Saturday, May 5, 2007

Sosialisasi Subsidi BBM

Disparitas Harga Biang
Keladi Kelangkaan Minyak Tanah
(Dimuat di MinergyNews.Com)

Meski pasokan dari Pertamina lebih dari cukup, namun kelangkaan minyak tanah masih terus terjadi. Penyebabnya, karena disparitas harga masih tinggi.

Menurut Direktur Eksekutif BBM Watch, Arulan Hatta, kenaikan harga BBM 1 Oktober lalu makin memperlebar disparitas harga minyak tanah bersubsidi dengan industri atau BBM jenis lainnya. Sehingga potensi penyalahgunaan juga makin besar. Akibatnya, terjadi kelangkaan minyak tanah.

"Karena disparitas harga yang cukup besar, minyak tanah seperti ditelan siluman yang sulit untuk dideteksi apalagi ditangkap karena juga disinyalir banyak melibatkan oknum aparat," kata Hatta hari ini (5/10) di Jakarta.

Meski harga minyak tanah sudah dinaikkan dengan prosentase di atas seratus persen, yaitu dari Rp 700 per liter menjadi Rp 2.000 per liter, namun disparitas harga dengan minyak tanah untuk industri dan BBM jenis lain semakin lebar.

Hatta memaparkan, dibanding dengan harga minyak tanah industri, disparitas harga minyak tanah rumah tangga sekitar Rp 4.400 per liter. Dengan solar di SPBU sekitar Rp 2.300 per liter, dengan premium sekitar Rp 2.500 per liter dan dengan solar industri sekitar Rp 4.400 per liter.
Begitu juga dibanding dengan rata-rata harga minyak tanah di Kamboja, Filipina, Thailand dan Vietnam, disparitas harga sekitar Rp 3.675 per liter.

Dengan disparitas harga yang sedemikian tinggi itu, ujar Hatta, penyalahgunaan minyak tanah bersubsidi yang diperuntukkan untuk rumah tangga berpotensi sedemikian besar. Penyalahgunaan ini salah satunya untuk dioplos dengan BBM jenis lain.
Pengawasan dan Pengaturan Lemah
Dengan potensi penyalahgunaan yang sedemikian besar itu, fungsi pengaturan dan pengawasan menjadi sangat penting. Namun sayangnya, sambung Hatta, fungsi pengaturan dan pengawasan distribusi BBM yang menjadi tugas Badan Pengatur Hulu Migas (BPH Migas) belum dijalankan dengan semestinya.

"Belum ada langkah yang signifikan dari BPH Migas dalam melakukan pengaturan dan pengawasan minyak tanah khususnya untuk daerah-daerah yang berpotensi terjadinya kelangkaan BBM dan daerah-daerah terpencil," kata Hatta.

Dengan kondisi seperti ini, dia khawatir, jika tugas public service obligation (PSO) dari Pertamina dicabut akan terjadi kekacauan (chaos) yang dapat bermuara pada krisis BBM jilid II.

”40 persen penduduk termiskin hanya menikmati subsidi sebesar 20 Trilyun dari total 113 Trilyun Subsidi BBM”
(Dimuat di NU Online)

Ketua PBNU H. Andi Jamaro Dulung menilai bahwa tak ada keadilan dalam subsidi BBM saat ini karena golongan menengah dan kaya masih menikmati subsidi BBM dengan harga premium 4.500 rupiah sementara harga tersebut sudah terlalu berat bagi rakyat miskin.

“PBNU sebenarnya setuju kenaikan harga BBM, tapi hal tersebut hanya diberlakukan bagi golongan menengah dan kaya sementara rakyat miskin tetap di subsidi dengan menggunakan manajemen kartu elektronik,” tandasnya dalam acara Siraman atau silaturrahmi Ramadhan yang diadakan oleh PP IPNU di Gd .PBNU, Rabu.

PBNU bekerjasama dengan Muhammadiyah dan Yayasan Anak Bangsa Indonesia (YABI) telah mengusulkan sistem pengontrol subsidi dengan sistem elektronik. Dengan penggunaan kartu tersebut dapat dikontrol distribusi BBM dari hulu sampai ke konsumen akhir sehingga mengurangi kemungkinan adanya penyelundupan dan penimbunan.

Konsep yang diusulkan tersebut saat ini serupa dengan konsep yang diterapkan dalam distribusi minyak tanah yang saat ini tengah diujicobakan di daerah Tangerang. Masing-masing penduduk mendapatkan kartu kendali BBM yang dapat digunakan untuk membeli minyak tanah sesuai dengan jatah di pangkalan.

Sementara itu staff ahli kementrerian ESDM Dr. Hardi Prasetyo APU mengungkapkan bahwa cadangan minyak di Indonesia hanya sekitar 5 Milyar barel. Dengan eksploitasi sekitar 1.1 juta barel per tahun, maka cadangan tersebut akan habis dalam waktu 12 tahun. Karena itu pengurangan subsidi dalam bentuk BBM harus dikurangi.

Ahli geologi tersebut mengungkapkan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki banyak sumber energi alternatif yang jumlahnya lebih besar daripada minyak cadangan gas yang dimiliki Indonesia dua kali lipat dari minyak sedangkan cadangan batu bara tiga kali lipatnya. Bahkan Indonesia memiliki sumber energi panas bumi yang jumlahnya mencapai 40 persen di dunia. “Sumber energi alternative ini harus dikembangkan sebagai pengganti energi minyak bumi,” tandasnya.

Direktur Ekskutif BBMWatch Arulan Hatta yang juga menjadi narasumber menyatakan bahwa dari subsidi BBM pada tahun 2005 yang mencapai 113 Trilyun, sebanyak 93 Trilyun dinikmati oleh penduduk menengah ke atas sedangkan 40 persen penduduk termiskin hanya menikmati subsidi sebesar 20 Trilyun.

Kondisi tak adil ini harus dirubah dengan sistem subsidi yang lebih mengena pada masyarakat bawah seperti pemberian subsidi dalam bidang pendidikan, kesehatan dan lainnya. Ia juga menyatakan setuju dengan adanya kenaikan BBM karena harga minyak dunia sedang naik, namun tidak dalam persentase yang sedemikian tinggi.

Tahun Depan, Harga (Keekonomian) Premium Mungkin Capai 5-6 Ribu
(dimuat di Yogyakarta CyberNews).

Melihat perkembangan harga minyak mentah yang masih enggan turun dewasa ini, maka ada beberapa kemungkinan pada tahun 2006. Yaitu harga BBM akan tetap jika asumsi harga minyak tetap US $ 57/barrel.

Jika harga minyak di atas harga tersebut, maka harga BBM untuk jenis premium dan solar akan segera disesuaikan dengan harga ekonomisnya yaitu 5 sampai 6 ribu per liter.
Sedangkan harga minyak tanah belum akan sampai pada harga ekonomisnya atau katakanlah baru di tahun 2007/2008 minyak tanah akan bisa mencapai harga keekonomiannya.

Prediksi tersebut diungkapkan oleh Direktur Eksekutif BBM Watch Research Jakarta, Arulan Hatta, pada diskusi terbuka mengenai harga BBM yang wajar dengan topik ''Merubah Paradigma Subsidi dari Subsidi Produksi Menuju Kompensasi'', di auditorium Fisipol UGM Yogyakarta.

Menurut Arulan, jika harga minyak mentah turun hingga US $ 40 per barrel, maka harga BBM juga akan tetap. Namun jika negara dapat menekan subsidi BBM semestinya dana kompensasi BBM dapat lebih besar, sebesar penurunan subsidi tersebut.

Dikatakan, bahwa menentukan harga BBM yang wajar sangatlah relatif. Pertimbangannya harus sangat komprehensif baik dari sisi ekonomi, sosial, bahkan pertimbangan perkembangan ketersediaan energi ke depan.

Harga BBM yang wajar adalah yang masyarakat masih mampu menjangkaunya, namun tidak memberatkan keuangan negara. Itulah salah satu upaya win-win solution.
Pada beberapa negara berkembang yang cenderung menuju negara maju mulai membawa harga BBM-nya pada suatu tingkat harga yang ekonomis. Namun dengan tetap mempertimbangkan daya beli masyarakat.

Itupun yang diimbangi sebuah kompensasi yang lebih menyentuh kebutuhan hidup lapisan masyarakat secara langsung dan tepat sasaran. ''Model harga patokan terkendali adalah yang paling cocok diterapkan di Indonesia ke depannya.'' Demikian menurut Arulan Hatta.

No comments: