadangan minyak terbukti nasional.
· Pemerintah diharapkan memiliki political will dalam mengembangkan kebijakan energi nasional dengan mengurangi ketergantungan pada minyak. Sumber energi alternatif fosil seperti gas dan batubara ataupun non-fosil seperti panas bumi, air, surya, biodiesel, bioetanol menunggu untuk diolah lebih serius oleh pemerintah.
· Selain dua hal di atas, yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai pentingnya mensosialisasikan segala sesuatunya, dalam hal ini keadaan perminyakan Indonesia sebenarnya, kepada masyarakat. Sehingga masyarakat paham dan dapat memberikan pengertiannya pada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan perminyakan tadi, terutama harga BBM yang diberlakukan.

Penanggulangan Kelangkaan BBM di Bangka Belitung

PENANGGULANGAN KELANGKAAN BBM DI PROVINSI BANGKA BELITUNG, GUNA MENINGKATKAN KEAMANAN PASOKAN JANGKA PANJANG
(Kajian Aspek Strategis Energi- BBM)
Oleh : Prof Hardi Prasetyo

KEBIJAKAN DAN STRATEGI TERPADU

Konstrain Peningkatan Infrastruktur
Peningkatan infrastruktur Depot Pertamina di Bangka harus sangat memperhatikan bahwa kelangkaan bersifat temporal dan bermusim (seasonal) yang dipicu oleh kondisi global meningkatnya harga komoditas timah di pasar internasional. Dalam kaitan ini pada skenario harga timah menurun, maka data histori menunjukkan penurunan kegiatan pertambangan timah rakyat dan smelter, yang akan menurunkan permintaan BBM.

Kebijakan
Meningkatkan keamanan pasokan BBM di Provinsi Bangka Belitung melalui pengendalian permintaan BBM khususnya minyak solar untuk sektor pertambangan rakyat alokasi Usaha Kecil dan industri smelter alokasi industri timah, memperbesar kapasitas depot BBM di Bangka dan mekanisme distribusi pool konsumen (UK), serta melakukan penegakkan hukum terhadap penyalahgunaan BBM.

Strategi
Menetapkan fenoma kelangkaan BBM di Provinsi Babel sebagai suatu yang khusus atau tidak biasanya, dengan meningkatkan koordinasi secara terpadu antara pihak- pihak Pemerintah Pusat antara lain Departemen Energi (Ditjen Migas, Ditjen GSM), Departemen Perindustrian, Departemen Kehakiman/ HAM, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, BPH Migas, PT Pertamina, PT Timah, Timdu BBM; maupun di tingkat Pemda Babel (Bapeda, Dinas Pertambangan dan Energi, Dinas Perindustrian, Dinas Perdagangan) guna mencari solusi jangka pendek, menengah dan panjang terhadap kelangkaan BBM bersubsidi di Babel.


UPAYA

Instrumen Regulasi

DPR RI:
Menyempurnakan substansi Undang- undang terkait dengan APBN tahun terkait substansi pengeluaran Subsidi BBM dan alokasi Volume BBM (59, 9 juta kilo liter), dan Undang- undang No. 9 tahun 1990 tentang Usaha Kecil.





Instrumen Kebijakan Nasional


Departemen Energi dan SDM:
Meningkatkan Sosialisasi Good Mining Practice, Good Corporate Governance terkait kepatuhan perusahaan tambang termasuk TI dan Smelter timah dalam menggunakan sumber energi BBM yang sesuai peruntukkannya.
Meningkatkan Penanggulangan Pertambangan Tanpa Izin (PETI), yang disinyalir masih sangat marak;
Memperjelas ketentuan tentang peruntukan BBM untuk Usaha Kecil yang tersurat pada Peraturan Presiden No. 22 tahun 2005, diselaraskan dengan UU No. 9 tahun 1990 tentang Usaha Kecil;

Departemen Perdagangan:
Mengawasi perizinan ekspor timah batangan terutama yang dihasilkan oleh industri smelter yang disinyalir dicukongi dari investor luar negeri (terutama Singapura, maraknya smelter pada akhirnya telah memicu peningkatan permintaan BBM);

Departemen Perindustrian:
Mengawasi pertumbuhan yang sangat cepat dari industri tambang rakyat dan smelter timah, sehingga memicu kelebihan permintaan (net demand) dari yang dialokasikan di Provinsi Babel.
Melakukan klasifikasi usaha pertambangan rakyat dan semelter yang dapat dikategorikan sebagai usaha kecil, agar terhindar pemodal asing menikmati subsidi BBM;

Departemen Keuangan:
Ditjen Bea Cukai mengawasi ekspor illegal dari komoditas Timah, yang memicu maraknya pertambangan timah rakyat (illegal) dan industri smelter;

Departemen Dalam Negeri:
Gubernur dan jajarannya mengawasi maraknya pertambangan timah rakyat dan smelter serta secara khusus melalui jajarannya mempertegas Usaha Kecil pertambangan timah rakyat untuk mengambil BBM melalui mekanisme Pool Konsumen, dan mempertegas ketentuan pengaturan UK yang dapat mengambil BBM di SPBU setelah mendapatkan rekomendasi dari Deperin;

POLRI:
Melakukan penegakkan hukum terhadap maraknya Pertambangan Tanpa Izin;
Membantu Pertamina dalam menertipkan distribusi BBM di tingkat SPBU, karena disinyalir di beberapa SPBU di Pangkal Pinang dan Mentok dikuasi para “preman” atau “sindikat Mafia BBM”;
Berkoordinasi dengan Timdu BBM melaksanakan Penegakkan Hukum terhadap penyalahgunaan BBM terutama alokasi BBM bersubsidi di SPBU dan pool konsumen untuk kepentingan industri smelter.


Instrumen Pengaturan Migas

Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas):
BPH Migas, menyempurnakan hal- hal terkait Wilayah Niaga dan Stok Operasional di wilayah tertentu (Provinsi Babel), di mana permintaan BBM dapat meningkat secara seasonal dipicu oleh kondisi eksternal, yaitu naiknya secara signifikan kegiatan industri (dalam hal ini tambang rakyat dan smelter timah). Hal ini dapat dianalogikan kenaikan permintaan minyak tanah pada musim panen tembakau di berbagai daerah tertentu.


Instrumen Pengadaan, Distribusi dan Tata Niaga

PT Pertamina
Berkoordinasi dengan DESDM untuk menyempurnakan ketentuan peruntukan BBM untuk Usaha Kecil sebagaimana dipayungi oleh Peraturan Presiden No 22 tahun 2005, di mana saat ini sebagian besarpertambangan rakyat dan semelter timah cenderung masih mengambil BBM dari SPBU;
Meningkatkan kapasitas Depot Bangka atau pengamanan pasokan BBM dari Transit Terminal Tanjung Gurem, Banten sehingga lonjakan permintaan premium dan solar untuk usaha kecil dan industri smelter dapat diakomodasikan, tanpa mengganggu kepentingan pokok sektor transportasi umum dan mobil pribadi di SPBU;
Memastikan bahwa industri smelter timah harus mengambil BBM langsung dari Pertamina dengan harga industri sebagaimana ketentuan yang tersurat pada Perpres 22/ 2005 (bekerjasama dengan Dinas Pertambangan dan Dinas Perindustrian);
Mengaktualisasikan mekanisme pool konsumen khusus untuk UK dari sektor pertambangan timah rakyat (bekerjasama dengan Pemda dan Dinas Perindustrian);
Menyempurnakan Protap keamanan dan ketertiban distribusi BBM di SPBU dari intervensi para “provokator” atau “mafia BBM” (berkoordinasi dengan pihak Polri dan Pemda);
Mengambil langkah- langkah antisipatif agar Minyak Tanah untuk Rumah Tangga dan UK dapat diamankan dari skenario terburuk, dimana ia juga akan digunakan untuk sektor pertambangan serta industri smelter timah (berkoordinasi dengan Dinas Perindustrian dan Polri).


Instrumen pembinaan masyarakat industri dan Pengembangan Masyarakat (Community Development)

PT Timah sebagai BUMN
Sebagai price serta market leader komoditas timah serta mineral ikutannya di Provinsi Babel pada khususnya dan Indonesia pada umumnya memainkan peran untuk solusi kelangkaan BBM di Babel pada jangka panjang;
Di sisi hulu melakukan pengembangan masyarakat antara lain melalui program kemitraan strategis (strategic partnership),diantaranya terbangun komitmen pertambangan timah rakyat menggunakan energi BBM dari sumber pool konsumen, dan mengurangi Pertambangan tanpa Izin tidak menerapkan kaidah good mining practice serta merusak lingkungan hidup;
Di sisi hilir kesamaan persepsi terhadap kaidah good cooperate governance di kalangan industri smelter timah di Babel, sehingga diharapkan dapat meningkatkan komitmen industri smelter untuk menggunakan sumber energi BBM non- subsidi;


Instrumen Penanggulangan Penyalahgunaan BBM

Timdu BBM
Timdu BBM yang berada di bawah Kementrian Polhukkam dimana telah eksis kembali bulan April 2005 dapat menempatkan Fenomena Kelangkaan BBM di Provinsi Babel sebagai prioritas program kerja tahun 2005;
Dalam melaksanakan pemantauan, pengawasan dan evaluasi Penyalahgunaan BBM di Babel Timdu BBM berkoordinasi dengan pihak Pertamina, Pemda dan Departemen terkait.;
Sesuai dengan ketentuan yang digariskan oleh Menko Polhukam, dalam memasuki wilayah Penegakan Hukum (Gakkum) Timdu BBM mengedepankan pihak Polri dan Kejaksaan.


Instrumen Sosialisasi Subsidi Harga BBM:

Tim Sosialisasi Subsidi Harga BBM DESDM
Secara proaktif melakukan pencerahan Subsidi Harga BBM (Minyak Tanah, Solar dan Premium) yang tepat sasaran dan berkeadilan, untuk menggelorakan kepedulian khususnya dari kelompok industri pertambangan rakyat dan industri smelter, serta seluruh komponen masyarakat;
Agenda sosialisasi harus khusus dirancang sebagai bagian menyeluruh untuk mencari solusi yang komprehensif dan integral terhadap fenomena kelangkaan BBM dipicu oleh meningkatnya permintaan yang sangat signifikan dari kelompok industri pertambangan, namun terjadi distorsi karena mendistorsi tata niaga BBM bersubsidi di SPBU.


KESIMPULAN

1. Fenomena Kelangkaan BBM di Babel yang terjadi April sampai awal Mei 2005 telah dikendalikan oleh semakin maraknya Tambang Inkonvensional dan industri Smelter Timah yang menggunakan BBM terutama jenis solar dengan jumlah yang signifikan, sehingga telah menimbulkan defisit pasokan. Hal ini pada akhirnya SPBU untuk solar bersubsidi mengalami serangan terutama dari TI, sehingga menimbulkan kelangkaan, yang memicu terjadinya gangguan ketertiban dan keamanan;
2. Penyelesaian jangka pendek tanggal 6 Mei yang dilakukan dengan menyediakan pasokan secara berlebihan pada TI dan Smelter dikhawatirkan akan menimbulkan over alokasi BBM di Babel yang harus ditanggung Pertamina, sedangkan masalah mendasar tidak dituntaskan;

3. Penyelesaian jangka menegnah- panjang harus ditempuh dengan pendekatan integral yaitu menertipkan keberadaan TI dan PETI timah secara umum, dan secara khusus memastikan bahwa Smelter dan TI mendapatkan BBM melalui mekanisme pool konsumen;
4. Ketentuan yang membolehkan UK secara besar- besaran walaupun menggunakan alat bantu jerigen yang terbatas volumenya dengan membeli BBM dari SPBU, bila terus berlanjut walaupun dengan pengawasan, menimbulkan inkonsistensi peraturan;
5. Pengalihan dari SPBU ke pool konsumen bagi TI pada masa transisi akan menimbulkan gejolak, yaitu hilangnya pekerjaan dari para pengecer dan “preman BBM”, sehingga harus disiapkan kontijensi. S


SARAN KEBIJAKAN

1. Fenomena Kelangkaan BBM di Babel beserta alternatif solusi dapat digunakan sebagai proto tipe pada daerah- daerah lainnya dengan kondisi pengendali mekanisme (driving force mechanism) yang sama, yaitu meningkatnya permintaan BBM secara temporal (seasonal) yang dalam hal ini dipicu oleh maraknya pertambangan timah rakyat dan industri smelter timah, pada kondisi harga timah di pasar Internasional tinggi. Untuk itu disarankan untuk dapat dibentuk tim pemantau di Jakarta di bawah koordinasi Ditjen Migas dengan anggota BPH Migas, Pertamina;
2. Penyelesaian Fenomena Babel jangka pendek juga digunakan untuk meredam serangan terhadap Pemerintah di DPR maupun publik dikaitkan dengan saat pembahasan APBN- 2005, pasca kenaikan harga BBM 1 Maret 2005 di bawah Peraturan Presiden No. 22/ 2005;
3. Pelajaran yang dapat dipetik dalam kaitan dengan perlunya melakukan respon cepat terhadap fenomena kelangkaan BBM adalah mengoptimalkan “Crisis Centre BBM” yang pada eskalasi yang bermakna perlu segera memetakan anatomi dan pengendali mekanisme di lapangan beserta alternatif solusi jangka pendek. Hal ini dapat disetarakan dengan Inpres tentang Task Force (Pasukan Gerak Cepat) dengan didukung oleh pelaksana yang professional, bereaksi cepat tanpa hambatan birokrasi, langsung melapor ke MESDM, dan disediakan dukungan logistik yang memadai. Elemen awal dari Tim Reaksi Cepat ini keberadaannya sudah ada di BPH Migas dan PT Pertamina, sehingga DESDM hanya perlu untuk mengintegrasikan dan mendinamisasikannya;
4. Beban cukup berat dalam pengadaan BBM tambahan untuk menerapkan mekanisme pool konsumen baik bagi pertambangan timah rakyat maupun industri smelter timah, dapat diperingan dengan mengajak pihak swasta lainnya untuk bermitra dalam usaha pengangkutan dan penyimpanan BBM di Babel, merupakan paradigma baru dibukanya pasar BBM di Indonesia pasca UU Migas tahun 2001.
5. Fenomena kelangkaan BBM di Babel beserta solusinya juga dapat digunakan sebagai suatu learning process khususnya bagi BPH Migas, untuk mengantisipasi amanah Undang- undanga Migas Tahun 2001 dimana memberikan amanat bahwa PT Pertamina mengakhiri tugas Public Service Obligation dalam mengadakan dan mendistribusikan BBM secara monopoli di Indonesia sampai 24 November 2005.

Resume Survei Minyak Tanah Di DKI Jaya April 2005

Survei Dilakukan oleh BBMWATCH Research Indonesia


PERANG TERHADAP KEJAHATAN MINYAK TANAH

Ada sejumlah point penting yang bisa dikemukakan dari hasil pemantauan dan survei minyak tanah rakyat di wilayah DKI Jaya yang meliputi 120 pangkalan yang dipilih secara random pada bulan April – Mei yang lalu, berikut adalah ulasannya.

Keamanan Pasokan Minyak Tanah Di Tingkat Pangkalan
Secara umum dari kegiatan pemantauan di lapangan Indikasi kasus kelangkaan minyak tanah di tingkat pangkalan masih relatif kecil. Indikasi kelangkaan yang ditunjukkan dengan adanya antrian masyarakat sangat kecil di 12 (dua belas) wilayah pengamatan pada 120 (seratus dua puluh) pangkalan.

Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan, didapati 84% pangkalan minyak tanah tidak mengalami antrian. Sedangkan sekitar 16% lainnya justru mengalami antrian pembeli minyak Tanah dimana kadar antrian terbagi atas 8% tingkat antrian relatif panjang, sedangkan 9% pangkalan lainnya juga mengalami antrian yang relatif tidak terlalu panjang. Adanya antrian memang tidak mengindikasikan adanya kelangkaan. Namun, adanya antrian menunjukkan bahwa tingkat permintaan yang semakin tinggi namun jika tidak didukung dengan jaminan keamanan pasokan dari Pertamina, akan berdampak pada kondisi krisis, kritis, bahkan kelangkaan.

Keamanan Pasokan Minyak Tanah Dari Sisi Kelurahan

Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan, 84% pihak kelurahan tempat pangkalan minyak tanah berdomisili menyatakan wilayahnya tidak mengalami antrian masyarakat membeli minyak tanah. Hanya sekitar 10% saja dari Kelurahan yang dipantau menyatakan bahwa di daerahnya terkadang mengalami kekurangan minyak tanah yang ditunjukkan dengan adanya antrian warga membeli minyak Tanah.


Pelanggaran
Selain melakukan pemantauan dan survei terhadap pangkalan minyak Tanah, tim juga menemukan beberapa kegiatan yang secara tidak langsung terkait dengan pangkalan atau kelurahan yang dipantau. Hasil dari temuan-temuan ini, khususnya yang terkait dengan pelanggaran terhadap UU No. 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi hendaknya dapat ditindaklanjuti oleh pihak terkait sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Secara umum jenis pelanggaran yang berhasil dipantau dapat dibagi dalam 3 (tiga) kategori yaitu:
(1) Pelanggaran terhadap UU No. 22 Tahun 2001.
(2) Pelanggaran terhadap Peraturan Pertamina UPMS III.
(3) Pelanggaran yang tidak termasuk (1) dan (2) namun berpotensi untuk menyalahgunakan peruntukan minyak Tanah bersubsidi.

Pelanggaran terhadap UU No. 22 Tahun 2001
Dalam kegiatan yang dilakukan diperoleh 5 (lima) potensi kasus besar yang diindikasikan bertentangan dengan UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, meliputi:

Penjualan BBM bersubsidi (minyak tanah rumah tangga) kepada sektor lain yang bukan peruntukannya (industri besar).
Tim pemantauan dan survei wilayah Kebayoran Lama menemukan sebuah pangkalan yang diindikasikan menjual minyak tanahnya ke sektor industri dengan menggunakan drum-drum. Hingga kini Tim terus mengembangkan aspek investigasi untuk mengetahui kebenaran dari laporan relawan yang ada di lapangan.

Menurut laporan yang diperoleh dari pihak-pihak terkait di wilayah tersebut, pangkalan tersebut sering kali menjual sebagian minyak tanahnya untuk keperluan bahan bakar perusahaan roti (Holland Bakery) dan usaha laundry yang semestinya memang tidak diperbolehkan membeli minyak Tanah rumah tangga dan usaha kecil.

Penampungan BBM bersubsidi (minyak tanah rumah tangga) untuk kemudian disalurkan ke sektor lain yang bukan peruntukannya.
Tim pemantauan wilayah Pulogadung menemukan sebuah lokasi/ tempat yang bertindak sebagai tempat penampungan/ penadah minyak tanah bersubsidi yang dibeli melalui pangkalan-pangkalan resmi. Umumnya minyak Tanah yang dibeli diangkut menggunakan gerobak-gerobak dorong untuk kemudian disalurkan ke sektor-sektor yang bukan peruntukannya.

Pangkalan Resmi Dengan Agen Dari Koperasi TNI, Kegiatan Penyalurannya Tidak Jelas.
Tim pemantauan dan survei wilayah Duren Sawit menemukan sebuah lokasi/ tempat yang dalam daftar alamat yang diberikan oleh Pertamina diidentifkasikan sebagai pangkalan resmi. Setelah didatangi oleh relawan ternyata pangkalan yang agen minyak tanahnya berasal dari Koperasi TNI tersebut tidak menunjukkan aktivitas pendistribusian minyak tanah ke masyarakat sekitar (sering kali tutup), padahal alokasi yang diberikan oleh Pertamina sangat besar mencapai 125 KL/ bulan (rata-rata 1 tangki/ hari).

Ketika tim mencoba untuk masuk, pagar lokasi pangkalan dikunci. Menurut Ketua RT setempat, semenjak berdiri (tiga) tahun yang lalu, pangkalan tersebut tidak pernah terlihat melakukan aktivitas sebagaimana layaknya sebuah pangkalan minyak Tanah. Dengan alokasi dari Pertamina mencapai 125 KL per bulan serta asumsi subsidi minyak tanah Rp. 2000 per liter, maka selama 3 (tiga) tahun negara berpotensi dirugikan mencapai Rp. 9 Miliar.

Penjualan minyak tanah tanpa izin dan penyalurannya tidak jelas serta diduga melibatkan oknum di Pertamina.
Tim pemantauan dan survei wilayah Ciracas menemukan sebuah lokasi/ tempat yang berpotensi untuk diidentifikasi sebagai pangkalan ilegal (tidak ada dalam data alamat yang diberikan Pertamina). Menurut beberapa pihak sekitar pangkalan yang ditanyai oleh relawan, pangkalan tersebut merupakan milik orang yang bekerja di Pertamina.

Hingga kini Tim terus mengembangkan aspek investigasi untuk mengetahui kebenaran dari laporan relawan yang ada di lapangan ini.

Pangkalan minyak tanah yang memperoleh minyak Tanah langsung dari dropping pihak “Pertamina”.
Tim pemantauan dan survei wilayah Senen-Gambir menemukan sebuah pangkalan minyak Tanah yang terdata sebagai pangkalan resmi namun setelah ditanyakan siapa agennya, pihak pangkalan mengatakan bahwa minyak tanahnya mendapat dropping langsung dari pihak “Pertamina” atas nama (inisial) HT.

Menurut pemilik pangkalan, semenjak agen yang lama bermasalah, maka pengisian dilakukan langsung oleh “pihak Pertamina”. Kondisi ini sebenarnya tidak sesuai dengan tata niaga yang berlaku. Lebih lanjut, jika kemudian terbukti bahwa pihak pertamina yang dimaksud merupakan personal di pertamina dan tidak memiliki izin resmi sebagai agen minyak Tanah, maka jelas kegiatan ini melanggar UU No 22 tahun 2001 tentang usaha pengangkutan tanpa izin semestinya. Hingga kini Tim terus mengembangkan aspek investigasi untuk mengetahui kebenaran dari laporan relawan yang ada di lapangan ini.

Pelanggaran Terhadap Peraturan Pertamina UPMS III

Dalam kegiatan yang dilakukan sepanjang 10 (sepuluh) hari efektif kerja dari tanggal 1 April 2005 hingga 12 April 2005 diperoleh 5 (lima) jenis potensi pelanggaran terhadap peraturan atau ketentuan yang telah ditetapkan Pertamina UPMS III yang dapat mengakibatkan terjadinya beberapa kondisi seperti lonjakan harga jual, terhambatnya pasokan minyak tanah, hingga dampak penghambur-hamburan uang subsidi minyak tanah karena tidak tepat sasaran. Berikut diantaranya :

1. Menjual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) sesuai dengan SK Gubernur DKI Jakarta Rp. 885/ liter.
Dari pantauan yang dilakukan tim ternyata masih sangat banyak pangkalan resmi (46% pangkalan yang dipantau) menjual minyak tanah diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah dan Pertamina. Beberapa pangkalan bahkan menjual jauh diatas toleransi yang telah disepakati (Rp. 900/ liter).

Dari 12 Wilayah pemantauan, semua wilayah menjual diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan. Beberapa wilayah kecuali Kelapa Gading, Palmerah, Duren Sawit, Kembangan, dan Tanjung Priok, semuanya secara rata-rata menjual diatas Rp. 900/ liter. Wilayah yang paling banyak pelanggaran HET adalah Kramat Jati, Senen dan Jagakarsa dimana rata-rata HET bisa mencapai diatas Rp 950/ liter.
Data ini sebenarnya menunjukkan bahwa pihak Agen yang tentunya diketahui oleh Pertamina tidak berhasil mengontrol para pangkalan untuk menjual dengan HET yang sesuai dengan ketentuan.
Ditemui juga sebuah pola dimana para pangkalan yang menjual dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) umumnya hanya memberlakukan harga ini untuk para gerobak dorong. Sedangkan untuk sektor rumah tangga yang membeli langsung di pangkalan ditetapkan harga diatas HET dengan argumen para pangkalan agar gerobak dorong bisa bersaing dalam hal harga jual.

Dari seluruh pangkalan minyak Tanah yang dipantau, ada 18 pangkalan minyak tanah (15,12%) yang menjual diatas kewajaran yaitu menjual diatas harga Rp. 1.000/ liter. Sedangkan yang menjual diantara Rp. 900-1.000 per liter relatif sedikit sekitar 5 pangkalan (4,2%). Sedangkan yang menjual di kisaran Rp. 900/ liter berjumlah 32 pangkalan (26,89%).

Sedangkan yang menjual dengan harga HET mencapai 64 pangkalan atau sekitar 53,78% dari pangkalan yang dipantau selama tim bekerja. Fakta menarik lain di lapangan, ternyata pada beberapa pangkalan terjadi penyesuaian harga seperti pada saat pemantauan dilakukan. Jadi, bisa jadi pangkalan-pangkalan yang pada saat dipantau menjual dengan HET resmi, namun sebenarnya mereka menjual diatas HET sebelum pemantauan dilakukan. Fakta pendukungnya adalah adanya kenaikan harga jual di tingkat pengecer dibandingkan periode sebelum kenaikan harga BBM.

2. Agen Menjual di atas Harga Resmi sesuai dengan Komposisi HET dalam SK Gubernur DKI Jakarta Untuk Radius 40 km.
Tim menganalisis salah satu penyebab para pangkalan tidak bersedia menjual dengan harga HET adalah dikarenakan harga jual dari Agen ke pangkalan sudah naik dan tidak standar.

Secara umum memang harga beli dari Agen masih berkisar Rp. 4.075.000. Namun cukup banyak ditemukan harga jual ditingkat agen ke pangkalan yang diatas besaran resmi tersebut bahkan bisa sampai dengan Rp. 4.175.000 per tangki minyak tanah.

Dengan kondisi ini maka semestinya pihak Pertamina dapat mempertanyakan perbedaan harga ini kepada pihak Agen mengingat semuanya masih dalam radius Depo-Pangkalan sejauh 40 KM.

3. Menjual langsung lebih dari 80% (delapan puluh persen) minyak tanah yang dikirim ke sektor non rumah tangga.
Hampir sebagian besar Pangkalan yang dipantau (> 70%) tidak mematuhi aturan Pertamina bahwa pangkalan harus menjual langsung minimal 20% (dua puluh persen) minyak tanah yang dikirim Agen ke sektor rumah tangga seperti yang ditetapkan Pertamina UPMS III.

Sebagian besar pangkalan hanya menjual kurang dari 30 liter minyak tanah yang dikirim atau sekitar 0,6% dari setiap 5.000 liter minyak tanah yang dikirim ke pangkalan. Sisanya dijual ke gerobak dorong.

Kondisi ini sengaja diciptakan para pangkalan dengan menjual minyak tanah dengan harga relatif sama dengan harga jual gerobak dorong ke masyarakat sehingga pada akhirnya rumah tangga lebih suka membeli di pengecer dengan alasan harga beli sama dengan membeli langsung ke pangkalan. Disamping itu dengan kondisi ini para pangkalan yang juga selaku pemilik gerobak dorong akan mendapatkan margin yang lebih besar lagi dibandingkan daripada hanya menjual melalui pangkalan dengan harga eceran tertinggi.

4. Tidak menempelkan papan pangkalan sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Pertamina.
Masih didapati pangkalan-pangkalan yang tidak memasang papan pangkalan. Padahal sesuai dengan fungsinya papan pangkalan merupakan media informasi (aspek legalitas & informasi pangkalan) yang sangat diperlukan. Namun jumlahnya sangat sedikit hanya sekitar 5 (lima) pangkalan saja, dengan alasan yang beragam mulai dari masih dibuat, hilang, dsb.

Permasalahan utama dalam papan pangkalan adalah :
(1) Sebagian besar pangkalan yang telah memasang papan pangkalan juga umumnya tidak memasangnya di depan pangkalan. Masih banyak ditemukan pangkalan dipasang di tempat yang tersembunyi.
(2) Tidak ada standarisasi dalam papan pangkalan sehingga terkesan “apa adanya”. Baik dari substansi isi dari papan pangkalan masupun dari sisi tampilan yang ala kadarya sehingga cenderung semakin menunjukkan kesan kotor dan jorok pada pangkalan minyak tanah.

5. Sopir agen yang meminta uang curah/ uang cor kepada pangkalan minyak tanah yang diisi.
Dari survei yang dilakukan terhadap para pemilik/ pengelolah pangkalan masih cukup banyak ditemukan adanya pungutan sopir tangki dalam bentuk uang.

Kondisi ini umumnya sering disebut sebagai uang cor/ uang curah. Nilainya pun bervariasi mulai dari Rp. 25.000 – Rp. 100.000 untuk setiap kali pengantaran. Kondisi ini semestinya tidak perlu terjadi jika para sopir tangki benar-benar mendapatkan gaji yang layak sesuai dengan pekerjaannya.

Menurut pihak pangkalan implikasi jika para sopir tidak diberi uang cor/ curah maka dapat berakibat pada kurangnya volume minyak tanah yang dikirim. Alasan lain misalnya lebih sebagai bentuk perhatian pada para sopir agar memprioritaskan jadwal pengiriman kepada pangkalan yang bersangkutan.

Sedangkan dari sisi sopir tangki mengatakan bahwa mereka terpaksa melakukan hal ini karena mereka juga mengalami pungutan-pungutan di Depo Plumpang oleh oknum di sana.

6. Adanya Indikasi Pangkalan Fiktif (setelah dicek dengan data alamat pangkalan dari Pertamina, ternyata pangkalan tidak ada).
Antara data alamat pangkalan yang diberikan Pertamina dengan kenyataan di lapangan ternyata seringkali berbeda. Pada saat pemantauan di lakukan cukup banyak ditemui pangkalan-pangkalan yang alamatnya salah bahkan tidak ada.

Tidak tertatanya dengan baik “Database Alamat & Alokasi Agen-Pangkalan” milik Pertamina UPMS III bisa jadi salah satu penyebabnya. Untuk hal ini, Tim terpaksa meminta data yang lebih lengkap dan terstruktur dari DPP Hiswana Migas. Namun seperti halnya data pertamina, masih ditemui kejanggalan dimana ditemukan pangkalan-pangkalan yang alamatnya justru tidak ada ketika dicek di lapangan.

Dengan kondisi ini, maka terbuka peluang adanya potensi pangkalan fiktif karena hanya terdaftar di atas kertas, namun setelah dicek di lapangan pangkalan tersebut justru tidak ada atau tidak dikenal oleh masyarakat sekitar alamat terdaftar.

7. Pangkalan menjual dengan menggunakan kendaraan roda empat dan menggunakan jerigen atau drum (pangkalan mobile).
Ada Pangkalan yang menjual/ mengecerkan minyak tanah dengan modus menggunakan kendaraan roda empat untuk kemudian dibawa ke wilayah diluar kelurahan pangkalan tersebut berdomisili.

Pelanggaran Yang Belum Terdefinisikan (Tidak termasuk pelanggaran terhadap UU No 22 tahun 2001 dan ketentuan UPMS III Pertamina).

Berikut ini beberapa kegiatan yang menurut Tim Analisis berpotensi untuk masuk kategori pelanggaran meski tidak diatur secara eksplisit (tersurat) tercantum dalam ketentuan yang ditetapkan UPMS III Pertamina namun berpotensi untuk mengakibatkan pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi karena dapat mengakibatkan terjadinyan penyalahgunaan peruntukan minyak Tanah bersubsidi.

Dalam kegiatan yang dilakukan sepanjang 10 (sepuluh) hari efektif kerja dari tanggal 1 April 2005 hingga 12 April 2005 diperoleh 8 (delapan) jenis potensi pelanggaran yang belum terdefinisikan, meliputi:

1. Alokasi minyak tanah untuk pangkalan (dari Agen dan diketahui Pertamina) berlebihan diatas ≥ 80 Kilo Liter (KL) per bulan.
Dari 12 wilayah pengamatan yang terdiri dari 120 pangkalan pengamatan ditemukan indikasi adanya sejumlah pangkalan yang alokasi minyak tanah dari Agen (diketahui pihak Pertamina) mencapai ≥ 60 Kilo Liter (KL) per bulan (sekitar 3 tangki minyak Tanah per minggu).

Dari 12 wilayah pemantauan, ada 8 wilayah (66,66%) yang alokasi per bulannya mencapai ≥ 60 Kilo Liter (KL) per bulan. Dari 8 wilayah pemantauan tersebut 4 wilayah memiliki alokasi pengiriman diatas ≥ 70 Kilo Liter (KL) per bulan.

Dari total seluruh pangkalan minyak Tanah yang dipantau, ada 73 pangkalan minyak tanah (62%) yang alokasi per bulannya mencapai ≥ 60 Kilo Liter (KL) per bulan. 38% (tiga puluh persen) pangkalan minyak Tanah mendapat alokasi minyak tanah ≥ 80.000 Liter per Bulan (≥ 4 tangki per minggu). 25% (dua puluh persen) pangkalan minyak Tanah mendapat alokasi ≥ 100.000 Liter per bulan (≥ 5 tangki per minggu).

Alokasi tertinggi mencapai 160.000 Liter per Bulan (dalam satu hari ada yang dua kali pengiriman). Sedangkan alokasi rata-Rata mencapai 67.000 Liter per bulan (3 tangki per minggu). Alokasi terendah mencapai 5.000 liter per bulan (1 tangki per bulan)

Besarnya alokasi yang diberikan secara berlebihan jelas menimbulkan peluang untuk penyalahgunaan peruntukan karena kebutuhan minyak tanah suatu wilayah tidak sebesar alokasi pangkalan. Para pangkalan akan semakin terdorong untuk menghabiskan minyak tanah meski dengan jalan yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Kondisi ini tentunya disetujui oleh pihak Agen yang pastinya diketahui oleh Pertamina. Hal ini semakin menunjukkan bahwa antara pihak agen dan Pertamina tidak dapat mengatur alokasi distribusi minyak tanah secara proporsional dan wajar. Bahkan di beberapa pangkalan yang menjadi pemantauan dan survei ada indikasi bahwa pangkalan-pangkalan dengan alokasi yang sangat besar umumnya terafiliasi dengan pihak agen bahkan bukan tidak mungkin jika ditelusuri lebih jauh melibatkan oknum orang dalam di Pertamina.
Kedepan sebaiknya dikembangkan penyelidikan secara lebih mendalam pada pangkalan-pangkalan dengan alokasi minyak tanah diatas 60 Kilo Liter per bulan yang berpotensi untuk adanya indikasi penyaluran pada sektor yang bukan peruntukkannya serta berindikasi melibatkan pihak-pihak terkait seperti Agen dan Pertamina.

Dari penelusuran terhadap wilayah berdasarkan kondisi dan situasi kelurahan diperoleh banyak potret bahwa pada daerah yang kumuh alokasi minyak tanahnya relatif kecil, sedangkan pada daerah yang di sekelilingnya banyak terdapat industri atau di sekitar perairan alokasi minyak tanahnya sangat besar.

2. Jarak lokasi antar pangkalan yang satu dengan yang lain (dalam kelurahan yang sama) sangat berdekatan.
Dalam lokasi-lokasi yang sangat berdekatan terdapat sejumlah pangkalan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu. Misalnya dalam pemantauan ditemukan 2 pangkalan yang berada dalam lokasi yang berdekatan, berdampingan, bahkan berada dalam satu lokasi.

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan titik koordinat lokasi, dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) yang dianlisis menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) maka diperoleh hasil-hasil sebagai berikut:

(1) Jarak terjauh antar dua pangkalan terdekat adalah 1,5 km.
(2) Jarak rata-rata antar dua pangkalan minyak tanah terdekat adalah sekitar 100 meter.
(3) Jarak terdekat antar dua pangkalan minyak Tanah adalah 3,4 meter.


3. Antara pemilik Pangkalan dan Agen masih terdapat hubungan keluarga atau kerabat (terafiliasi).
Meski belum bisa dibuktikan secara tertulis, namun berdasarkan informasi yang didapatkan Tim dari para pengelola pangkalan, telah ditemukan adanya indikasi bahwa di beberapa wilayah telah terjadi konglomerasi usaha minyak Tanah.

Konglomerasi ini ada dalam bentuk adanya bentuk hubungan kepemilikian antara Agen Minyak Tanah dengan Pangkalan Minyak Tanah. Ditemukan beberapa pangkalan yang memilki alokasi besar di Wilayah Tanjung Priok ternyata masih ada hubungan keluarga sedarah dengan pemilik Agen Minyak Tanah. Bahkan dari pemantauan tim terlihat bahwa alamat antara agen dan pangkalan ada di satu lokasi.

Lebih jauh lagi telah terjadi konglomerasi niaga minyak Tanah hingga ketingkat pengecer (gerobak dorong) yang kenyataanya masih dimiliki oleh pangkalan-pangkalan yang masih ada hubungan dengan Agen-Agen Minyak Tanah tadi. Banyak ditemui pangkalan-pangkalan yang mempekerjakan para gerobak dorong.

4. Keterlambatan & Pembatalan pengiriman minyak ke pangkalan.
Dari pengaduan pihak pangkalan, diperoleh juga pengakuan bahwa para agen masih ada yang relatif sering terlambat dalam melakukan pengiriman ke pangkalan. Dalam situasi ketika tingkat permintaan masyarakat terhadap minyak tanah makin tinggi, maka keterlambatan pengiriman akan sangat mempengaruhi psikologis massa dalam mendapatkan minyak tanah.

Dari survei yang dilakukan kepada 120 (seratus dua puluh) pemilik/ pengelola pangkalan hasinya sekitar 1% pemilik pangkalan mengatakan bahwa agen seringkali terlambat dalam pengiriman minyak Tanah ke pangkalan, 11% menjawab kadang-kadang, dan sebagian besar lainnya (88%) menjawab tidak pernah terlambat.

Terlebih lagi pada saat kegiatan pemantauan mulai dilakukan, tangki-tangki agen rata-rata datang sesuai jadwal normal. Kuat dugaan, para agen telah dikondisikan oleh pihak pertamina bahwa akan ada kegiatan ini seperti yang tercantum dalam surat perintah kerja, dimana disebutkan bahwa kegiatan ini juga ditembuskan kepada pihak DPC Hiswana Migas).

5. Kekurangan volume pengiriman minyak ke pangkalan.
Masih ditemukan kondisi dimana volume minyak Tanah yang dikirim ke pangkalan tidak sesuai dengan jumlah yang semestinya. Diduga bahwa kegiatan ini dilakukan oleh sopir agen yang mengurangi (istilahnya kencing) volume minyak tanah dalam perjalanan dari Depo Pangkalan minyak Tanah.

Meski proporsi antara yang seringkali dan kadang-kadang masih lebih rendah dibanding yang tidak pernah mendapati kekurangan pengiriman jumlah liter minyak Tanah yang dikirim, namun dengan adanya laporan bahwa ada sekitar 15% (empat puluh persen) yang mengalami kondisi ini tetap cukup memprihatinkan dan harus lebih diperketat pengamanan terhadap kendaraan tangki minyak Tanah misalnya dengan melakukan pemasangan segel.

Kesimpulan Hasil Pemantauan dan Survei
Dari pemantauan (monitoring) dan survei yang dilakukan secara selama 10 (sepuluh) hari efektif kerja sejak tanggal 1 April hingga 12 April 2005 dapat disampaikan kesimpulan serta saran-saran yang bisa menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan distribusi minyak tanah seperti Pertamina, Pemerintah (pusat dan daerah) serta Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), diantaranya:

(1) Selama kegiatan pemantauan dilakukan masih ditemui adanya kelangkaan minyak tanah di tingkat pangkalan. Ini ditunjukkan dengan terjadinya antrian masyarakat dalam pembelian minyak tanah di pangkalan, meskipun dalam situasi yang masih terkendali.

(2) Masih banyak ditemukan perbedaan antara data pangkalan minyak tanah yang tertulis/ terdaftar dalam database Pertamina dengan hasil pantauan/ survei yang dilakukan Tim, khususnya dalam hal data alamat, pemilik, hingga alokasi per pangkalan.

(3) Secara umum sistem distribusi minyak tanah untuk konsumen akhir (end user) yang paling banyak dipantau adalah (secara berturut-turut):
1. Depo Plumpang – Agen – Pangkalan – Gerobak Dorong – Warung – Konsumen Akhir.
2. Depo Plumpang – Agen – Pangkalan – Gerobak Dorong – Konsumen Akhir.
3. Depo Plumpang – Agen – Pangkalan – Konsumen Akhir.

(4) Tingkat kepatuhan Para Pangkalan Terhadap Aturan Pertamina atas kewajiban/ peraturan/ ketentuan yang ditetapkan Pertamina UPMS III masih sangat rendah, khususnya dalam HET dan alokasi untuk rumah tangga yang harus disediakan setiap kali minyak tanah masuk ke pangkalan.

(5) Tim menemukan banyak pelanggaran, mulai dari yang sangat serius (pelanggaran terhadap UU No. 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi), pelanggaran administratif terhadap ketentuan Pertamina UPMS III, hingga pelanggaran yang tidak termasuk kedua kategori diatas namun tetap berpotensi untuk menyebabkan penyalahgunaan terhadap BBM bersubsidi yang berarti melanggar UU No. 22 tahun 2001 dan merugikan secara material bagi negara.

(6) Pelanggaran terhadap Harga Eceran Tertinggi (HET) di tingkat pangkalan masih sangat besar mencapai 55 pangkalan (46,21%) dari 120 pangkalan yang dipantau. Harga jual tertinggi ditingkat pangkalan yang ditemukan mencapai Rp. 1.250/ liter. Sedangkan harga jual rata-rata ditingkat pangkalan mencapai Rp. 916/ Liter.

(7) Salah satu penyebab utama melonjaknya HET nyata di tingkat pangkalan adalah dikarenakan masih ada Agen yang menjual ketingkat pangkalan dalam rentang harga diatas standar resmi Rp. 4.075.000/ tangki. Setidaknya ditemukan 10% Agen minyak Tanah yang menjual diatas standar resmi tersebut.

(8) Sebanyak 86 Pangkalan (72,88%) melanggar ketentuan Pertamina untuk wajib menjual setidaknya 20% dari minyak tanah yang masuk ke pangkalan secara langsung kepada sektor rumah tangga. Umumnya sektor rumah tangga hanya mendapatkan prioritas ke-3 dalam alokasi pendistribusian minyak Tanah di titik pangkalan setelah gerobak dorong, usaha kecil, atau warung-warung pengecer.

(9) Ditemukan 45 pangkalan pangkalan minyak tanah mendapat alokasi minyak tanah ≥ 80.000 Liter per Bulan (≥ 4 tangki per minggu). Bahkan ditemukan juga 30 pangkalan minyak tanah mendapat alokasi ≥ 100.000 Liter per bulan (≥ 5 tangki per minggu). Alokasi tertinggi mencapai 160.000 Liter per Bulan (dalam satu hari ada yang dua kali pengiriman). Rata-Rata mencapai 67.000 Liter per bulan (> 3 tangki per minggu). Alokasi terendah mencapai 5.000 liter per bulan (1 tangki per bulan)

(10) Jarak rata-rata antar pangkalan minyak Tanah sekitar 745 meter. Jarak terdekat antar dua pangkalan adalah 1,6 meter (Satu lokasi, 2 pangkalan) serta terjauh 3.000 meter. (dihitung menggunakan Global Positioning System)

(11) Usaha pengecer/ gerobak dorong yang terlibat dalam pendistribusian minyak Tanah bersubsidi mencapai rasio 1 berbanding 5,17 (Pangkalan : Gerobak Dorong). Dari 120 pangkalan yang dipantau dan disurvei terdapat sekitar 620 gerobak dorong yang mendistribusikan minyak Tanah ke pangkalan.

(12) Secara umum masih banyak ditemukan permasalahan meskipun tidak terlalu signifikan dari pihak pangkalan seputar pengiriman minyak Tanah oleh agen seperti dalam hal jadwal pengiriman, jumlah liter yang dikirim, hingga maraknya “uang cor” dari sopir tangki agen.


Perbaikan Sistem
Untuk mengantisipasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi perlu kiranya dibuat perbaikan sistem yang dilakukan oleh Pertamina, berikut sejumlah rekomendasi yang bisa diberikan :

(1) Pihak Pertamina UPMS III dapat lebih mempertegas aturan-aturan baik yang bersifat administratif maupun teknis bagi para agen dan pangkalan termasuk sanksi tegas bagi pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut. Aturan-aturan tersebut hendaknya dapat disosialisasikan secara meluas bagi kalangan agen dan pangkalan agar mereka mengerti dan memahami bagaimana berusaha minyak Tanah yang baik dan benar. Banyak pangkalan yang ternyata masih belum tahu dan faham terhadap aturan-aturan dalam niaga pertamina. Selanjutnya Pertamina UPMS III dapat memperbaharuhi aturan-aturan yang diperuntukan bagi kalangan agen dan pangkalan dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari hasil pantauan dan survei yang telah di lakukan.

(2) Pihak Pertamina UPMS III harus lebih mempebaiki database pangkalan Minyak Tanah yang ada di wilayahnya. Ke depan dapat dikembangkan database pangkalan dengan aplikasi berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dilengkapi dengan titik koordinat yang diperoleh dengan Global Positioning System (GPS). Sistem database ini dapat di-updating setiap bulan sehingga data milik Pertamina tidak kadaluarsa.

(3) Pertamina perlu mengkaji lebih jauh keberadaan pangkalan-pangkalan yang lokasinya berdekatan, berdampingan, bahkan dalam satu wilayah. Untuk pertamina perlu melakukan reposisi pangkalan-pangakaln yang lokasinya berdekatan agar tidak rawan dalam peyalahgunaan. Beberapa pangkalan yang lokasinya berdampingan atau berada dalam satu wilayah perlu dikaji lebih jauh kepemilikan pangkalan-pangkalan tersebut.

(4) Pertamina juga perlu mengkaji lebih jauh keberadaan pangkalan-pangkalan dengan alokasi minyak tanah per bulan yang sangat besar (> 80 KL/ bulan). Pangkalan dengan alokasi besar berpotensi untuk melakukan penyalahgunaan pemakaian minyak tanah bersubsidi mengingat kebutuhan masyarakat (rumah tangga) dalam wilayah pangkalan berdomisili tidak sebesar alokasi yang diperuntukan pangkalan tersebut. Solusi alternatif adalah dengan melakukan pemecahan pangkalan dalam radius yang relatif lebih jauh dan wajar.

(5) Untuk papan pangkalan, Pertamina harus melakukan standarisasi papan pangkalan baik dari sisi substansi (memuat sekurang-kurangnya Nama pemilik pangkalan, Nama Agen, NIAP Agen, Kontrak Pangkalan & Agen, HET resmi, Alokasi per bulan dalam satuan liter, jadwal pengiriman) maupun dari sisi tampilan yang lebih baik.

(6) Sebagai pihak yang ditunjuk untuk melakukan pendistribusian minyak Tanah bersubsidi, pangkalan-pangkalan perlu untuk ditekankan untuk lebih mmperhatikan aspek keamanan pangkalan (bahaya api) hingga kebersihan dan kerapian pangkalan. Sudah saatnya kesan jorok dan kotor pada pangkalan agar dikurangi melalui standarisasi kerapihan, kebersihan dan keamanan di pangkalan oleh pihak pertamina.

(7) Perlu dilakukan pemantauan (monitoring) dan survei secara lebih luas dan komprehensif pada seluruh pangkalan yang ada di DKI Jakarta beserta beberapa kota besar lain seperti Medan (UPMS I), Surabaya (UPMS V), dan Makasar (UPMS VII) sebagai perbandingan bagi kota Jakarta (UPMS III).

(8) Konsep Harga Eceran Tertinggi (HET) sudah semestinya ditinjau kembali karena dalam implementasinya konsep ini umumnya tidak dipatuhi oleh para pangkalan minyak Tanah. Dari besarannya yang terlalu ‘ganjil’ (Rp. 885) juga terkesan terlalu dipaksakan. Harus diperjelas bahwa Harga Eceran Tertinggi Pangkalan (HETP) harus dijalankan secara konsisten tidak hanya untuk gerobak dorong, namun juga berlaku untuk rumah tangga yang langsung melakukan pembelian di Pangkalan. Pertamina dan Pemerintah Daerah harus memperhatikan tingkat kelayakan dari Margin pangkalan dalam struktur HET sehingga pangkalan-pangkalan tidak mengambil kesempatan mendapatkan laba dengan cara menjual dengan HET.

(9) Pertamina harus mulai mempersiapkan sistem distribusi minyak alternatif yang dapat lebih meminimalisir in-efisiensi dalam pendistribusian minyak Tanah untuk rumah tangga. Dalam penyusunan tata niaga minyak Tanah alternatif, harus diperhatikan secara seksama keberadaan para pengecer dalam hal ini gerobak dorong yang jumlahnya sangat besar. Jika kemudian rantai distribusi minyak tanah dari pangkalan langsung dipotong maka jelas akan berdampak pada hajat hidup rakyat kecil yang ternyata sangat banyak.

(10) Pertamina harus bisa membuat kesetaraan posisi tawar (The Equilibrium of Bargaining Position) antara Agen Penjual Minyak Tanah (APMT) dan Pangkalan Minyak Tanah terutama dalam aspek teknis pendistribusian minyak tanah. Pangkalan Minyak Tanah semestinya bertanggung jawab langsung kepada Pertamina bukan melalui APMT. Dalam banyak hal posisi tawar pangkalan terlalu dibawah APMT. Dalam permasalahan pengaturan, pengurangan, bahkan pemutusan hubungan usaha (PHU) bagi pangkalan peran APMT terlalu besar.

(11) Pemerintah melalui Pertamina harus lebih aktif mensosialisasikan Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terutama dalam aspek hukum terhadap pelanggaran pendistribusian minyak Tanah bersubsidi.

(12) Perlu dibuat sistem dan alat bantu (tools) Monitoring distribusi minyak Tanah yang lebih efektif, efisien, dan independen agar publik dapat melaporkan terhadap berbagai kondisi di masyarakat terkait dengan terhambatnya pasokan, lonjakan harga eceran, hingga pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di tingkat pangkalan hingga pengecer.