Sunday, June 8, 2008

KUTUKAN MINYAK


Di dalam textbook mikroekonomi, terdapat suatu paradoks ekonomi yang disebut Dutch Disease. Istilah ini muncul pada tahun 1970-an, setelah pada awal tahun 1960-an ditemukan cadangan gas bumi yang besar di lepas pantai Belanda. Ternyata, produksi gas bumi tersebut justru menurunkan pertumbuhan ekonomi Belanda beberapa tahun setelah penemuan cadangannya, karena telah menimbulkan kelesuan di sektor industri manufaktur. Dutch Disease kemudian menjadi suatu contoh bahwa kekayaan alam yang dimiliki oleh suatu bangsa tidak akan membawa kemakmuran bagi bangsa tersebut apabila tidak dikelola dengan baik.

Dalam kasus Indonesia, sepertinya kita mengalami Dutch Disease dalam bentuk yang lain. Kekayaan alam yang kita miliki seringkali justru menjadi bahan sengketa dan menyengsarakan masyarakat di sekitarnya. Kekayaan alam yang menurut Undang Undang Dasar harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, ternyata dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh kalangan tertentu.

Khususnya dalam hal minyak bumi, Dutch Disease muncul di Indonesia dalam bentuk politisasi harga BBM. Rasionalitas terhadap harga BBM selalu menjadi korban elit politik yang ingin menarik simpati massa. Sehingga, masyarakat seolah dininabobokkan dengan janji harga BBM yang rendah (baca: harga BBM tidak naik) dengan dalih kepedulian elit politik kepada rakyat.

Memang harga BBM yang terjangkau adalah salah satu kebutuhan penting rakyat. Tetapi konsekuensi dan dampak dari harga BBM yang rendah juga sangat besar. Betapa besar subsidi yang harus disediakan Negara untuk menjaga agar BBM tetap “murah”. Seperti tercantum dalam APBN-P tahun 2008, dana yang dialokasikan untuk subsidi BBM sebesar 126,8 trilyun rupiah, jika ditambah dengan subsidi listrik maka subsidi energi menjadi 187,1 trilyun rupiah. Jadi jika penduduk Indonesia berjumlah 220 juta jiwa, maka setiap penduduk Indonesia secara rata-rata menerima subsidi energi sebesar Rp 850 ribu per tahun, tidak peduli bayi atau dewasa, miskin atau kaya, di desa atau pun di kota.

Pertanyaannya, sampai kapan kebijakan subsidi energi terus dijalankan? Harga minyak dunia cenderung terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir, dan ke depan sepertinya akan terus berlanjut. Upaya untuk menaikkan produksi minyak bumi domestik ternyata jauh dari harapan. Di sisi lain, permintaan BBM terus meningkat dan volumenya semakin jauh dari kemampuan produksi minyak bumi dan BBM di dalam negeri. Yang berarti ketergantungan Indonesia terhadap luar negeri semakin besar, dengan semakin meningkatnya impor minyak bumi dan BBM.

Kebijakan subsidi harga BBM juga menjadi akar permasalahan dari berbagai persoalan, dari tidak berkembangnya pemakaian energi alternatif (karena tidak dapat bersaing dengan BBM yang disubsidi), pengembangan infrastruktur yang terhambat (karena dananya tersedot untuk subsidi BBM), semakin banyaknya kendaraan bermotor di jalan raya (karena harga BBM relatif murah), dan tentu saja tingkat polusi udara semakin tinggi.

Dari tiga presiden Indonesia pasca reformasi, masing-masing telah “menaikkan” harga BBM satu atau dua kali, yang kesemuanya terjadi pada tahun pertama pemerintahannya. Hal di atas barangkali didasari pertimbangan popularitas presiden pada tahun pertama masih cukup tinggi. Apabila kenaikan harga BBM dilakukan pada tahun-tahun terakhir, dikhawatirkan akan mengurangi popularitas presiden untuk dipilih pada periode selanjutnya, atau pun bahkan langsung habis saat itu juga. Ingat, presiden Soeharto turun setelah kenaikan harga BBM Mei 1998, dan juga presiden Gus Dur turun setelah penyesuaian harga BBM Maret 2001.

Pada dua tahun terakhir pemerintahannya, dalam berbagai kesempatan pemerintahan presiden SBY menjanjikan tidak ada kenaikan harga BBM sampai tahun 2009. Padahal, pada saat kenaikan harga BBM bulan Oktober 2005, tidak pernah dikatakan bahwa kenaikan harga BBM tersebut adalah yang terakhir.

Sebetulnya, masyarakat sudah semakin mengerti bahwa harga BBM jauh lebih mahal dibanding harga yang ditetapkan pemerintah. Apalagi pada saat ini untuk beberapa sektor telah diterapkan harga pasar BBM, seperti untuk sektor industri, pertambangan, dan pelayaran. Sehingga harga pasar BBM sedikit banyak telah tersosialisasikan.

Tentu saja untuk sektor yang masih disubsidi saat ini, yaitu sektor rumah tangga (minyak tanah) dan sektor transportasi darat (bensin dan minyak solar), barangkali tidak akan mampu jika secara tiba-tiba harus mengikuti harga pasar BBM. Tetapi, janji pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM tetap akan menyengsarakan masyarakat karena dibarengi dengan kebijakan pembatasan penyediaan BBM di pasar, sehingga menimbulkan antrian minyak tanah di mana-mana.

Ini adalah ironi bagi suatu Negara yang dulu di era 70-an dan 80-an pernah jaya karena kekayaan minyak buminya. Kenapa kita harus terjebak dalam Dutch Desease, dan tidak segera mencari jalan keluar untuk mengakhiri hal ini? Jawabannya terletak pada keberanian pemerintah yang berkuasa, apakah harga BBM akan dinaikkan atau mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pemerintahan berikutnya.

Oetomo Tri Winarno,
pengamat kebijakan energi, tinggal di Bandung.