Tuesday, May 20, 2008

Teka Teki dan Misteri Harga BBM

Oleh: A Tony Prasetiantono


Harga minyak kian menjadi teka-teki bahkan menyerupai misteri yang sulit dipecahkan. Bahkan, faktor penyebab kenaikan harga yang dominanpun menimbulkan perdebatan. Apakah lebih banyak disebabkan oleh faktorfundamental (tarik-menarik penawaran dan permintaan) atau oleh faktorlain, seperti spekulasi?

Bukti kesulitan ini terlihat dari kerepotan IMF yang harus seringmerevisi asumsi. Akhir 2007, IMF memperkirakan harga minyak duniatahun 2008 "hanya" 80 dollar AS per barrel. Namun, akhir Maret 2008,proyeksi berubah menjadi 100 dollar AS per barrel. Tampaknya, angkaini belum final karena harga minyak pernah menyentuh 120 dollar AS perbarrel.

Fundamental, geopolitik, spekulasi
Produksi dan konsumsi minyak dunia kini bertemu pada ekuilibrium 84juta barrel per hari. Namun, harus diakui, permintaan tumbuh pesat,terutama karena faktor perekonomian China yang melaju. Bahkan, ketikaharga minyak sudah di atas 110 dollar AS per barrel seperti sekarang,perekonomian China masih tumbuh 10,5 persen pada triwulan pertama 2008.

Dari sisi penawaran, atmosfer eksplorasi sempat lesu karena hargaminyak dunia pernah amat rendah (9 dollar AS per barrel) pada 1986.Akibatnya, kenaikan produksi tidak secepat konsumsi. Khusus Indonesia, kini produksinya 900.000 barrel per hari, padahal konsumsi kita 1,3 juta barrel per hari. Situasi ini kontras dengantahun 1980-an, kita pernah memproduksi 1,6 juta barrel/hari, padahal konsumsinya 600.000 barrel per hari.

Analisis bahwa faktor fundamental bisa menjelaskan kenaikan hargaminyak, antara lain, dilakukan Leonardo Maugeri (The Age of Oil: TheMythology, History, and Future of the World's Most ControversialResource, The Lyons Press, 2008).

Namun, bagi para produsen minyak, faktor fundamental bukan alasanpenjelas yang tepat. Produsen mengklaim bisa memenuhi kebutuhankonsumen. Faktor geopolitik dan spekulasi dituding sebagai biangkeladi. Argumentasi ini pun logis, saat akhir-akhir ini duniamengalami kelebihan likuiditas (overliquid) sehingga sebagian dana itudialokasikan oleh hedge fund (perusahaan investasi yang mengelola danainvestor kaya) untuk membeli minyak. Minyak tidak lagi berfungsisebagai faktor produksi, tetapi sudah masuk wilayah instrumeninvestasi sehingga harganya berfluktuasi seperti harga saham.

Jika tesis terakhir ini benar, solusinya bukan terletak pada supplydan demand, tetapi lebih pada upaya mengurangi ruang gerak spekulan.Hedge fund, berbeda dengan mutual fund, selama ini kurang disentuhregulasi. Mungkin sudah waktunya Securities Exchange Commission (SEC,regulator pasar modal Amerika Serikat) untuk lebih menatanya denganregulasi. Bila perlu, berlakukanlah aneka restriksi agar minyak tidakdimainkan spekulan. Fungsi minyak dikembalikan sebagai faktor produksiyang esensial. Ide ini mungkin tidak populer bagi marketfundamentalists dan penganut liberalisme, tetapi segala upaya perluditempuh.

Dilema pemerintah
Krisis harga minyak menciptakan dilema bagi Pemerintah Indonesia.Dengan harga minyak dunia rata-rata 110 dollar AS per barrel, subsidiBBM, listrik, dan pangan akan mencapai Rp 250 triliun. Dibandingkanvolume belanja APBN 2008 sebesar Rp 978 triliun, angka subsidi ituterlalu besar (25 persen). Karena itu, pilihannya adalah menaikkanharga BBM bersubsidi.

Masalahnya, secara politis kenaikan harga BBM tidak menguntungkan,apalagi menjelang Pemilu 2009. Belum lagi faktor inflasi, di manainflasi year on year kini mencapai 8,96 persen.

Dengan plus-minusnya, harga BBM bersubsidi harus dinaikkan, denganbesaran yang dapat diterima. Beban subsidi BBM akan meningkat seiringpergeseran pola konsumsi energi dari BBM nonsubsidi (pertamax) ke BBMbersubsidi. Data Pertamina menunjukkan, pada Maret 2008 volumepenjualan pertamax turun 15 persen dan pertamax plus turun 13 persen.

Sebagian konsumen pertamax beralih ke premium bersubsidi, itu terlihatdari meningkatnya volume penjualan dari 1,44 miliar kiloliter(Februari) menjadi 1,58 miliar kiloliter (Maret 2008) atau naik 8,0persen. Akibatnya, penjualan BBM bersubsidi triwulan I-2008 melampauikuota 35,5 juta kiloliter. Persisnya, terjadi pelampauan dari yangsemestinya 25 persen untuk setiap triwulan menjadi 27 persen.

Kesimpulannya, sulit mengharap masyarakat secara sadar dan sukarelamelakukan penghematan. Upaya berhemat harus dilakukan dengan "agakmemaksa". Langkah yang efektif adalah melalui kenaikan harga. Denganharga lebih tinggi akan menyebabkan konsumen mau tidak mau segeraberhemat. Memang hal ini bukan langkah populer, tetapi pemerintahtidak memiliki banyak alternatif.

Alternatif lain, misalnya, menaikkan anggaran subsidi BBM melaluipeningkatan defisit APBN 2008, sekitar 2,0 hingga 2,1 persen. Namun,level ini tergolong riskan. Umum diketahui para ekonom dunia dandirumuskan dalam Washington Consensus bahwa defisit anggaran negaraberkembang maksimal yang ditoleransi adalah 2 persen [John Williamson(ed.), The Political Economy of Policy Reform, Institute forInternational Economics, Washington DC, 1994]. Bila melampaui 2persen, di kemudian hari bakal rawan terjadi bencana fiskal.

Masalahnya kini, berapa besaran kenaikan harga yang tepat? DepartemenKeuangan mengusulkan skema kenaikan rata-rata 28,7 persen sehinggaharga premium bersubsidi naik dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.000per liter. Menurut saya, angka ini perlu "diperhalus". Saya menduga, angka kenaikan Rp 1.000 per liter masih bisa diakomodasi sehinggatidak menimbulkan efek psikologis negatif.

Upaya Presiden Yudhoyono melakukan persuasi melalui pidato televisipekan lalu sudah benar. Ini merupakan bagian conditioning setelahpemerintah berpengalaman pahit menaikkan harga BBM 100 persen pada 1Oktober 2005, yang menimbulkan kegusaran masyarakat.

Seyogianya, pemerintah membeberkan data harga BBM di berbagai negaradi kawasan. Harga BBM di Kamboja, misalnya, ekuivalen Rp 12.000 perliter. Artinya, seluruh dunia kini sedang prihatin menghadapi masalahyang sama, sedangkan risiko inflasi, juga dialami banyak negara.Inflasi year on year Singapura, misalnya, negara berkarakteristiksmall open economy, sudah 6,6 persen, China mencapai 8,7 persen, danpuncaknya adalah Vietnam dengan 19 persen!

Efektivitas kampanye penghematan energi amat diragukan bila tidakdisertai enforcement berupa kenaikan harga BBM bersubsidi. Namun, inihendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan efek psikologismasyarakat. Karena itu, faktor psikologis seyogianya menjadi penentubesaran kenaikan harga BBM bersubsidi. Kenaikan maksimal Rp 1.000 bagiBBM premium merupakan kompromi yang tampaknya bisa mempertautkankepentingan ekonomi sekaligus psikologis itu.

A Tony Prasetiantono
(Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan PublikUGM; Chief Economist BNI)

No comments: