Saturday, May 5, 2007

Menguji "Formula KWIK"

(Oleh: Arulan Hatta, Direktur Eksekutif BBMwatch Indonesia, dimuat di Koran Tempo)

”Pemerintah sama sekali tidak memberikan subsidi. Sebaliknya, pemerintah memperoleh kelebihan uang tunai” (Kompas, 3 Februari 2004). Wacana yang digulirkan Bapak Kwik Kian Gie ini, disamping kini menjadi 'primadona' banyak media, juga telah memperkaya 'referensi' bagi para penentang kenaikan harga BBM.

Dalam pengamatan saya, artikel Pak Kwik tersebut banyak mengabaikan prinsip dasar ekonomi energi, khususnya dalam penentuan formula perhitungan harga energi. Lebih lanjut, saya menangkap kesan bahwa wacana yang digulirkan Pak Kwik ini sangat provokatif karena mengarahkan publik untuk mempercayai bahwa 'subsidi ala Pemerintah hanyalah sesuatu yang abstrak yang sama sekali tidak berimplikasi adanya uang keluar, bahkan pemerintah justru mendapatkan kelebihan uang dari BBM yang dijual dengan harga saat ini.'

Pengertian Subsidi
Secara umum dikenal dua pendekatan subsidi BBM. Dalam konteks 'Pemerintah mengeluarkan sejumlah uang karena harga jual BBM lebih rendah dibanding biaya pokok produksi BBM' maka istilah yang biasa digunakan adalah subsidi finansial. Secara sederhana dapat dihitung dengan mengurangkan Harga Jual BBM (HJB) dengan Harga Pokok Produksi BBM (HPP). Jika positif berarti Pemerintah meraup untung yang biasa disebut Laba Bersih Minyak (LBM). Sebaliknya, jika negatif Pemerintah harus menanggung rugi, sehingga dalam APBN muncul istilah subsidi.

Sedangkan dalam konteks ' hilangnya kesempatan memperoleh keuntungan besar karena tidak dapat menjual BBM dengan harga patokan internasional' biasanya dikenal sebagai subsidi ekonomi. Untuk menghitungnya adalah dengan mengurangkan Harga Jual BBM (HJB) dengan Harga Patokan Internasional (HPI) yang dianggap ekonomis. Kawasan Asia umumnya mengacu pada harga ex kilang di Singapura yang dianggap mendekati efisien, jadi bukan harga eceran di Singapura.

Lalu apakah subsidi finansial itu benar-benar ada atau hanya sekadar subsidi ekonomi? Menurut saya kedua-duanya ada dan mesti diperhitungkan dengan prinsip kehati-hatian. Untuk subsidi finansial agak sulit dihitung karena adanya variabel biaya pokok Produksi BBM. Besaran ini masih sulit diungkapkan secara tranparan di Indonesia. Akibatnya, banyak pihak cenderung melakukan prakiraan kasar terhadap besarnya subsidi BBM yang dikeluarkan.

Padahal perbedaan perhitungan Rp. 100/ liter saja bisa mengakibatkan perbedaaan angka subsidi hingga Rp. 6 Triliun. Kami sendiri di BBMwatch Research lebih suka menghitung dengan pendekatan ekonomis. Disamping keakuratannya lebih bisa dipertanggungjawabkan, juga karena akses data harga patokan Internasional tersedia secara terbuka (open accses) pada beberapa website agen pelaporan harga minyak dunia.

Formula Kwik
Formula yang disusun Pak Kwik bahwa konfigurasi biaya pengadaan BBM terdiri dari biaya penyedotan minyak mentah (X) + biaya pengolahan minyak mentah menjadi BBM (Y) + biaya pengangkutan BBM ke Distributor utama (Z), terlalu mensederhanakan perhitungan. Lebih lanjut formula ini kemudian memunculkan angka misterius Rp. 540/ liter, yang kemudian dianggap sebagai biaya pokok produksi BBM di Indonesia.

Dalam penentuan biaya pokok produksi BBM sebenarnya bisa kita bagi dalam dua kelompok besar. Pertama, kegiatan ”menyediakan bahan baku” yang porsi terbesarnya Minyak Mentah. Dalam formula Pak Kwik direpresentasikan oleh Variabel X.

Kedua, setelah tersedia bahan baku minyak mentah, langkah selanjutnya adalah mengolah bahan baku menjadi BBM untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat pengguna. Dalam formula Pak Kwik direprentasikan oleh Variabel Y dan Z.

Mari kita bedah satu persatu!
Pengadaan Minyak Mentah.
Pak Kwik dalam formulanya menjabarkan bahwa biaya pengadaan minyak mentah yang harus dihargai hanyalah biaya 'menyedot' minyak keluar dari perut bumi. Itu artinya unsur minyak mentahnya dihargai 0 (nol). Saya belum pernah menemukan literatur perhitungan biaya pokok BBM di berbagai belahan dunia manapun dengan asumsi semacam ini.

Andai saya seorang pengusaha minyak, saya tentu tidak akan tertarik berinvestasi jika harga minyak mentah hanya dihargai sebesar 'upah menyedot' saja. Harus disadari bahwa usaha minyak merupakan suatu bisnis yang berisiko tinggi (high risk) dan padat modal (capital intensive). Tak heran, jika kemudian sedikit sekali pengusaha dan perusahaan domestik yang mau 'berjudi' di sebuah lapangan yang belum tentu memiliki minyak di dalamnya.

Dalam konteks ekonomi energi, sebelum proses produksi minyak mentah terdapat 2 (dua) tahapan yang harus dilalui meliputi tahapan eksplorasi dan pengembangan. Pada tahapan eksplorasi dihasilkan estimasi besaran cadangan minyak mentah beserta kelayakan ekonomisnya. Termasuk dalam tahapan ini adalah biaya penyelidikan dan pencarian cadangan sumber daya minyak baru yang pasti ( proven reserve ). Yang membuat tahapan ini menjadi khusus adalah biayanya akan sangat tergantung dengan perkembangan teknologi untuk memproduksi minyak. Tingkat keberhasilan (Succses Ratio) dari kegiatan eksplorasi sangat kecil sekali, makanya tak heran perusahan-perusahaan minyak harus menyewa secara khusus berbagai perusahaan oil service untuk melakukan kegiatan penyelidikan geofisika atau seismik. Sedangkan pada tahapan pengembangan juga terdapat biaya-biaya yang berkaitan dengan pengembangan lanjut dari pembuktian besarnya cadangan.

Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI, sebuah perusahaan minyak mulai dari tahapan eksplorasi dan pengembangan hingga bisa berproduksi membutuhkan waktu setidaknya 8 (delapan) hingga diatas 15 (lima belas) tahun. Data ini diperoleh berdasarkan pengalaman perusahaan-perusahaan minyak di wilayah Riau, Kalimantan Timur, Maluku dan Jawa Timur.

Jadi, jika kemudian biaya pengadaan minyak mentah hanya dihitung berdasarkan beban biaya penyedotan saja, jelas tidak bisa dibenarkan. Apabila semua minyak yang keluar dari perut bumi Indonesia dihargai dengan harga yang wajar dan ekonomis (bukan hanya sekedar upah menyedot saja), maka kita pasti akan menemukan fakta betapa besarnya negara ini telah keluar uang dalam bentuk subsidi BBM.

Pengolahan, Penyimpanan, dan Pengangkutan BBM
Dalam artikel kali ini saya juga ingin membuktikan, meski biaya pokok produksi BBM dihitung dengan pendekatan dan formula Kwik (namun dengan mengkoreksi beberapa pengertian dasar serta menambahkan data pendukung baru) maka hasilnya: Negara tetap keluar uang mencapai triliunan rupiah per tahun , bukan mendapatkan kelebihan uang tunai sebesar Rp. 11 riliun/ tahun seperti yang disampaikan Pak Kwik. Kok bisa?

Pertama, Pak Kwik menggunakan istilah Bensin Premium (harga Rp. 1.810 per liter), namun di sisi yang lain dalam memperhitungka n kelebihan uang yang masuk, Pak Kwik justru menggunakan data volume BBM secara total (60 Juta KL). Semestinya, jika kita ingin membahas Bensin Premium maka volume yang digunakan hanya sekitar 14 juta KL. Saya tidak sependapat jika kemudian istilah BBM digantikan dengan Bensin Premium dengan alasan lebih familiar di mata rakyat jelata. Kedua hal tersebut jelas berbeda. Bensin Premium hanyalah satu dari sekian banyak jenis BBM.

Untuk itu semestinya kita menggunakan harga jual secara rata-rata tertimbang. Dari perhitungan kasar penulis, rata-rata tertimbang dari harga jual BBM di Indonesia mengacu Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Energi dan Menteri Keuangan tahun 2003 serta data prosentase volume BBM tahun 2003, diperoleh angka Rp. 1540 per liter (lihat tabel). Angka ini kita perlukan untuk menghitung Nilai penjualan BBM sepanjang tahun. (Pak Kwik menyamaratakan harga BBM Rp. 1.810 seperti halnya harga Premium)

Kedua, Saya tidak sependapat dengan Pak Kwik bahwa dari 100% produksi minyak kita, yang murni menjadi milik Pemerintah Pusat sekitar 70% karena pertimbangan kebijakan bagi hasil migas Pemerintah Pusat, Daerah dan Kontraktor. Memang, dari 100% minyak yang diproduksi di bumi Indonesia, sekitar 92-95% dilakukan para Kontraktor yang terikat kontrak kerjasama bagi hasil (85% Untuk Pemerintah dan 15% Untuk Kontraktor). Selanjutnya dari 85% bagian pemerintah pusat tersebut, masih harus dibagi dengan Pemerintah Daerah sesuai dengan amanah Otonomi Daerah, dimana dana bagi hasil migas ini diperlukan daerah untuk melaksanakan pembangunan daerahnya. Sehingga bagian Pemerintah Pusat sekitar 70%.

Namun, harus diingat bahwa dari 100% Produksi Minyak di Indonesia hanya sekitar 55% saja yang bisa yang bisa dimanfaatkan untuk kilang dalam Negeri. Hal ini karena tidak semua spesifikasi minyak mentah yang dihasilkan kita, cocok untuk kilang dalam negeri. Akibatnya 'minyak mentah yang diproduksi di bumi Indonesia, yang benar-benar milik Pemerintah Pusat, serta bisa diolah di kilang dalam negeri' dan bisa dihargai 0 (nol) menurut versi Pak Kwik, sejatinya hanya sekitar 38,5% saja (55% x 70%). Sedangkan 16,5% lainnya harus dibeli dengan harga internasional atau 16,5% x 1,147 juta Barrel/ hari x 365 hari x 159 liter/ barrel x 40 U$/ barrel x Rp. 8.600 atau sama dengan Rp. 37,78 Triliun/ tahun.

Ketiga, negara harus mengimpor minyak mentah yang cocok dengan spesifikasi kilang domestik dalam jumlah yang cukup besar mencapai lebih dari 300 ribu BPH ( data tahun 2003 Ditjen Migas: 375,7 ribu barrel per hari atau sekitar 21,80 Juta KL per tahun ). Lebih parahnya lagi tidak semua minyak yang diimpor tersebut bisa diolah di kilang dalam negeri, karena keterbatasan kemampuan kilang kita sehingga masih harus ”numpang” pada kilang luar negeri. Jika kita menggunakan asumsi harga pasar minyak mentah 40 U$/ barrel atau Rp. 2.160/ liter (tidak termasuk ongkos angkut) maka uang yang harus dikeluarkan dalam setahun untuk sekitar 21,80 Juta KL adalah Rp. 47,08 Triliun/ tahun.

Keempat, seperti disebutkan Pak Kwik, negeri ini juga harus mengimpor BBM guna memenuhi kebutuhan BBM domestik yang semakin tinggi. Indonesia melakukan Impor BBM sebesar rata-rata 300.000 BPH ( Data Ditjen Migas tahun 2003: 300,7 ribu BPH atau sekitar 17,41 Juta KL ). Akibatnya negara harus mengeluarkan dana untuk impor BBM sebesar Rp. 52,23 Triliun/ tahun.

Kelima, karena tidak semua produk yang dihasilkan di kilang domestik dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam negeri maka sekitar 154.000 atau sekitar 8,93 Juta KL per tahun bisa di ekspor. Jika kita asumsikan harga pasarnya sama dengan pasaran internasional dari BBM yang diimpor (sekitar Rp. 2.700/ liter), maka pemasukan dari ekspor produk kilang adalah sekitar Rp. 24,11 Triliun. Angka ini semestinya jauh lebih kecil karena juga memasukkan produk Non BBM. Namun karena data yang ada sangat terbatas, maka perhitungan ini bisa diterima.

Jadi, dengan adanya uang yang masuk sekitar Rp. 113,64 Triliun/ tahun, namun karena negara harus keluar uang sebesar Rp. 137,09 Triliun/ tahun, alhasil negara masih harus nombok sebesar Rp. 23,45 Triliun/ tahun. Angka ini merupakan perkiraan kasar dari subsidi yang harus dikeluarkan APBN, dengan asumsi 'minyak mentah yang keluar dari perut bumi Indonesia yang benar-benar milik Pemerintah Pusat serta di olah di kilang dalam negeri dihargai 0 (Nol)' .

Jika kemudian asumsi ini diubah (harga minyak mentah > 0), maka subsidinya jelas akan lebih membengkak. Apalagi jika semua minyak mentah dihargai sama dengan harga internasional. Dari perhitungan BBMwatch Research, subsidi ekonomi (potensi hilangnya penghasilan negara karena tidak menjual BBM dengan harga patokan internasional) tahun 2004 bahkan bisa mencapai kisaran Rp.100 Triliun.

Apa artinya ini semua? Dengan kondisi dimana tingkat konsumsi BBM kita lebih besar dari produksi yang sanggup kita lakukan, serta ketika beban impor (Minyak mentah dan BBM) semakin besar, maka ketika itupula negara tetap harus banyak keluar uang, meski minyak mentah yang ada di perut bumi Indonesia milik Pemerintah pusat yang digunakan untuk kebutuhan kilang domestik di hargai nol sekalipun.

Kiranya jelas bahwa persoalan menaikan harga BBM bukan hanya karena harga jual BBM kita terlalu murah, namun lebih karena keuangan negara telah digerogoti puluhan triliun yang semestinya bisa digunakan untuk kegiatan yang terkait langsung dengan hajat hidup rakyat kecil. Inilah makna sejati pasal 33 UUD 45.***

No comments: