Saturday, May 5, 2007

Belajar Dari Krisis BBM Philipina

(Oleh: Arulan Hatta, Direktur Eksekutif BBMwatch Indonesia, dimuat di Koran Tempo)

1. Pendahuluan
Lonjakan harga minyak yang terjadi sejak minggu pertama april 2005, telah memberikan implikasi yang sangat luas terhadap stabilitas ekonomi, politik dan keamanan masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia dan Filipina. Tulisan ini berupaya menggambarkan kondisi yang terjadi di Filipina, agar dapat diperoleh benang merah yang bisa jadikan pelajaran bagi kita dalam upaya keluar dari krisis BBM berkepanjangan.

Jauh sebelum Indonesia, pemerintah Filipina telah mengeluarkan berbagai kebijakaan strategis, upaya dan langkah nyata sebagai solusi jangka pendek, menengah dan panjang, termasuk di dalamnya pembenahan instrumen regulasi terkait keamanan pasokan BBM serta penghematan dan diversifikasi energi. Jadi, gejolak harga BBM di Filipina telah mendahului situasi "krisis Energi-BBM" di Indonesia antara bulan Juli-September 2005.

2. Filipina Negara Pengimpor Migas
Filipina sebagai salah satu negara di kawasan ASEAN dengan jumlah penduduk sekitar 80 juta jiwa, perekonomian negaranya sangat rentan terhadap adanya kenaikan harga minyak mentah yang tinggi di pasar global. Dapat dipahami karena Filipina sudah sangat tergantung pada impor minyak mentah (net importer oil) , yang saat ini mencapai sekitar 373.000 barel per hari (bph). Jumlah ini kira-kira mendekati impor untuk minyak Indonesia tahun 2005 yaitu 400.000 bph dan ditambah dengan BBM sebesar 330.000 bph.

Sektor Migas di Filipina telah diregulasi melalui Oil Deregulation Law Republic Act No. 8479 yang diberlakukan sejak tahun 1998 pada Pemerintahan Fidel V. Ramos. Di bawah Oil Deregulation Law pemerintah Filipina tidak boleh mengintervensi pasar baik melalui harga, maupun ekspor dan impor produk minyak, atau mengembangkan retail outlets (SPBU), depot penyimpan, fasilitas penerimaan-laut dan pengilangan. Undang-undang ini dirancang untuk menekan fluktuasi atau volatilitas dari harga minyak dan sekaligus menghapuskan subsidi harga BBM .

Dalam kaitan ini UU Deregulasi Hilir Migas Filipina dipersepsikan telah menghilangkan kontrol pemerintah terhadap harga yang ditentukan pada industri minyak. Berdasarkan UU tersebut harga minyak dapat naik dan turun pada tingkat pasar (market level) atau harga ditentukan oleh kekuatan pasar (market forces).

Sebelum ketentuan tersebut berlaku maka di bawah suatu Deregulasi Lingkungan (Environment Deregulation) pemerintah Filipina membentuk suatu mekanisme Dana untuk Menstabilkan Harga Minyak (oil price stabilizing fund OPSF), yang digunakan sebagai instrumen untuk mensubsidi harga BBM. Di samping itu perusahaan minyak harus memiliki persetujuan Pemerintah bila akan menaikkan harga BBM.

Berdasarkan Memarundum No. 2001 perusahaan minyak diwajibkan untuk melaporkan kepada Pemerintah melalui Departemen Energi sedikitnya sehari sebelum diberlakukannya rencana penyesuaian tarif.

3. Implikasi Kenaikan Harga Minyak
Merespon kenaikan harga minyak mentah tersebut, industri minyak utama (major oil industry) di Filipina telah menaikkan harga BBM jenis premium, minyak diesel, dan LPG sekitar 75-centavo. Sebagai informasi seperti halnya Indonesia, dalam perhitungan harga BBM di Filipina mengacu dengan rata-rata Mean of Platts Singapore (MOPS), namun diterapkan secara menyeluruh tidak terbatas hanya sektor Industri.

Kenaikan harga BBM di Filipina pada bulan April tersebut selanjutnya telah menimbulkan dampak berganda (multiplier effect). Pada tanggal 18 April 2005 terjadi pemogokan nasional sektor transporsi umum yaitu jeepney dan bis di Filipina dengan kekuatan sekitar 250.000 pengemudi dan operator. Untuk memprotes kenaikan harga BBM (gasoline, LPG, Kerosene, Diesel), sekaligus menuntut kenaikan tarif angkutan. Pemogokan telah mengakibatkan kelumpuhan 70-90% transportasi umum di beberapa kota besar, seperti Metro Manila.

Kenaikan harga BBM tersebut diikuti dengan kenaikan harga barang-barang dan jasa dalam jumlah yang cukup signifikan, yang pada akhirnya meningkatkan inflasi sekitar 0,03-0,01% dan menghambat perkembangan ekonomi.

Momentum kenaikan harga BBM di Filipina ini juga digunakan sebagai alat politik oleh kelompok oposisi terhadap kebijakan sektor migas yang telah diregulasi melalui Oil Deregulation Law Republic Act No. 8479, sejak tahun 1998. UU tersebut dipersepsikan sebagai penyebab, kenaikan harga BBM yang sangat signifikan, dan Pemerintah terkesan tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan harga.

Kelompok oposisi selanjutnya telah mengumpulkan sejuta tanda tangan untuk diserahkan ke Mahkamah Agung Filipina dengan tuntutan agar Oil Deregulation Law Republic Act No. 8479 tersebut dibatalkan atau diamandemen.

Sebenarnya deregulasi sektor migas diharapkan di satu sisi akan menciptakan iklim kompetisi yang adil bagi para pemain sektor perminyakan, selanjutnya dapat menekan harga BBM agar lebih efisien. Namun, di sisi lain ternyata pemerintah kurang cukup kuat dalam mengelola dan mengendalikan harga BBM.

Sementara itu upaya untuk mensubsidi kembali harga BBM pada konsumen dinilai kontraproduktif, dan akan semakin memperburuk keadaan. Karena pemberian subsidi harga BBM akan menyebabkan jumlah pasokan kembali meningkat seperti sebelum terjadinya krisis.
Kenaikan harga BBM ini juga telah menimbulkan iklim usaha yang kurang kondusif.

Karena perusahaan minyak dituduh telah melakukan praktek kartel, kolusi dan menaikkan harga secara berlebihan. Akhirnya diusulkan agar Departemen Energi dan Departemen Kehakiman Filipina segera melakukan audit keuangan pada perusahaan minyak utama, melalui Commission of Audit (COU).

4. Upaya Filipina Keluar dari Krisis BBM
Secara umum solusi nyata untuk mengatasi krisis energi-BBM di Filipina jangka pendek, menengah dan panjang antara lain: (1) diterapkan empat hari kerja (four-week days) sejak April 2005 yang merupakan penghematan energi (energy-saving) jangka pendek ; (2) tahun 2007 mengharuskan perusahaan minyak untuk memproduksi BBM dengan 10% kandungan etanol; (3) merubah pembangkit listrik berbahan bakar minyak dengan energi alternatif antara lain panas bumi, batubara, dan energi terbarukan.

Untuk mengurangi dampak kenaikan harga minyak dunia pemerintah Filipina melalui program kemandirian energi (energy independence program) akan mengembangkan dan mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan seperti solar dan angin, serta mempromosikan energi alternatif seperti ethanol diesel , coco diesel , dan lain-lain.

Di samping itu, Presiden Arroyo telah menyiapkan suatu rencana kontijensi (contingency plan), untuk menjajaki opsi yang harus diambil Pemerintah Filipina terhadap kemungkinan terjadinya kembali kenaikan harga minyak yang berkelanjutan di pasar internasional. Rencana kontijensi ini bertujuan untuk menyelaraskan resiko ketergantungan Filipina terhadap beberapa tingkat harga minyak.

Salah satu bagian penting dari rencana kontijensi tersebut adalah untuk memastikan apakah tiga perusahaan minyak terbesar di Filipina telah atau tidak mempraktekkan kartel, dalam menentukan kenaikan harga BBM yang terjadi pada waktu dan besarannya relatif bersamaan.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah upaya untuk menciptakan suatu transparansi pasar (market transparency) agar mekanisme harga dapat divalidasikan oleh stakeholders .

Untuk itu diperlukan tersedianya suatu data dasar yang akurat dan aktual, untuk digunakan dalam menghitung kenaikan harga yang wajar. Dalam kaitan ini kondisi yang diharapkan adalah terjadinya kenaikan harga BBM yang relatif lambat atau gradual. Karena kenaikan harga minyak yang tinggi, pada akhirnya akan memberikan dampak langsung terhadap kehidupan masyarakat miskin di Filipina.

Presiden Arroyo juga menghimbau agar negara-negara Anggota OPEC dan Non-OPEC di kawasan Asia dan Afrika bekerja sama dalam upaya menghentikan kenaikan harga minyak secara berkelanjutan, yang pada akhirnya berpotensi menciptakan dampak terburuk.
Terhadap tekanan publik yang menyorot kebijakan sektor migas, Pemerintahan Arroyo akan mempelajari dengan seksama Oil Deregulation Law untuk melihat apakah Undang-undang tersebut masih dapat mendukung tujuan serta kepentingan Negara Filipina. Atau sebaliknya perlu diamandemen sebagaimana yang saat ini digelorakan oleh kelompok oposisi. Deregulasi industri migas ke depan tergantung dari hasil kajian ini.

5. Proses Belajar
Pelajaran yang dapat dipetik dari fenomena Filipina adalah bahwa suatu kebijakan deregulasi sektor Migas dengan pilar untuk menciptakan iklim kompetisi bagi para pelaku industri minyak dan menghapuskan subsidi harga BBM yang telah berjalan secara mulus pada kondisi harga minyak yang wajar. Namun, pada kondisi bervolatilitasnya harga minyak yang tinggi, menjadi kurang mempunyai alat pengaman. Pada saat itulah publik mulai menyalahkan deregulasi, walaupun sebelumnya telah berjalan, di samping itu mereka mendambakan kembali ke era kebijakan harga regulasi (regulated price) melalui mekanisme subsidi harga.

Anatomi dan pengendali mekanisme (driving force mechanism) dan solusi jangka pendek dan panjang terhadap krisis energi-BBM yang terjadi di Filipina pada bulan Maret dan April 2005, walaupun berbeda dalam sekala dan kompleksitasnya dengan kondisi Indonesia. Namun dapat digunakan sebagai salah satu referensi dan proses belajar dalam mengantisipasi krisis BBM yang terjadi saat ini.

No comments: