Wednesday, May 28, 2008

Untuk Apa Punya Minyak?


Oleh: MT. ZEN
(dimuat di Kompas 29 Mei 2008)

Dahulu, di zaman Orde Baru, saya masih ingat sekali bahwa setiap kali ada berita tentang turunnya harga minyak di pasaran dunia, Pemerintah Indonesia sudah berkeluh kesah. Pada waktu itu cadangan terbukti Indonesia tercatat 12 miliar barrel.

Kini, pada masa Reformasi ini, lebih khusus lagi selama kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, pemerintah juga berteriak, berkeluh kesah, dan panik apabila harga minyak meningkat di pasaran dunia.

Harga minyak turun berteriak, harga minyak naik lebih berteriak lagi dan panik. Jadi, apa gunanya kita punya minyak, sedangkan Indonesia sejak awal sudah menjadi anggota OPEC? Alangkah tidak masuk akalnya keadaan ini? Sangat kontroversial. Minyak itu tak lain adalah kutukan.

Cadangan tak tersentuh
Hingga kini Indonesia secara resmi disebut masih mempunyai cadangan minyak sebesar 9 miliar barrel. Memang betul, jika dibandingkan dengan cadangan minyak negara-negara Timur Tengah, 9 miliar barrel itu tidak ada artinya. Namun, jelas-jelas Indonesia masih punya minyak. Selain cadangan lama, cadangan blok Cepu belum juga dapat dimanfaatkan. Belum lagi cadangan minyak yang luar biasa besar di lepas pantai barat Aceh.

Perlu diketahui bahwa pada pertengahan tahun 1970-an Indonesia memproduksi 1,5 juta barrel per hari. Yang sangat mencolok dalam industri minyak Indonesia adalah tik ada kemajuan dalam pengembangan teknologi perminyakan Indonesia sama sekali.

Norwegia pada awal-awal tahun 1980-an mempunyai cadangan minyak yang hampir sama dengan Indonesia. Perbedaannya adalah mereka tidak punya sejarah pengembangan industri minyak seperti Indonesia yang sudah mengembangkan industri perminyakan sejak zaman Hindia Belanda, jadi jauh sebelum Perang Dunia ke-2. Lagi pula semua ladang minyak Norwegia terdapat di lepas pantai di Laut Atlantik Utara. Lingkungannya sangat ganas; angin kencang, arus sangat deras, dan suhu sangat rendah; ombak selalu tinggi.

Teknologi lepas pantai, khusus mengenai perminyakan, mereka ambil alih dari Amerika Serikat hanya dalam waktu 10 tahun. Sesudah 10 tahun tidak ada lagi ahli-ahli Amerika yang bekerja di Norwegia.

Saya berkesempatan bekerja di anjungan lepas pantai Norwegia dan mengunjungi semua anjungan lepas pantai Norwegia itu. Tak seorang ahli Amerika pun yang saya jumpai di sana sekalipun modalnya adalah modal Amerika, terkecuali satu; seorang Indonesia keturunan Tionghoa dari Semarang yang merupakan orang pertama yang menyambut saya begitu terjun dari helikopter dan berpegang pada jala pengaman di landasan. Dia berkata sambil tiarap berpegangan tali jala, ”Saya dari Semarang, Pak.” Dia seorang insinyur di Mobil yang sengaja diterbangkan dari kantor besarnya di daratan Amerika untuk menyambut saya di dek anjungan lepas pantai bernama Stadfyord A di Atlantik Utara.

Di sanalah, dan di anjungan- anjungan lain, saya diceritakan bahwa mereka tidak membutuhkan teknologi dari Amerika lagi. Mereka sudah dapat mandiri dan dalam beberapa hal sudah dapat mengembangkan teknologi baru, terutama dalam pemasangan pipa-pipa gas dan pipa-pipa minyak di dasar lautan. Teknologi kelautan dan teknologi bawah air mereka kuasai betul dan sejak dulu orang-orang Norwegia terkenal sebagai bangsa yang sangat ulet dan pemberani. Mereka keturunan orang Viking.

Ada satu hal yang sangat menarik. Menteri perminyakan Norwegia secara pribadi pernah mengatakan kepada saya bahwa Norwegia dengan menerapkan teknologi enhanced recovery dari Amerika berhasil memperbesar cadangan minyak Norwegia dengan tiga kali lipat tanpa menyentuh kawasan-kawasan baru. Ini sesuatu yang sangat menakjubkan.

Norwegia pernah menawarkan teknologi tersebut kepada Indonesia, tetapi mereka minta konsesi minyak tersendiri dengan persyaratan umum yang sama dengan perusahaan lain. Ini terjadi pada akhir tahun 1980-an. Namun, kita masih terlalu terlena dengan ”kemudahan-kemudahan” yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Pejabat Pertamina tidak mau mendengarkannya. Gro Halem Brundtland, mantan perdana menteri, menceritakan hal yang sama kepada saya.

Contoh lain, lihat Petronas. Lomba Formula 1 di Sirkuit Sepang disponsori oleh Petronas. Petronas itu belajar perminyakan dari Pertamina, tetapi kini jauh lebih kaya dibanding Pertamina. Gedung kembarnya menjulang di Kuala Lumpur. Ironisnya, banyak sekali pemuda/insinyur Indonesia yang bekerja di Petronas.Kenapa banyak sekali warga Indonesia dapat bekerja dengan baik dan berprestasi di luar negeri, tetapi begitu masuk kembali ke sistem Indonesia tidak dapat berbuat banyak?Jika kita boleh ”mengutip” Hamlet, dia bekata, ”There is something rotten, not in the Kingdom of Denmark, but here, in the Republic of Indonesia.”

Lengah-terlena
Salah satu kelemahan Indonesia dan kesalahan bangsa kita adalah mempunyai sifat complacency (perkataan ini tidak ada dalam Bahasa Indonesia, cari saja di kamus Indonesia mana pun), sikap semacam lengah-terlena, lupa meningkatkan terus kewaspadaan dan pencapaian sehingga mudah disusul dan dilampaui orang lain.

Lihat perbulutangkisan (contoh Taufik Hidayat). Lihat persepakbolaan Indonesia dan PSSI sekarang. Ketuanya saja meringkuk di bui tetap ngotot tak mau diganti sekalipun sudah ditegur oleh FIFA.

Apa artinya itu semua? Kita, orang Indonesia tidak lagi tahu etika, tidak lagi punya harga diri, dan tidak lagi tahu malu. Titik.

Ketidakmampuan Pertamina mengembangkan teknologi perminyakan merupakan salah satu contoh yang sangat baik tentang bagaimana salah urus suatu industri. Minyak dan gas di Blok Cepu dan Natuna disedot perusahaan-perusahaan asing, sementara negara nyaris tak memperoleh apa pun. Dalam hal ini, Pertamina bukan satu-satunya. Perhatikan benar-benar semua perusahaan BUMN Indonesia yang lain. Komentar lain tidak ada.

MT Zen adalah Guru Besar Emeritus ITB

Saturday, May 24, 2008

Harga BBM, Buah Si Malakama?


Ivan A Hadar

Seakan buah si malakama, bila harga BBM dinaikkan, dampaknya memicu harga-harga bahan pokok yang menyengsarakan masyarakat miskin. Sebaliknya, bila memilih tidak menaikkan harga BBM, dipastikan akibat melonjaknya harga BBM di pasar internasional, defisit anggaran bisa mencapai angka ratusan triliun. Pemerintah akhirnya memutuskan menaikkan harga BBM bersubsidi di bawah 30 persen. Pada saat yang sama, dana dari penghematan subsidi rencananya akan disalurkan lewat bantuan langsung tunai kepada orang miskin.

Wapres Jusuf Kalla berargumen, ”Akan jauh lebih banyak orang miskin jika negara tak mampu menanggung beban subsidi karena defisit anggaran bisa mencapai 4 atau 5 persen.” Selain itu, semakin besar subsidi BBM, semakin besar ketidakadilan dibiarkan terus dilakukan. Berdasarkan hitungannya, 80 persen subsidi dinikmati orang mampu yang memakai premium dan solar untuk kendaraan pribadinya (Kompas, 11/5/2008). Cukup masuk di akal, meski sebenarnya telah banyak waktu terbuang tanpa ada upaya serius pemerintah untuk keluar dari jebakan buah simalakama. Suara kontra menilai kenaikan harga BBM hanya merupakan jalan pintas pemerintah untuk melepaskan diri dari beban keuangan negara. Kebijakan tersebut dipastikan menuai dampak buruk yang melemahkan daya beli masyarakat, meningkatkan kemiskinan, dan memukul sektor usaha.

Tingkat kemiskinan, misalnya, diperkirakan akan melonjak tajam menjadi sekitar 52 juta jiwa (25,4 persen) dari 36,6 juta jiwa (16,85 persen). Padahal, ada sejumlah kebijakan alternatif yang dapat ditempuh, seperti melakukan negosiasi dengan para kreditor untuk refinancing atau reprofiling utang, menaikkan sektor perpajakan dan pemangkasan biaya pengadaan BBM. Selain itu, makin seriusnya krisis BBM merupakan saat yang tepat untuk menoleh kepada sumber energi nonkonvensional, baik dalam lingkup perorangan, industri, maupun nasional. Karena, sebenarnya, negeri ini amat diberkati oleh sinar matahari, angin, geotermal, dan ombak pantai berlimpah (Kompas, 8-9/5/2008).

Energi sinar matahari yang dipancarkan ke planet Bumi, misalnya, 15.000 kali lebih besar dibandingkan penggunaan energi global dan 100 kali dibandingkan cadangan batu bara, gas, dan minyak bumi. Sementara teknologi mutakhir telah mampu mengubah 10-20 persen pancaran sinar matahari tersebut menjadi energi. Secara teoretis, untuk mencukupi kebutuhan energi global, penempatan peralatan tersebut hanya memerlukan kurang dari 1 persen permukaan bumi. Sebuah besaran yang jauh lebih kecil dibandingkan lahan yang dibutuhkan bendungan pembangkit tenaga listrik.

Mulanya sumber energi ini dikembangkan penggunaannya bagi satelit ruang angkasa. Kini, pemanfaatannya mulai menyebar ke kawasan industri, rumah pribadi, dan bahkan ke pelosok desa. Tak lama lagi ia diramal akan menjadi sumber energi pada pembangkit tenaga listrik kapasitas besar. Sejak harga minyak pasar internasional mencapai 60 dollar AS per barrel, minat industri pembangkit tenaga listrik pada sumber energi terperbarui semakin membesar. Pertimbangan ekonomi menjadi alasan pertama.

Kenyataannya, kini, persaingan ini telah terjadi di negara-negara industri, khususnya di sektor industri kecil dan menengah. Menurut Report on World Development (UN, 1992), kebutuhan energi global dalam 30 tahun ke depan meningkat dua kali lipat per tahun. Dan, 40 tahun mendatang, kebutuhan tersebut menjadi tiga kali lipat atau sepadan dengan energi 20 miliar ton minyak bumi.

Perkembangan ini ditaksir bakal mahal karena eksploitasi dan eksplorasinya lebih sulit. Ada baiknya kita bayangkan bahwa penggunaan 20 miliar ton energi per tahun itu memerlukan biaya sebesar 4,5 triliun dollar AS. Separuhnya adalah pengeluaran negara-negara berkembang. Indonesia yang setiap tahun disinari energi matahari sebesar 2.500 kw per hrs berpotensi besar untuk keluar dari ketergantungan pada energi fosil, seperti BBM.

Selain itu, kelebihan energi matahari yang sering diungkapkan adalah pembakarannya tidak menghasilkan CO2, SO2, dan gas racun lainnya. Uraian singkat tentang dua pembangkit energi dari sinar matahari, yaitu solar thermal dan photogalvanic, berikut ini menggambarkan hal tersebut. Keduanya tak membutuhkan areal yang luas bagi peralatannya. Ide awal tentang pembangkit tenaga listrik solar thermal sudah sangat tua. Pembangkit listrik pertama dibangun di Mesir tahun 1912, tetapi ditutup saat usai Perang Dunia I karena rendahnya harga minyak. Prinsipnya, sederhana. Sinar matahari diperkuat oleh cermin yang mengalihkannya ke alat penyerap berisi cairan. Cairan ini memanas dan menghasilkan uap yang membangkitkan generator turbo pembangkit tenaga listrik. Di California, AS, alat ini telah mampu menghasilkan 354 megawatt listrik. Saat ini, di Indonesia, harga satuan energi matahari 4-5 dollar AS per W, cukup ekonomis untuk penggunaan secara massal.

Sementara itu, pengembangan pembangkit listrik photogalvanic berkembang cepat sejak dua dasawarsa terakhir. Harga peralatannya merosot tajam berkat keberhasilan teknologi, padahal kebijakan energi nasional maupun internasional sama sekali tidak mendukung. Subsidi besar-besaran hanyalah untuk pembangkit tenaga listrik dengan sumber energi fosil dan nuklir. Energi photo electric pertama kali diungkapkan Edmond Bacquerel, tahun 1839. Penggunaannya yang terbaru menggunakan sel-sel photogalvanic.

Akibat sengatan sinar matahari, sel-sel tersebut melepaskan elektron yang dipaksa berputar dengan dampak terjadinya aliran listrik. Sel-sel tersebut dikemas dan dijual dalam bentuk modul yang dapat digunakan pada teknologi tegangan tinggi. Saat ini, harga pembangkit listrik sel surya adalah Rp 1.900-Rp 3.000 per kWh.

Menilik berbagai kelebihan energi terperbarui, pertanyaan yang kemudian timbul, apakah cara menunjang pengembangan dan perluasan penggunaan energi ini sehingga sinkron dengan kebijakan energi nasional dan global.

Pertama, harus ada diversifikasi penelitian dan pengembangan. Dana penelitian energi ramah lingkungan ini, sayangnya, dari tahun ke tahun menyusut. Di negara-negara industri, hanya sekitar 5 persen dana penelitian yang diperuntukkan bagi sektor energi. Darinya, sebagian besar untuk jenis energi fosil. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, hal tersebut lebih memprihatinkan.

Kedua, dengan perkembangan teknologi saat ini, biaya produksi energi tererbarui ini bisa bersaing dengan harga energi fosil. Namun, tentu saja, untuk memproduksi energi surya secara massal, diperlukan kemauan politik. Ketika Indonesia masih menjadi produsen dan eksportir minyak dan di dalam negeri harga jualnya masih disubsidi, mungkin terkesan tidak realistis untuk mendudukkan energi terperbarui pada posisi penting. Namun, kini keadaan sudah sangat mendesak untuk berpikir dan bertindak mengantisipasinya. Jadi, dalam waktu dekat, harga BBM diharapkan tidak lagi menjadi buah si malakama.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP); Pendapat Pribadi.
(Artikel asli bisa diunduh pada http://www.kompas.com/kompascetak.php/read/xml/2008/05/24/00303638/harga.bbm.buah.si.malakama)

SIARAN PERS


SABTU, 24 MEI 2008 00:00 WIB
(sumber: ESDM.go.id)

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA
Jalan Lapangan Banteng Timur Nomor 2-4 Jakarta 10710 Telp. 3521835

PENJELASAN PEMERINTAH TENTANG KEPUTUSAN PEMERINTAH RI DALAM HAL PENGURANGAN SUBSIDI BBM DAN KEBIJAKAN LAIN YANG MENYERTAINYA

Jakarta, 23 Mei 2008

Sejak setahun terakhir harga minyak mentah dunia terus melambung. Kalau pada tahun lalu harga minyak berkisar pada angka USD 80/barrel, pada saat ini kisaran harganya berada pada tingkat di atas USD 130/barrel. Hal ini menggelembungkan angka subsidi BBM ketingkat yang tidak mungkin lagi dipertahankan. Jika harga minyak mencapai rata-rata USD 120/barel sepanjang tahun 2008 maka subsidi BBM mencapai lebih dari Rp 200 triliun. Padahal menurut UU No 16/2008 tentang APBN(P) 2008 yang disetujui DPR, ditetapkan batas maksimal anggaran subsidi BBM hanya sebesar Rp 135,1 triliun.

Dengan semakin besarnya subsidi BBM, kemampuan pemerintah untuk membiayai berbagai program yang berorientasi pada perbaikan kesejahteraan masyarakat miskin seperti pendidikan, kesehatan, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan penyediaan infrastruktur menjadi terancam dikurangi.

Sementara itu subsidi BBM sesungguhnya salah sasaran. 40 persen kelompok pendapatan rumah tangga terkaya justru menikmati 70 persen subsidi tersebut, sedangkan 40 persen kelompok pendapatan terendah hanya menikmati sekitar 15 persen.

Kenaikan Harga BBM adalah upaya terakhir
Pemerintah telah berusaha agar tekanan yang berasal dari kenaikan harga minyak dunia dapat dikelola dan diminimalkan dampaknya bagi masyarakat. Langkah-Iangkah seperti penghematan belanja pemerintah, kenaikan penerimaan pajak, usaha efisiensi PLN dan Pertamina, konversi dan penghematan BBM bersubsidi telah dan akan terus dilakukan.Meskipun demikian langkah-Iangkah tersebut belum mencukupi untuk mengatasi dampak kenaikan harga minyak dunia. Oleh karena itu pemerintah terpaksa melakukan opsi kebijakan menaikkan harga BBM.Harga BBM di Indonesia saat ini sebenarnya sudah termasuk salah satu yang terendah di kawasan Asia (bahkan lebih rendah dari negara-negara miskin seperti Timor Leste, Kamboja dan Bangladesh).Setelah kenaikan harga BBM sebesar 28,7% sekalipun, harga BBM kita masih cukup jauh berada di bawah tingkat harga di Timor Leste, Filipina, Thailand dan Singapura.

Program Kompensasi
Pemerintah sepenuhnya sadar, kebijakan pengurangan subsidi BBM akan menaikkan biaya hidup dan akan menambah beban bagi orang banyak. Oleh karena itu, sebelum memutuskan kenaikan harga BBM, Pemerintah telah menyiapkan berbagai program untuk meringankan beban masyarakat berpendapatan rendah, antara lain dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada 19,1 juta rumah tangga, dengan jumlah dana Rp 14,1 triliun pada tahun ini. Di samping itu pemerintah memberikan kompensasi dalam bentuk lain yaitu :
1. Program Ketahanan Pangan :
Harga Raskin yang semula direncanakan dinaikkan menjadi Rp 1900/kg, tetap dipertahankan sebesar Rp 1600/kg.
Jangka waktu pembagian Raskin kepada 19,1 juta rumah tangga diperpanjang dari semula 10 bulan menjadi 12 bulan.
2. Dukungan Biaya Pendidikan Anak bagi PNS Gol I/II, Tamtama TNI/Polri.
3. Tambahan Subsidi Bunga Kredit Usaha Rakyat

Harga BBM Per 24 Mei 2008
Setelah melalui pertimbangan yang seksama dan persiapan penyaluran BLT yang memadai, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.16/2008 menaikkan harga bensin premium, solar dan minyak tanah bersubsidi, yang mulai berlaku pada 24 Mei 2008 pukul 00.00 WIB (lihat lampiran).Selain itu Pemerintah tetap akan melaksanakan program penghematan konsumsi BBM bersubsidi melalui program kartu kendali yang sudah dicanangkan di Semarang, Jawa Tengah dan program smart card yang akan dilakukan ujicobanya pada bulan September tahun ini.Semua kebijakan ini pada akhirnya diharapkan akan semakin memperkuat dan menggairahkan perekonomian nasional serta memperbaiki keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Wednesday, May 21, 2008

Belajar (Lagi) dari Krisis BBM di Filipina

Arulan Hatta
Direktur Eksekutif BBMwatch Research Media

Artikel ini pernah saya tulis beberapa tahun lalu dan dimuat Koran Tempo. Tulisan ini dibuat bertepatan saat Pemerintah menaikkan harga BBM tanggal 1 Oktober 2005. Lonjakan harga minyak dunia ketika itu memang belum sedahsyat sekarang, namun telah memberikan implikasi yang sangat luas terhadap stabilitas ekonomi, politik dan keamanan masyarakat dunia, termasuk Indonesia dan Filipina.

Sengaja saya mengambil Filipina sebagai pembanding karena secara ekonomi antara Filipina dan Indonesia relatif bisa diperbandingkan secara “Apple to Apple”. Semoga tulisan ini masih relevan dan dapat diperoleh benang merah yang bisa jadikan pelajaran bagi kita dalam upaya keluar dari krisis BBM berkepanjangan.

Jauh sebelum Indonesia, pemerintah Filipina telah mengeluarkan berbagai kebijakaan strategis, upaya dan langkah nyata sebagai solusi jangka pendek, menengah dan panjang, termasuk di dalamnya pembenahan instrumen regulasi terkait keamanan pasokan BBM serta penghematan dan diversifikasi energi.

Filipina Negara Pengimpor Migas
Filipina sebagai salah satu negara di kawasan ASEAN dengan jumlah penduduk sekitar 80 juta jiwa, perekonomian negaranya sangat rentan terhadap adanya kenaikan harga minyak mentah yang tinggi di pasar global.

Dapat dipahami karena Filipina sudah sangat tergantung pada impor minyak mentah (net importer oil), yang saat ini mencapai sekitar 373.000 barel per hari (bph). Jumlah ini kira-kira mendekati impor untuk minyak Indonesia tahun 2005 yaitu 400.000 bph dan ditambah dengan BBM sebesar 330.000 bph.

Sektor Migas di Filipina telah diregulasi melalui Oil Deregulation Law Republic Act No. 8479 yang diberlakukan sejak tahun 1998 pada Pemerintahan Fidel V. Ramos. Di bawah Oil Deregulation Law pemerintah Filipina tidak boleh mengintervensi pasar baik melalui harga, maupun ekspor dan impor produk minyak, atau mengembangkan retail outlets (SPBU), depot penyimpan, fasilitas penerimaan-laut dan pengilangan.

Undang-undang ini dirancang untuk menekan fluktuasi atau volatilitas dari harga minyak dan sekaligus menghapuskan subsidi harga BBM .Dalam kaitan ini UU Deregulasi Hilir Migas Filipina dipersepsikan telah menghilangkan kontrol pemerintah terhadap harga yang ditentukan pada industri minyak. Berdasarkan UU tersebut harga minyak dapat naik dan turun pada tingkat pasar (market level) atau harga ditentukan oleh kekuatan pasar (market forces).

Sebelum ketentuan tersebut berlaku maka di bawah suatu Deregulasi Lingkungan (Environment Deregulation) pemerintah Filipina membentuk suatu mekanisme Dana untuk Menstabilkan Harga Minyak (oil price stabilizing fund OPSF), yang digunakan sebagai instrumen untuk mensubsidi harga BBM. Di samping itu perusahaan minyak harus memiliki persetujuan Pemerintah bila akan menaikkan harga BBM.

Berdasarkan Memarundum No. 2001 perusahaan minyak diwajibkan untuk melaporkan kepada Pemerintah melalui Departemen Energi sedikitnya sehari sebelum diberlakukannya rencana penyesuaian tarif.

Implikasi Kenaikan Harga MinyakMerespon kenaikan harga minyak mentah tersebut, industri minyak utama (major oil industry) di Filipina telah menaikkan harga BBM jenis premium, minyak diesel, dan LPG. (Lihat data)

Harga Produk Mgas di FILIPINA
+ Premium Unleaded : Rp 9.800/liter (tgl efektif : 12 Des 2007)
+ Bio Premium E-10 : Rp 9.350/liter (tgl efektif : 12 Des 2007)
+ Bio Diesel : Rp 8.200/liter (tgl efektif : 12 Des 2007)
+ Minyak Tanah : Rp 9.100/liter (tgl efektif : 12 Des 2007)
+ LPG : Rp 12.800/kg (tgl efektif : 12 Des 2007)

Sebagai informasi seperti halnya Indonesia, dalam perhitungan harga BBM di Filipina mengacu dengan rata-rata Mean of Platts Singapore (MOPS), namun diterapkan secara menyeluruh tidak terbatas hanya sektor Industri.

Kenaikan harga BBM di Filipina pada bulan April tersebut selanjutnya telah menimbulkan dampak berganda (multiplier effect). Terjadi pemogokan nasional sektor transporsi umum yaitu jeepney dan bis di Filipina dengan kekuatan sekitar 250.000 pengemudi dan operator. Untuk memprotes kenaikan harga BBM (gasoline, LPG, Kerosene, Diesel), sekaligus menuntut kenaikan tarif angkutan. Pemogokan telah mengakibatkan kelumpuhan 70-90% transportasi umum di beberapa kota besar, seperti Metro Manila.

Kenaikan harga BBM tersebut diikuti dengan kenaikan harga barang-barang dan jasa dalam jumlah yang cukup signifikan, yang pada akhirnya meningkatkan inflasi sekitar 0,03-0,01% dan menghambat perkembangan ekonomi.

Momentum kenaikan harga BBM di Filipina ini juga digunakan sebagai alat politik oleh kelompok oposisi terhadap kebijakan sektor migas yang telah diregulasi melalui Oil Deregulation Law Republic Act No. 8479, sejak tahun 1998. UU tersebut dipersepsikan sebagai penyebab, kenaikan harga BBM yang sangat signifikan, dan Pemerintah terkesan tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan harga.

Kelompok oposisi selanjutnya telah mengumpulkan sejuta tanda tangan untuk diserahkan ke Mahkamah Agung Filipina dengan tuntutan agar Oil Deregulation Law Republic Act No. 8479 tersebut dibatalkan atau diamandemen.

Sebenarnya deregulasi sektor migas diharapkan di satu sisi akan menciptakan iklim kompetisi yang adil bagi para pemain sektor perminyakan, selanjutnya dapat menekan harga BBM agar lebih efisien. Namun, di sisi lain ternyata pemerintah kurang cukup kuat dalam mengelola dan mengendalikan harga BBM.Sementara itu upaya untuk mensubsidi kembali harga BBM pada konsumen dinilai kontraproduktif, dan akan semakin memperburuk keadaan. Karena pemberian subsidi harga BBM akan menyebabkan jumlah pasokan kembali meningkat seperti sebelum terjadinya krisis. Kenaikan harga BBM ini juga telah menimbulkan iklim usaha yang kurang kondusif.

Karena perusahaan minyak dituduh telah melakukan praktek kartel, kolusi dan menaikkan harga secara berlebihan. Akhirnya diusulkan agar Departemen Energi dan Departemen Kehakiman Filipina segera melakukan audit keuangan pada perusahaan minyak utama, melalui Commission of Audit (COU).

Upaya Filipina Keluar dari Krisis BBMSecara umum solusi nyata untuk mengatasi krisis energi-BBM di Filipina jangka pendek, menengah dan panjang antara lain: (1) diterapkan empat hari kerja (four-week days) yang merupakan penghematan energi (energy-saving) jangka pendek ; (2) Mengharuskan perusahaan minyak untuk memproduksi BBM dengan 10% kandungan etanol; (3) Merubah pembangkit listrik berbahan bakar minyak dengan energi alternatif antara lain panas bumi, batubara, dan energi terbarukan.

Untuk mengurangi dampak kenaikan harga minyak dunia pemerintah Filipina melalui program kemandirian energi (energy independence program) akan mengembangkan dan mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan seperti solar dan angin, serta mempromosikan energi alternatif seperti ethanol diesel , coco diesel , dan lain-lain.

Di samping itu, Presiden menyiapkan suatu rencana kontijensi (contingency plan), untuk menjajaki opsi yang harus diambil Pemerintah Filipina terhadap kemungkinan terjadinya kembali kenaikan harga minyak yang berkelanjutan di pasar internasional. Rencana kontijensi ini bertujuan untuk menyelaraskan resiko ketergantungan Filipina terhadap beberapa tingkat harga minyak.

Salah satu bagian penting dari rencana kontijensi tersebut adalah untuk memastikan apakah tiga perusahaan minyak terbesar di Filipina telah atau tidak mempraktekkan kartel, dalam menentukan kenaikan harga BBM yang terjadi pada waktu dan besarannya relatif bersamaan.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah upaya untuk menciptakan suatu transparansi pasar (market transparency) agar mekanisme harga dapat divalidasikan oleh stakeholders.Untuk itu diperlukan tersedianya suatu data dasar yang akurat dan aktual, untuk digunakan dalam menghitung kenaikan harga yang wajar. Dalam kaitan ini kondisi yang diharapkan adalah terjadinya kenaikan harga BBM yang relatif lambat atau gradual. Karena kenaikan harga minyak yang tinggi, pada akhirnya akan memberikan dampak langsung terhadap kehidupan masyarakat miskin di Filipina.

Presiden juga menghimbau agar negara-negara Anggota OPEC dan Non-OPEC di kawasan Asia dan Afrika bekerja sama dalam upaya menghentikan kenaikan harga minyak secara berkelanjutan, yang pada akhirnya berpotensi menciptakan dampak terburuk.

Terhadap tekanan publik yang menyorot kebijakan sektor migas, Pemerintah mempelajari dengan seksama Oil Deregulation Law untuk melihat apakah Undang-undang tersebut masih dapat mendukung tujuan serta kepentingan Negara Filipina. Atau sebaliknya perlu diamandemen sebagaimana yang saat ini digelorakan oleh kelompok oposisi. Deregulasi industri migas ke depan tergantung dari hasil kajian ini.

Proses Belajar
Pelajaran yang dapat dipetik dari fenomena Filipina adalah bahwa suatu kebijakan deregulasi sektor Migas dengan pilar untuk menciptakan iklim kompetisi bagi para pelaku industri minyak dan menghapuskan subsidi harga BBM yang telah berjalan secara mulus pada kondisi harga minyak yang wajar.

Namun, pada kondisi bervolatilitasnya harga minyak yang tinggi, menjadi kurang mempunyai alat pengaman. Pada saat itulah publik mulai menyalahkan deregulasi, walaupun sebelumnya telah berjalan, di samping itu mereka mendambakan kembali ke era kebijakan harga regulasi (regulated price) melalui mekanisme subsidi harga.

Anatomi dan pengendali mekanisme (driving force mechanism) dan solusi jangka pendek dan panjang terhadap krisis energi-BBM yang terjadi di Filipina, walaupun berbeda dalam skala dan kompleksitasnya dengan kondisi Indonesia. Namun dapat digunakan sebagai salah satu referensi dan proses belajar dalam mengantisipasi krisis BBM yang terjadi saat ini.

Tuesday, May 20, 2008

Teka Teki dan Misteri Harga BBM

Oleh: A Tony Prasetiantono


Harga minyak kian menjadi teka-teki bahkan menyerupai misteri yang sulit dipecahkan. Bahkan, faktor penyebab kenaikan harga yang dominanpun menimbulkan perdebatan. Apakah lebih banyak disebabkan oleh faktorfundamental (tarik-menarik penawaran dan permintaan) atau oleh faktorlain, seperti spekulasi?

Bukti kesulitan ini terlihat dari kerepotan IMF yang harus seringmerevisi asumsi. Akhir 2007, IMF memperkirakan harga minyak duniatahun 2008 "hanya" 80 dollar AS per barrel. Namun, akhir Maret 2008,proyeksi berubah menjadi 100 dollar AS per barrel. Tampaknya, angkaini belum final karena harga minyak pernah menyentuh 120 dollar AS perbarrel.

Fundamental, geopolitik, spekulasi
Produksi dan konsumsi minyak dunia kini bertemu pada ekuilibrium 84juta barrel per hari. Namun, harus diakui, permintaan tumbuh pesat,terutama karena faktor perekonomian China yang melaju. Bahkan, ketikaharga minyak sudah di atas 110 dollar AS per barrel seperti sekarang,perekonomian China masih tumbuh 10,5 persen pada triwulan pertama 2008.

Dari sisi penawaran, atmosfer eksplorasi sempat lesu karena hargaminyak dunia pernah amat rendah (9 dollar AS per barrel) pada 1986.Akibatnya, kenaikan produksi tidak secepat konsumsi. Khusus Indonesia, kini produksinya 900.000 barrel per hari, padahal konsumsi kita 1,3 juta barrel per hari. Situasi ini kontras dengantahun 1980-an, kita pernah memproduksi 1,6 juta barrel/hari, padahal konsumsinya 600.000 barrel per hari.

Analisis bahwa faktor fundamental bisa menjelaskan kenaikan hargaminyak, antara lain, dilakukan Leonardo Maugeri (The Age of Oil: TheMythology, History, and Future of the World's Most ControversialResource, The Lyons Press, 2008).

Namun, bagi para produsen minyak, faktor fundamental bukan alasanpenjelas yang tepat. Produsen mengklaim bisa memenuhi kebutuhankonsumen. Faktor geopolitik dan spekulasi dituding sebagai biangkeladi. Argumentasi ini pun logis, saat akhir-akhir ini duniamengalami kelebihan likuiditas (overliquid) sehingga sebagian dana itudialokasikan oleh hedge fund (perusahaan investasi yang mengelola danainvestor kaya) untuk membeli minyak. Minyak tidak lagi berfungsisebagai faktor produksi, tetapi sudah masuk wilayah instrumeninvestasi sehingga harganya berfluktuasi seperti harga saham.

Jika tesis terakhir ini benar, solusinya bukan terletak pada supplydan demand, tetapi lebih pada upaya mengurangi ruang gerak spekulan.Hedge fund, berbeda dengan mutual fund, selama ini kurang disentuhregulasi. Mungkin sudah waktunya Securities Exchange Commission (SEC,regulator pasar modal Amerika Serikat) untuk lebih menatanya denganregulasi. Bila perlu, berlakukanlah aneka restriksi agar minyak tidakdimainkan spekulan. Fungsi minyak dikembalikan sebagai faktor produksiyang esensial. Ide ini mungkin tidak populer bagi marketfundamentalists dan penganut liberalisme, tetapi segala upaya perluditempuh.

Dilema pemerintah
Krisis harga minyak menciptakan dilema bagi Pemerintah Indonesia.Dengan harga minyak dunia rata-rata 110 dollar AS per barrel, subsidiBBM, listrik, dan pangan akan mencapai Rp 250 triliun. Dibandingkanvolume belanja APBN 2008 sebesar Rp 978 triliun, angka subsidi ituterlalu besar (25 persen). Karena itu, pilihannya adalah menaikkanharga BBM bersubsidi.

Masalahnya, secara politis kenaikan harga BBM tidak menguntungkan,apalagi menjelang Pemilu 2009. Belum lagi faktor inflasi, di manainflasi year on year kini mencapai 8,96 persen.

Dengan plus-minusnya, harga BBM bersubsidi harus dinaikkan, denganbesaran yang dapat diterima. Beban subsidi BBM akan meningkat seiringpergeseran pola konsumsi energi dari BBM nonsubsidi (pertamax) ke BBMbersubsidi. Data Pertamina menunjukkan, pada Maret 2008 volumepenjualan pertamax turun 15 persen dan pertamax plus turun 13 persen.

Sebagian konsumen pertamax beralih ke premium bersubsidi, itu terlihatdari meningkatnya volume penjualan dari 1,44 miliar kiloliter(Februari) menjadi 1,58 miliar kiloliter (Maret 2008) atau naik 8,0persen. Akibatnya, penjualan BBM bersubsidi triwulan I-2008 melampauikuota 35,5 juta kiloliter. Persisnya, terjadi pelampauan dari yangsemestinya 25 persen untuk setiap triwulan menjadi 27 persen.

Kesimpulannya, sulit mengharap masyarakat secara sadar dan sukarelamelakukan penghematan. Upaya berhemat harus dilakukan dengan "agakmemaksa". Langkah yang efektif adalah melalui kenaikan harga. Denganharga lebih tinggi akan menyebabkan konsumen mau tidak mau segeraberhemat. Memang hal ini bukan langkah populer, tetapi pemerintahtidak memiliki banyak alternatif.

Alternatif lain, misalnya, menaikkan anggaran subsidi BBM melaluipeningkatan defisit APBN 2008, sekitar 2,0 hingga 2,1 persen. Namun,level ini tergolong riskan. Umum diketahui para ekonom dunia dandirumuskan dalam Washington Consensus bahwa defisit anggaran negaraberkembang maksimal yang ditoleransi adalah 2 persen [John Williamson(ed.), The Political Economy of Policy Reform, Institute forInternational Economics, Washington DC, 1994]. Bila melampaui 2persen, di kemudian hari bakal rawan terjadi bencana fiskal.

Masalahnya kini, berapa besaran kenaikan harga yang tepat? DepartemenKeuangan mengusulkan skema kenaikan rata-rata 28,7 persen sehinggaharga premium bersubsidi naik dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.000per liter. Menurut saya, angka ini perlu "diperhalus". Saya menduga, angka kenaikan Rp 1.000 per liter masih bisa diakomodasi sehinggatidak menimbulkan efek psikologis negatif.

Upaya Presiden Yudhoyono melakukan persuasi melalui pidato televisipekan lalu sudah benar. Ini merupakan bagian conditioning setelahpemerintah berpengalaman pahit menaikkan harga BBM 100 persen pada 1Oktober 2005, yang menimbulkan kegusaran masyarakat.

Seyogianya, pemerintah membeberkan data harga BBM di berbagai negaradi kawasan. Harga BBM di Kamboja, misalnya, ekuivalen Rp 12.000 perliter. Artinya, seluruh dunia kini sedang prihatin menghadapi masalahyang sama, sedangkan risiko inflasi, juga dialami banyak negara.Inflasi year on year Singapura, misalnya, negara berkarakteristiksmall open economy, sudah 6,6 persen, China mencapai 8,7 persen, danpuncaknya adalah Vietnam dengan 19 persen!

Efektivitas kampanye penghematan energi amat diragukan bila tidakdisertai enforcement berupa kenaikan harga BBM bersubsidi. Namun, inihendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan efek psikologismasyarakat. Karena itu, faktor psikologis seyogianya menjadi penentubesaran kenaikan harga BBM bersubsidi. Kenaikan maksimal Rp 1.000 bagiBBM premium merupakan kompromi yang tampaknya bisa mempertautkankepentingan ekonomi sekaligus psikologis itu.

A Tony Prasetiantono
(Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan PublikUGM; Chief Economist BNI)

Monday, May 19, 2008

TERBELENGGU MITOS BBM

Artikel berjudul 'Terbelenggu Mitos Bahan Bakar Minyak" dimuat di Kompas, 16 Mei 2008, hal.21. namun versi asli yang belum diedit di dapat diakses di: http://faisalbasri.blogs.friendster.com/

Akhir minggu lalu harga minyak mentah di pasar berjangka New York untuk penyerahan Juni sudah mencapai 126 dollar AS. Itu adalah harga nominal. Hasil kajian yang dimuat majalah Economist, edisi 17 April 2008, memaparkan bahwa dengan menggunakan ukuran lain, tampaknya harga minyak dewasa ini belum tergolong mahal.
Dengan menggunakan acuan perkembangan pendapatan konsumen tahunan negara-negara kaya yang tergabung di dalam G-7 sejak 1981, harga minyak seharusnya naik menjadi 134 dollar AS. Apabila dipadankan dengan perkembangan pendapatan siap belanja (disposable income) penduduk AS, harga minyak bisa bertengger setinggi 145 dollar AS. Dan seandainya diselaraskan dengan pangsa belanja minyak terhadap output global, harga minyak berpotensi mencapai 150 dollar AS. Jadi, sebetulnya harga minyak dewasa ini belum tergolong tinggi. Harga di masa lalu itu, sebetulnya, yang relatif terlalu murah.

Pada awal Mei Goldman Sachs mengeluarkan prediksi terbaru bahwa harga minyak dapat mencapai 200 dollar AS sebelum akhir tahun ini. Sebetulnya, Goldman Sachs bukan yang pertama keluar dengan angka itu. Jauh hari sebelumnya, Stephen Leeb dan Glen Strathy telah lebih dulu mengingatkan kemungkinan ini di dalam bukunya yang diterbitkan tahun 2006. Judul bukunya saja, di masa itu, dipandang sangat provokatif dan mungkin mengada-ada: The Coming Economic Collapse: How You can Thrive when Oil Cost $200 a Barrel.

Asumsi harga minyak yang tercantum di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan yang baru saja ditetapkan April lalu adalah 95 dollar AS. Dengan harga sekarang, acuan tersebut sudah meleset lebih dari 30 dollar AS. Tanpa kenaikan harga BBM, subsidi energi melonjak dari Rp 187 triliun menjadi hampir Rp 250 triliun. Kalau harga merangkak naik hingga 150 dollar AS, subsidi bisa menggelembung ke sekitar Rp 300 triliun.

Sampai kapan harga BBM bersubsidi dibiarkan “anteng” pada tingkat sekarang ini? Tentu ada batasnya. Jadi, tinggal tunggu waktu saja. Sejatinya, persoalan utama bukanlah subsidi yang menggelembung. Karena, ada 1001 cara untuk menekan subsidi agar APBN tak terseret ke dalam zona bahaya: penjadwalan hingga kemplang utang luar negeri maupun dalam negeri, penghematan departemen dan lembaga negara secara besar-besaran, penerapatan pajak progresif atas komoditas yang sedang booming, jual BUMN, pemotongan gaji, peningkatan produksi minyak, dan sebagainya. Tentu saja efektivitas dari pilihan-pilihan tersebut masih perlu dipertanyakan.

Katakanlah langkah-langkah spektakuler tersebut berhasil secara maksimal. Apakah lantas inti masalah terpecahkan? Tidak sama sekali. Karena, persoalan akan azali sepanjang terjadi disparitas harga, yakni antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan harga keekonomian.

Tak seorang pun bisa melawan hukum pasar. Piuh (distortions) akan kian merajalela kalau harga yang ditetapkan pemerintah semakin jauh (lebih rendah) dari harga keekonomian. Pertama, peningkatan konsumsi akan tak terkendali karena harga relatif BBM di mata kunsumen sangat rendah. Peningkatan konsumsi ini sudah terjadi. Konsumen Indonesia tak peduli sekalipun harga minyak dunia meroket, karena harga yang mereka bayar di Indonesia bergeming. Maka, jadilah Indonesia sebagai negara yang tergolong paling boros di dunia dalam hal penggunaan energi. Begitukah cara kita mengelola sumber daya alam yang langka dan tak terbarukan?

Betapa tak bertanggung jawab kalau generasi sekarang menghamburkan minyak yang diproduksi dengan teknologi tinggi dan padat modal, yang disedot dari perut bumi berkilometer dalamnya, tetapi dihargai lebih murah dari air mineral yang sekedar “ditampung” dari mata air. Cadangan minyak akan makin cepat susut sehingga generasi mendatang tak bisa lagi menyicipi rezeki emas hitam. Selain itu, kita pun secara sadar menambah intensitas produksi racun ke udara, sehingga memperburuk pemanasan global dan menurunkan kualitas hidup.

Bagaimana dengan mitos bahwa kita merupakan negara produsen dan pengekspor minyak? Ternyata, dalam satu dasawarsa terakhir produksi minyak kita melorot terus, dari sekitar 1,5 juta barrel/hari pada tahun 1997 menjadi hanya 910 ribu barrel/hari pada tahun 2007. Karena tingkat konsumsi selalu naik, maka kita mengalami defisit yang bertambah besar. Keadaan semakin memprihatinkan karena kapasitas pengilangan minyak tak kunjung bertambah, sehingga defisit perdagangan BBM membubung. Pada tahun 2002 defisit perdagangan BBM baru 2 miliar dollar AS, lalu naik lebih dua kali lipat menjadi 4,2 miliar dollar AS, dan melonjak lebih tajam lagi menjadi 9,8 miliar dollar AS pada tahun 2007. Sekedar gambaran, ekspor dan impor BBM tahun 2007 masing-masing adalah adalah 2,9 miliar dollar AS dan 12,7 miliar dollar AS. Dengan demikian, sebetulnya BBM yang kita “hambur-hamburkan” itu makin banyak yang kita beli dari luar negeri.

Apakah pola konsumsi yang boros itu bisa ditoleransikan apabila kita dapat mukjizat mampu meningkatkan produksi, katakanlah, menjadi dua kali lipat, sehingga kembali menikmati surplus produksi dan menjadi mengekspor neto? Tentu saja, tidak. Karena, lebih baik sebagian besar peningkatan produksi kita jual pada harga internasional atau harga keekonomian, lantas dana yang kita peroleh puluhan triliun rupiah dialokasikan bagi pengentasan penduduk miskin dan belanja modal sehngga kita juga bisa mewariskannya kepada anak-cucu.

Pengalokasian dana untuk kegiatan-kegiatan produktif dan peningkatan akumulasi modal jauh lebih bermakna ketimbang untuk mempertahankan subsidi yang kian menggelebung. Apatah lagi mengingat bahwa sebagian besar subsidi dinikmati oleh kelompok berpendapatan menengah ke atas. Data versi pemerintah menunjukkan bahwa 20 persen penduduk terkaya menikmati 43 persen subsidi, sedangkan kelompok 20 persen penduduk termiskin hanya memperoleh 7 persen saja. Data yang tertera di dalam publikasi Bank Dunia terakhir lebih parah lagi: 10 persen terkaya menikmati sekitar 45 persen, sedangkan 10 persen termiskin hanya dapat sekitar satu persen saja.

Bukankah menaikkan harga BBM hanya akan menambah derita penduduk yang sudah miskin? Betul, jika pemerintah tak berbuat apa-apa terhadap mereka. Dilema yang muskil ini tak cuma dialami Indonesia. Di Kamboja, yang rata-rata penduduknya jauh lebih miskin dari Indonesia, harga premium 2,5 kali lebih mahal dari Indonesia. Di Timor Leste, yang ketika masih bergabung dengan Indonesia adalah propinsi termiskin, harga premium 1,8 kali dari Indonesia. Di kedua negara ini, kenaikan harga minyak dunia tak memicu demonstrasi, apalagi chaos. Kenapa kita harus berbeda sendiri dan terbelenggu oleh BBM? Pasti ada yang salah pada diri kita dan pasti telah terjadi salah urus.

Kita harus keluar dari pusaran masalah. Selama 30 tahun kita jadikan persoalan harga BBM sebagai “ritual tahunan”, yang ditandai dengan: sikap ragu pemerintah, demontrasi, pembahasan alot di DPR, kelangkaan pasokan, oplosan, penyelundupan, penimbunan, dan ekses-ekses lain yang kita buat sendiri.

Setiap penguasa berusaha menghindari risiko menaikkan harga BBM, dan sedapat mungkin mengalihkan risiko tersebut kepada penguasa berikutnya, kecuali kalau tak ada pilihan lain atau merupakan pilihan terakhir. Penundaan demi penundaan menyebabkan kos (cost) bagi perekonomian bertambah mahal dan kontraproduktif. Karena, ketika sudah terjepit, penyesuaian harga harus dilakukan secara drastik, sehingga perekonomian tak pernah sepi dari goncangan yang sebenarnya tak perlu terjadi.

Tak pernah ada rencana yang dilaksanakan dengan konsisten untuk mengakhiri rezim subsidi BBM, sehingga persoalan ini menjadi langgeng dan membelenggu diri kita sendiri. Apakah kita akan biarkan terus persoalan BBM menjadi duri di dalam daging perekonomian?

Kita sungguh sangat mendambakan kehadiran sosok negarawan yang mumpuni dalam memacu negeri ini untuk maju, bukan yang justru kerap menghambat kemajuan. Pemimpin yang mampu mengelola dan memobilisasikan seluruh sumber daya yang kita miliki secara efektif bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemerintahan yang senantiasa peka terhadap setiap ancaman yang menghadang rakyatnya serta menyiapkan dan mengoperasikan sekoci penyelamat apabila terjadi marabahaya yang tak lagi bisa terhindarkan.

Di sinilah inti persoalan yang tak kunjung disentuh pemerintah. Sangat kuat kesan bahwa daya dengus pemerintah tumpul dalam mengantisipasi persoalan. Segala upaya yang dilakukan untuk mengamankan kebijakan menaikkan harga BBM terkesan serba dadakan, seakan baru sekali ini terjadi. Dulu BLT, sekarang BLT. Sementara, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sudah diundangkan tak kunjung dihidangkan untuk disantap oleh warga miskin yang terhempas oleh mekanisme pasar bebas. Mengapa harus menunggu sampai batas akhir pemberlakuan efektif SJSN? Mengapa tak ada upaya mempercepat kehadirannya?

Kalau pengelolaan negara dengan cara seperti itu terus berlanjut, sebaik apa pun niatan dan segala tindakan pemerintah akan dipandang sebelah mata oleh rakyatnya. Kalau sudah begitu, sumber masalah terletak pada pemerintah sendiri. Jangan berharap pemerintah mampu menolong rakyat jikalau menolong diri sendiri saja tak mampu.


Jangan Tunda Pencabutan Subsidi BBM

Oleh: Franz Magnis-Suseno

(Sebuah tulisan 3 tahun yang lalu yang pernah dimuat harian Kompas. Tulisan yang masih relevan untuk kondisi saat ini, untuk kita renungkan bersama)

MENAIKKAN harga BBM termasuk tindakan paling kritis di banyak negara, termasuk di negara ini. Bukan hanya BBM sendiri yang oleh sebagian masyarakat dibutuhkan setiap hari akan menjadi amat lebih mahal, melainkan biaya angkutan umum dan harga sembako akan ikut naik. Masyarakat akan menjerit.

Akan ada unjuk rasa. Bahkan mungkin akan pecah kerusuhan. Karena itu, pemerintah suka menunda-nunda tindakan yang sebenarnya diketahui tidak dapat dihindari. Dalam situasi ini, perbedaan antara populisme murahan dan tanggung jawab moral, antara suara-suara kebapakan dan kepemimpinan yang sebenarnya, akan kentara. Keberanian untuk mengambil tindakan tidak populer merupakan bukti kualitas seorang pemimpin.

Dalam tulisan ini, saya ingin mengajukan pendapat bahwa justru sesudah malapetaka tsunami, subsidi bahan bakar minyak (BBM) perlu dicabut dengan berani. TETAPI, beberapa waktu lalu Kwik Kian Gie menyangkal bahwa subsidi BBM perlu dinaikkan. Argumen utama Kwik adalah bahwa tidak benar negara sekarang menyubsidi harga BBM. Menurut Kwik-dan saya percaya bahwa ia mengetahuinya-biaya memproduksi BBM hingga sampai ke tempat penjualan akhir sekarang pun masih tetap di bawah harga penjualan.

Jadi, Pertamina tidak rugi dan tidak perlu disubsidi untuk menawarkan harga-harga yang sekarang. Kita baru boleh bicara tentang subsidi apabila bagi Pertamina lebih menguntungkan tidak menjual bensin di pompa-pompanya. Istilah "subsidi" memang sebuah "penipuan politik halus". Yang sebenarnya dimaksudkannya adalah bahwa negara tidak menarik keuntungan maksimal dari produksi minyak dalam negeri yang mungkin dipengaruhi kondisi-kondisi pasar global.

Namun, inilah argumentasi inti Kwik mengingat kekayaan Bumi harus demi sebesar-besarnya kemaslahatan masyarakat, seharusnya negara jangan mendahulukan maksimalisasi keuntungan finansial terhadap penyediaan BBM dengan harga terjangkau. BENARKAH argumentasi itu?

Satu pertanyaan pendahuluan: Bukankah kita sejak beberapa waktu sudah menjadi net-importer produk minyak bumi dan produksi kita malah terus menurun? Berapa persen dari BBM yang dijual di Indonesia masih tidak terpengaruh harga di pasar internasional? Bahwa produksi minyak bumi kita terus menurun-dari pernah 1,5 juta barrel menjadi 900.000 barrel per hari sekarang-amat mengkhawatirkan. Sebab, bukan pertama-tama bahwa minyak kita sudah pasti tidak ada, melainkan bahwa penanaman modal di bidang perminyakan dan, lebih gawat lagi, dalam eksplorasi sejak lama dilalaikan.

Sebagai orang awam di bidang ekonomi maupun perminyakan, saya hanya dapat bertanya: Apakah kecenderungan ini dapat dibalik selama produk minyak bumi dijual dengan harga yang, menurut ukuran internasional, murah secara menggelikan? NAMUN, andaikata pun kita tidak perlu mengimpor minyak sama sekali: Harga minyak murah merangsang sikap boros yang tidak bertanggung jawab sama sekali.

Mengapa minyak bumi tidak boleh diboroskan? Pertama karena minyak bumi terlalu bernilai (karena diperlukan sebagai bahan dasar pelbagai produk industrial) daripada untuk dibakar!

Kedua, karena kalau bensin dan sebagainya murah, industri tidak akan mengembangkan produk hemat energi maupun energi bukan fosil ("mobil tiga liter" [per 100 km] yang sudah mungkin hanya tidak diproduksi karena bensin begitu murah!).

Ketiga, karena dengan menghemat penghabisan minyak bumi, minyak bumi akan tahan beberapa puluh tahun lebih lama yang perlu untuk mengembangkan alternatif- alternatif. Pendek kata, tanggung jawab atas masa depan umat manusia, termasuk bangsa Indonesia, menuntut agar bensin segala macam dijual dengan semahal mungkin. Masak manusia membakar habis dalam waktu 200 tahun apa yang pembentukannya memerlukan ratusan juta tahun! AKAN tetapi, bagaimana halnya masyarakat ekonomi lemah yang jelas akan merasakan dampak kenaikan harga BBM?

Bulan lalu saya bertanya langsung kepada sekelompok masyarakat yang berkumpul berkat jasa Urban Poor Consortium, Mbak Wardah Hafidz, apa yang akan mereka pilih: Mempertahankan harga BBM tanpa perubahan lain atau harga BBM dinaikkan tajam, tetapi anak-anak mereka bisa ke sekolah dasar tanpa dipungut biaya apa pun? Mereka menyatakan akan memilih yang kedua.

Masyarakat akan mengatasi kenaikan harga BBM jika Rp 70 triliun yang sekarang diboroskan dipakai secara terarah untuk memperbaiki struktur-struktur sosialnya. Pertama, untuk menjamin bahwa segenap anak Indonesia dapat mengikuti pendidikan dasar selama sembilan tahun tanpa dipungut biaya apa pun.

Kedua, untuk membiayai sebagian besar fundamental asuransi kesehatan dasar wajib yang memungkinkan setiap warga negara mengakses pelayanan kesehatan biasa dengan biaya terjangkau. Belum adanya asuransi kesehatan dasar wajib bagi sebagian besar masyarakat merupakan kebrutalan sosial paling gawat yang diderita masyarakat ekonomi lemah di negara kita.

Katanya pembangunan kembali Aceh/Nias dan lain-lain akan membutuhkan biaya Rp 30 triliun. Ini kurang dari setengah dari Rp 70 triliun yang diboroskan sekarang! Namun, kiranya lebih baik biaya pembangunan kembali daerah-daerah tsunami diambil dari dana-dana khusus yang akan dimobilisasikan. Pilihan harga BBM mahal bersifat struktural, maka manfaatnya harus struktural juga.

Semoga Presiden dan DPR menunjukkan keberanian moral mengambil tanpa ragu keputusan yang jelas tidak populer, tetapi mereka ketahui tak bisa ditunda selamanya karena akan memungkinkan kita mengatasi beberapa kekerasan sosial paling gawat yang sampai sekarang dialami masyarakat.

Franz Magnis-Suseno SJ Rohaniwan,
Direktur Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta

Apakah Harga BBM Subsidi Harus Naik?




Oleh: Purbaya Yudhi Sadewa
(Analisis Danareksa tentang Subsidi BBM pernah dimuat Kompas.)
Harga minyak dunia yang tinggi telah menekan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2008 kita. Untuk menghilangkan tekanan terhadap APBN 2008 itu pemerintah berencana akan menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi. Apakah ini keputusan yang terbaik?

Kekhawatiran terhadap keadaan APBN kita cukup beralasan. APBN 2008 memiliki asumsi harga minyak 95 dollar AS per barrel, sedangkan harga minyak dunia saat ini di atas 110 dollar AS per barrel.

Sebenarnya, keadaan APBN kita tidaklah terlalu buruk. Perlu dikemukakan di sini bahwa harga minyak acuan APBN kita adalah harga minyak Indonesian Crude Price (ICP), yang cenderung berada di bawah harga minyak WTI (West Texas Intermediate), yaitu rata-rata lebih rendah sekitar 5 dollar AS per barrel.

Pada 21 April 2008, misalnya, ketika harga minyak WTI berada pada level 117,5 dollar AS per barrel, harga ICP berada pada leve1 107,0 dollar AS per barrel. Harga minyak OPEC pun tidak terlalu jauh dari level harga minyak ICP ketika itu.

Selain itu, harga rata-rata minyak ICP pada 2008 sampai 21 April baru 95,7 dollar AS per barrel, tidak terlalu banyak berbeda dengan asumsi APBN yang sebesar 95 dollar AS per barrel.
Harga rata-rata minyak OPEC bahkan baru mencapai 93,8 dollar AS per barrel. Jadi, walaupun agak tertekan, sebenarnya keadaan APBN kita jika dilihat dari sisi asumsi harga minyak bumi tidaklah terlalu buruk.

Namun, banyak kalangan yang kurang menyadari keadaan di atas. Akibatnya, media, ekonom, analis pasar modal, pengusaha, dan investor beramai-ramai menyimpulkan, APBN kita tidak akan berkesinambungan karena subsidi membengkak bila tanpa kenaikan harga BBM.

IHSG sulit naik
Berkurangnya kepercayaan terhadap APBN kita menyebabkan indeks harga saham gabungan (IHSG) sulit untuk mengalami kenaikan. Memang, pada Maret 2008 kekhawatiran terjadi resesi di AS telah menekan pasar saham dunia. Namun, pada April tekanan faktor global sudah hilang sepenuhnya. Hal ini terlihat pada pergerakan indeks harga saham SET (Thailand) dan KOSPI (Korea). Namun, IHSG masih belum mengalami kenaikan yang berarti.
Dampak negatif juga terlihat pada pasar obligasi. Harga obligasi pemerintah terus mengalami tekanan. Artinya, imbal hasilnya mengalami kenaikan karena pergerakan imbal hasil berbanding terbalik dengan pergerakan harga.

Imbal hasil rata-rata obligasi pemerintah mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari sekitar 9,7 persen pada Januari menjadi sekitar 11,3 persen pada Maret, dan bahkan sempat naik ke level yang lebih tinggi lagi pada bulan April. Dalam keadaan yang demikian, ongkos penerbitan surat utang baru menjadi lebih mahal daripada sebelumnya.

Oleh karena itu, jatuhnya kepercayaan terhadap kesinambungan APBN perlu dipulihkan secepatnya. Bila tidak, sentimen di pasar akan semakin negatif. Hal ini bila dibiarkan terus dapat memicu terjadinya pembalikan arus modal ke luar negeri secara besar-besaran.

Bila ini terjadi, pasar saham dan pasar obligasi akan terkoreksi dengan amat tajam. Rupiah pun akan tertekan secara amat signifikan. Dan, BI mungkin terpaksa harus menaikkan suku bunga dengan tajam untuk mencegah pelemahan rupiah yang berlebihan.

Dalam keadaan demikian, sulit bagi pemerintah untuk menerbitkan surat utang. Akibatnya, pembiayaan defisit APBN dari penerbitan surat utang menjadi tidak dapat dipenuhi.
Artinya, kegagalan memulihkan kepercayaan terhadap APBN dapat mengganggu kestabilan sistem finansial secara keseluruhan. Prospek perekonomian pun menjadi suram mengingat kenaikan suku bunga yang tajam dapat mengganggu kesinambungan ekspansi ekonomi yang sedang terjadi.

Simulasi kenaikan
Untuk memulihkan kepercayaan terhadap kesinambungan APBN, rasanya pemerintah memang terpaksa harus menaikkan harga BBM. Lalu, berapa dan kapan kenaikan tersebut harus diimplementasikan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Danareksa Research Institute melakukan simulasi dengan tiga skenario.

Dalam skenario pertama diasumsikan harga minyak ICP pada periode Mei sampai Desember 2008 bertahan pada level 105 dollar AS per barrel. Skenario kedua mengasumsikan harga minyak ICP pada level 115 dollar AS per barrel, sedangkan WTI pada kisaran 120 dollar AS per barrel. Dan pada skenario yang ketiga ICP diasumsikan berada pada level 125 dollar AS per barrel.

Misalnya, untuk skenario kedua, pemerintah harus menyediakan subsidi tambahan sebesar Rp 29,8 triliun. Tabel 2 memperlihatkan kenaikan harga BBM yang harus dikenakan agar subsidi BBM di APBN tidak naik (kelebihan harga di atas 100 dollar AS per barrel dibebankan ke masyarakat).

Untuk skenario dua, bila kenaikan dilakukan pada Mei, harga BBM rata-rata (premium, solar, dan minyak tanah) harus dinaikkan sebesar 38,8 persen. Bila kenaikan dilakukan pada Juni, rata-rata kenaikan harga BBM sekitar 44,2 persen dan 51,5 persen untuk kenaikan pada bulan Juli.

Hasil simulasi ini juga menunjukkan bahwa besarnya kenaikan harga juga tergantung dari waktu kenaikan. Penundaan kenaikan dari bulan Mei ke Juli, misalnya, akan menyebabkan kenaikan tambahan sebesar 12,7 persen (untuk skenario dua). Jadi, semakin cepat harga BBM dinaikkan, semakin kecil tingkat kenaikannya.

Tepat waktu
Lalu, apakah rencana kenaikan BBM yang telah diberitakan (kenaikan pada bulan Juni dengan rata-rata kenaikan sebesar 28,5 persen) sudah tepat?

Dari sisi waktu tampaknya memang demikian walaupun sebenarnya kenaikan pada bulan Mei akan lebih baik. Mungkin, pemerintah perlu waktu untuk sosialisasi kenaikan ini, termasuk sosialisasi dengan DPR.

Di samping itu, diperlukan juga waktu untuk mempersiapkan program bantuan untuk masyarakat bawah yang paling terpukul oleh kenaikan harga BBM.

Dari sisi besaran pun rasanya cukup sesuai. Tampaknya pemerintah mengambil asumsi harga minyak ICP bertahan pada level 110 dollar AS per barrel dan WTI sekitar 115 dollar AS per barrel sampai akhir tahun.
Melihat perkembangan harga minyak dunia saat ini, angka ini rasanya cukup dapat diterima. Asumsi yang diambil pemerintah berada antara skenario satu dan skenario dua dalam simulasi yang telah disebutkan di atas.

Nilai rata-rata sederhana kenaikan harga BBM dari kedua skenario itu untuk kenaikan bulan Juni tidaklah terlalu jauh dengan besarnya kenaikan yang direncanakan oleh pemerintah.
Kenaikan yang hampir mendekati 30 persen ini rasanya tidak akan mengurangi daya beli secara signifikan.

Kenaikan ini diperkirakan akan memberikan inflasi tambahan sebesar 2 persen. Jadi, dengan laju inflasi saat ini yang berada pada level sekitar 9 persen, laju inflasi pada Juni akan meningkat ke sekitar 11 persen.

Suku bunga mungkin akan naik. Namun, rasanya kenaikan BI Rate yang dibutuhkan tidaklah terlalu besar. Diperkirakan BI Rate dapat naik 50-100 basis poin sepanjang tahun ini.
Dengan demikian, BI Rate dapat naik ke sekitar 9 persen. Level ini diperkirakan tidak akan terlalu mengganggu pertumbuhan ekonomi.

Pengalaman selama ini menunjukkan, selama BI Rate berada di bawah 9,5 persen, ekonomi masih dapat berekspansi dengan baik. Hal yang perlu diwaspadai justru adalah dampak negatif terhadap masyarakat bawah. Mereka sudah terpukul oleh kenaikan harga pangan akhir-akhir ini. Karena itu, pemerintah harus mengimplementasikan program bantuan langsung tunai atau jaring pengaman sosial lainnya dengan sungguh-sungguh.

Kegagalan menyiapkan dan merealisasikan jaring pengaman sosial akan dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Jadi, walaupun berat, untuk memulihkan kepercayaan terhadap APBN tampaknya pemerintah terpaksa harus menaikkan harga BBM.
Purbaya Yudhi Sadewa
(Chief Economist Danareksa Research Institute)

Antara Kebijakan Energi Indonesia Dengan Beban Subsidi BBM

Petikan Wawancara dengan Kontributor Khusus BBMwatch Research Media Prof. Dr. Widjajono Partowidagdo (Guru Besar Perminyakan ITB).

Disela-sela kesibukannya, pria yang lahir di Magelang 16 September 1951 ini masih menyempatkan hobinya mendaki gunung. Ketika ditemui BBMwatch beberapa waktu lalu di Bandung, beliau dengan semangat bercerita mengenai ”ekspedisi”nya baru-baru ini di salah satu Pegunungan di Himalaya, Nepal. Pun, ketika beliau diajak berbicara mengenai tingginya harga minyak dunia, beban subsidi BBM yang masih memberatkan, serta berbagai kebijakan terkait pengelolaan energi di Indonesia. BBMwatch melakukan wawancara khusus dengan Prof Widjajono Partowidagdo, berikut petikannya.

RESUME WAWANCARA
Tanya : Dalam konteks ekonomi energi apa yang sebenarnya dan sebaiknya menjadi dasar dalam penetapan harga BBM, khususnya bagi sektor rumah tangga?

Jawab : Untuk menjamin pemasokannya harganya harus menutupi biaya yang sudah dikeluarkan ditambah keuntungan yang wajar. Karena biaya BBM terdiri dari biaya minyak mentah ditambah biaya kilang, transportasi dan distribusi maka biayanya dihitung dari komponen-komponen tersebut.

Tanya : Jika kemudian konteks ini kita bawa dalam perspektif kemampuan daya beli masyarakat, bagaimana menjelaskan harga BBM yang wajar?

Jawab : Apabila karena kemampuan daya beli masyarakat dibawah harga ekonomi diatas, maka pemerintah seyogyanya mensubsidi selebihnya. Walaupun demikian seyogyanya subsidi tersebut tidak salah sasaran dan diusahakan menggantikan BBM dengan energi lain yang lebih murah, sehingga subsidinya menjadi lebih rendah. Misalnya untuk memasak menggantikannya dengan LPG, gas kota, briket batubara dan biofuel . Untuk transportasi terutama transportasi umum dengan CNG dan biofuel. Untuk listrik dengan batubara, panas bumi, microhydro, biomass, biogas.

Tanya : Bagaimana sebenarnya menjelaskan kepada publik bahwa harga BBM di Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga minyak di pasaran dunia?

Jawab : Indonesia bukan termasuk penghasil minyak yang besar, bahkan impor minyak dan BBM lebih besar dari ekspornya. Perlu dicatat bahwa cadangan minyak Indonesia hanya 0,5 % cadangan minyak dunia, cadangan gas 1,4 % cadangan gas dunia, cadangan batubara 3,1 % cadangan batubara dunia sedangkan potensi panas bumi Indonesia diperkirakan 40 % potensi panas bumi dunia. Apalagi Indonesia adalah negara miskin karena utangya besar. Untuk negara-negara yang produksinya berlipat-lipat dibandingkan pemakaiannya seperti Arab Saudi, Irak, Iran, Venezuela tidak apa-apa menjual BBM untuk kebutuhan domestik dengan harga murah. Apabila Indonesia melakukan hal yang sama maka Indonesia akan bangkrut . Impor minyak dan BBM diperkirakan akan meningkat dimasa depan, maka mau tidak mau Indonesia harus menjual BBM pada harga keekonomiannya yang merupakan fungsi dari harga minyak mentah ditambah biaya kilang, transportasi dan distribusi serta keuntungan yang wajar.

Tanya : Subsidi terhadap harga BBM masih sangat besar (dalam perhitungan BBMwatch untuk tahun ini diatas 50 Triliun), bagaimana anda memandang ini?

Jawab : Indonesia harus berusaha sesegera mungkin menjadikan program diversifikasi kenyataan, misal dengan meningkatkan penggunaan batubara , panas bumi dan microhydro dan biomass ( limbah dan sampah ) untuk listrik , penggunaan CNG dan biofuel untuk transportasi, LPG, briket batubara , gas kota dan biodiesel untuk memasak . Dengan diversifikasi tersebut subsidinya akan berkurang, apalagi apabila penduduk pedesaan dapat memenuhi sendiri kebutuhan energinya ( misalnya dengan memberikan pinjaman berbunga rendah pada LSM yang mau mengembangkan energi setempat, seperti di Amerika Serikat ) . Diperlukan peningkatan kualitas transportasi publik di kota-kota besar ( busway, monorail ) karena hal ini akan mengurangi pemakaian energi, polusi dan kemacetan.

Tanya : Upaya menaikkan harga BBM masih dianggap sebagai suatu langkah yang tidak populer dan sangat politis. Jika demikian langkah lain apa lagi yang bisa ditempuh?

Jawab :Perlu dibuat kebijakan-kebijakan supaya program-program di atas menjadi kenyataan, yang justru akan berhasil apabila harga BBM dinaikan mendekati harga pasar, tetapi pada saat yang sama energi yang lebih murah tersedia. Seyogyanya subsidi tidak diberikan dalam bentuk subsidi harga, tetapi diberikan langsung ( pendidikan, kesehatan, perumahan, pelatihan, modal usaha ) . Disamping itu Indonesia perlu meminimalkan korupsi, menertibkan pajak dan meningkatkan kemampuan ekonominya supaya subsidi langsung lebih besar dan daya beli masyarakat meningkat. Insentif untuk energi-energi baru tersebut dapat diberikan misalnya dengan menjual kompor dan tabung 3 kg untuk LPG dengan harga lebih murah, memberikan pinjaman berbunga rendah untuk listrik pedesaan , menetapkan harga keekonomian listrik panas bumi ( yang jauh lebih murah dari harga listrik BBM ) dan mensubsidi selisih harga panas bumi tersebut dengan harga jual listrik PLN. Untuk 1 KWH listrik dibutuhkan 0,28 liter BBM, bila harga BBM Rp. 5000 /liter maka biayanya RP. 1.400,-. Biaya panas bumi adalah $ 0,05 / KWH, bila 1 $ adalah Rp. 9100,- maka biayanya Rp. 445,-. Apabila kita dapat mencapai target tahun 2100 dengan meningkatkan penggunaan panas bumi 1000 MW maka kita dapat menghemat 1000 MW= 1786 x 109 GWH / tahun = 11.786 x 10 / KWH / tahun x ( RP. 1400- RP. 455) = Rp. 11,15 triliyun / tahun.

Tanya : Langkah konversi minyak tanah dengan LPG diyakini sebagai salah satu upaya menekan subsidi BBM-minyak tanah, melalui pembagian kompor dan tabung 3 kg secara gratis. Tanggapan anda?

Jawab : Seyogyanya tidak gratis, tetapi harga murah. Seyogyanya untuk memasak digunakan tidak hanya LPG, tetapi juga briket batubara serta gas pipa untuk kota-kota besar dan biodiesel untuk perdesaan. Perlu disadari bahwa tidak semua gas bisa dijadikan LPG ( hnya C3 dan C4 ). Kalau kita hanya menggantungkan pada LPG maka kemungkinan kita harus mengimpornya. Perlu direalisasikan penggunaan gas dalam pipa untuk dikota-kota besar.

Tanya : Pemanfaatan energi alternatif kelihatan masih sebatas wacana, apa saja kendalanya, bukankah harga BBM sudah relatif ekonomis?

Jawab : Perlu kebijakan-kebijakan pada no. 5 , disamping itu perlu informasi pada masyarakat , dan pemberdayaan masyarakat. Disamping itu hal-hal yang menghambat investasi di Indonesia perlu dibenahi seperti lamanya perijinan, ketidakpastian hukum, KKN, tumpang tindih lahan, pembebasan tanah, desentralisasi yang kebablasan dan lain-lain.

Tanya : Pemanfaatan biofuel (biosolar dan biopremium) juga kelihatan masih sebatas wacana, apa saja kendalanya?Jawab : Harga minyak kelapa sawit yang tinggi, ketidakpastian harga beli buah jarak, kurangnya informasi mengenai pengolahan jarak dan kompor jarak serta belum disubsidinya kompor jarak. Saat ini pemerintah lebih sibuk dalam pengolahan jarak dalam skala besar dan sepertinya lupa mengembangkan pemakaian jarak di perdesaan supaya penduduknya mandiri dalam memenuhi kebutuhan energi.

Tanya : Salah satu jenis BBM yang hingga kini masih dituding subsidinya sangat besar adalah bensin dan solar sektor transportasi yang dijual melalui SPBU. Upaya apa yang bisa ditempuh agar subsidi bisa ditekan dan lebih tepat sasaran?

Jawab : Hilangkan subsidi bensin dan solar, perbaiki transportasi umum di kota-kota besar (bis AC, busway dan monorail ) serta gunakan CNG untuk transportasi umum dan mobil-mobil pemerintah serta perbanyak SPBG dan subsidi tabung CNG sehingga harganya murah. Alihkan subsidi harga ke subsidi langsung.

Tanya : Dalam konteks pembangunan ekonomi kerakyatan, bagaimana semestinya negara mengelola energi?

Jawab : Jual BBM dengan harga pasar, subsidi transportasi umum, subsidi energi perdesaan dan penggunaan energi terbarukan serta yang lebih utama subsidi langsung kepada yang membutuhkan ( pendidikan, kesehatan, perumahan, pelatihan dan modal usaha ). Hal ini akan meningkatkan kemandirian, seperti yang dilakukan Cina, India, Bangladesh dan lain-lain.

Tanya : Sektor migas dan energi hingga kini masih memegang kontribusi utama dalam pembangunan nasional. Bagaimana upaya-upaya yang bisa ditempuh agar terjadi peningkatan kemampuan Nasional dari sektor ini?Jawab : Perlu keberpihakan pemerintah dalam peningkatan kemampuan Nasional. Kontrak migas yang sudah habis seyogyanya dialihkan kepada perusahaan Nasional (BUMN, BUMD, Swasta) atau paling tidak 60 % sahamnya dimiliki pengusaha nasional. Seyogyanya Indonesia tidak mengekspor minyak mentah ( migas paling menguntungkan jika dijadikan bahan petrokimia ), paling tidak untuk bagian pemerintahnya.***

Tentang Prof. Dr. Widjajono Partowidagdo

Riwayat Pendidikan : (S1, S2, S3)
Sarjana Teknik Perminyakan ITB, 1975;MSc. (Petroleum Engineering), USC (U. of Southern California), Los Angeles, USA, 1980;MSc. (Operations Research), USC, 1982;M.A. (Economics), USC, 1986;Ph.D. (Engineering), USC, 1987, dengan disertasi : An Oil and Gas Supply and Economics Model for Indonesia.

Riwayat Pekerjaan :
· Guru Besar dalam ilmu Ekonomi dan Pengelolaan Lapangan Migas pada Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung (ITB), sejak 2004;
· Ketua Kelompok Keahlian Pemboran, Produksi dan Manajemen Migas, FIKTM, ITB, sejak 2005;
· Pengajar pada Jurusan Teknik Perminyakan ITB (Institut Teknologi Bandung), sejak tahun 1976;
· Pengajar pada Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB (Institut Teknologi Bandung), sejak tahun 1993;
· Pengajar pada Program Pascasarjana Sumber Daya Mineral, ITB sejak tahun 1989;
· Koordinator Penelitian Model Pembangunan yang Berkelanjutan pada Pusat Antar Universitas (PAU) - Ekonomi - Universitas Indonesia (UI) 1989 - 1992;
· Pembantu Dekan Urusan Akademis, Fakultas Teknologi Mineral (FTM), ITB, 1994-1997;· Ketua Program Pasca Sarjana Studi Pembangunan ITB, 1993 – 2004;

Jika Tidak Setuju BBM Naik, Mengapa Harus Menyegel SPBU Dan Sandera Mobil Tangki BBM?

Oleh: BBMwatch Research Media
(Hasil pantauan dari berbagai media daerah)

Penolakan terhadap rencana kebijakan kenaikan BBM saat ini ditandai dengan upaya Massa untuk menyegel SPBU dan menyandera mobil tangki transportir BBM. Sebuah aksi teatrikal yang sebenarnya sangat menggangu keberadaan fasilitas pelayanan publik (baca: rakyat).

Di TANGERANG - Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Jaringan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah seperti PMII dan HMI melakukan aksi di depan SPBU 34.15419 di Jalan Ciputat Raya, Tangerang, Banten.Rencananya dalam aksi menolak kenaikan harga BBM itu para mahasiswa ingin melakukaan penyegelan di SPBU itu namun aksi itu batal lantaran dijaga ketat aparat kepolisian dari wilayah Ciputat.Kesal aksinya dihadang mahasiswa kemudian melakukan aksi memantati aparat kepolisian. Beberapa Petugas yang melihat aksi tersebut sebagian hanya tersenyum sinis dan sebagian memalingkan wajahnya dengan mukam masam.

Di MAKASAR, massa mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin yang menggelar aksi demo di depan kantor Bank Indonesia Makassar, Sulawesi Selatan. Demo yang diikuti Pembantu Rektor III UIN Alauddin diwarnai pembakaran ban, serta menyandera sebuah mobil tangki.
Bentrok massa dan aparat tidak terhindar saat aparat berupaya membubarkan massa. Terjadi aksi saling dorong dan pukul antara massa dengan polisi terjadi. Tiga mahasiswa ditangkap. Unjuk rasa di Makassar berlangsung setidaknya di sejumlah titik, antara lain di kantor DPRD Sulsel, kantor BI, kantor Pertamina, Monumen Mandala, kediaman Jusuf Kalla, kampus UIN Alauddin, SPBU Pettarani, dan Pantai Losari.

Di CIREBON, Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Penyelamat Reformasi (GMPR), Jumat (9/5) kemarin menggelar demo terkait rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) awal Juni mendatang. Aksi mahasiswa tersebut dilakukan di depan Kantor Hiswanamigas di Jl Diponogoro.

Mahasiswa menilai kebijakan pemerintah tersebut tidak tepat dan tidak berpihak kepada rakyat, mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang terpuruk dan masih banyak rakyat yang menderita karena kemiskinan.

Unjuk rasa mahasiswa ini diawali dengan mendatangi kantor Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswanamigas) Cirebon sebagai pihak yang berperan mendistribusikan BBM agar turut serta menolak kenaikan harga BBM. Usai berorasi di depan Kantor Hiswanamigas, mahasiswa mendatangi SPBU 34-45149 di Jl Diponegoro yang letaknya berseberangan dengan kantor Hiswanamigas dan mahasiswa pun melakukan penyegelan.

Famplet dan poster-poster yang bertuliskan "Disegel oleh rRakyat" di tempel di beberapa sudut SPBU 34-45149. Aksi mahasiswa tersebut kontan menyebabkan antrean kendaraan yang hendak mengisi bahan bakar. Bahkan, beberapa kendaraan memutuskan untuk memutar arah karena aksi unjuk rasa tersebut.

Di MOJOKERTO, gelombang aksi unjuk rasa menolak kenaikkan BBM (bahan bakar minyak) oleh pemerintah, akhirnya digelar kalangan aktivis mahasiswa di Mojokerto. Dalam aksi yang dilakukan puluhan peserta mengatasnamakan Comando Barisan Rakyat (Cobra), diwarnai "penyegelan" sebuah SPBU.

Mereka memasang poster segel, tepat di saat beberapa karyawan SPBU di Jl Bhayangkara Kota Mojokerto sedang melayani kepadatan pembeli. Tak pelak, baik pengelola maupun konsumen yang sedang berada di SPBU dibuat ketar-ketir. " SPBU ini adalah milik rakyat. Sudah seharusnya dikembalikan pada rakyat!," teriak Sirro salah satu peserta yang memasang poster segel.

Apa yang salah dengan SPBU dan Mobil tangki? Bukankah mereka adalah para ujung tombak penyaluran BBM untuk rakyat? Tanpa keberadaan SPBU dan Mobil tangki yang dikelolah pihak swasta maka Pertamina akan kesulitan menyalurkan BBM yang kita nikmati sehari-hari.