Monday, May 19, 2008

TERBELENGGU MITOS BBM

Artikel berjudul 'Terbelenggu Mitos Bahan Bakar Minyak" dimuat di Kompas, 16 Mei 2008, hal.21. namun versi asli yang belum diedit di dapat diakses di: http://faisalbasri.blogs.friendster.com/

Akhir minggu lalu harga minyak mentah di pasar berjangka New York untuk penyerahan Juni sudah mencapai 126 dollar AS. Itu adalah harga nominal. Hasil kajian yang dimuat majalah Economist, edisi 17 April 2008, memaparkan bahwa dengan menggunakan ukuran lain, tampaknya harga minyak dewasa ini belum tergolong mahal.
Dengan menggunakan acuan perkembangan pendapatan konsumen tahunan negara-negara kaya yang tergabung di dalam G-7 sejak 1981, harga minyak seharusnya naik menjadi 134 dollar AS. Apabila dipadankan dengan perkembangan pendapatan siap belanja (disposable income) penduduk AS, harga minyak bisa bertengger setinggi 145 dollar AS. Dan seandainya diselaraskan dengan pangsa belanja minyak terhadap output global, harga minyak berpotensi mencapai 150 dollar AS. Jadi, sebetulnya harga minyak dewasa ini belum tergolong tinggi. Harga di masa lalu itu, sebetulnya, yang relatif terlalu murah.

Pada awal Mei Goldman Sachs mengeluarkan prediksi terbaru bahwa harga minyak dapat mencapai 200 dollar AS sebelum akhir tahun ini. Sebetulnya, Goldman Sachs bukan yang pertama keluar dengan angka itu. Jauh hari sebelumnya, Stephen Leeb dan Glen Strathy telah lebih dulu mengingatkan kemungkinan ini di dalam bukunya yang diterbitkan tahun 2006. Judul bukunya saja, di masa itu, dipandang sangat provokatif dan mungkin mengada-ada: The Coming Economic Collapse: How You can Thrive when Oil Cost $200 a Barrel.

Asumsi harga minyak yang tercantum di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan yang baru saja ditetapkan April lalu adalah 95 dollar AS. Dengan harga sekarang, acuan tersebut sudah meleset lebih dari 30 dollar AS. Tanpa kenaikan harga BBM, subsidi energi melonjak dari Rp 187 triliun menjadi hampir Rp 250 triliun. Kalau harga merangkak naik hingga 150 dollar AS, subsidi bisa menggelembung ke sekitar Rp 300 triliun.

Sampai kapan harga BBM bersubsidi dibiarkan “anteng” pada tingkat sekarang ini? Tentu ada batasnya. Jadi, tinggal tunggu waktu saja. Sejatinya, persoalan utama bukanlah subsidi yang menggelembung. Karena, ada 1001 cara untuk menekan subsidi agar APBN tak terseret ke dalam zona bahaya: penjadwalan hingga kemplang utang luar negeri maupun dalam negeri, penghematan departemen dan lembaga negara secara besar-besaran, penerapatan pajak progresif atas komoditas yang sedang booming, jual BUMN, pemotongan gaji, peningkatan produksi minyak, dan sebagainya. Tentu saja efektivitas dari pilihan-pilihan tersebut masih perlu dipertanyakan.

Katakanlah langkah-langkah spektakuler tersebut berhasil secara maksimal. Apakah lantas inti masalah terpecahkan? Tidak sama sekali. Karena, persoalan akan azali sepanjang terjadi disparitas harga, yakni antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan harga keekonomian.

Tak seorang pun bisa melawan hukum pasar. Piuh (distortions) akan kian merajalela kalau harga yang ditetapkan pemerintah semakin jauh (lebih rendah) dari harga keekonomian. Pertama, peningkatan konsumsi akan tak terkendali karena harga relatif BBM di mata kunsumen sangat rendah. Peningkatan konsumsi ini sudah terjadi. Konsumen Indonesia tak peduli sekalipun harga minyak dunia meroket, karena harga yang mereka bayar di Indonesia bergeming. Maka, jadilah Indonesia sebagai negara yang tergolong paling boros di dunia dalam hal penggunaan energi. Begitukah cara kita mengelola sumber daya alam yang langka dan tak terbarukan?

Betapa tak bertanggung jawab kalau generasi sekarang menghamburkan minyak yang diproduksi dengan teknologi tinggi dan padat modal, yang disedot dari perut bumi berkilometer dalamnya, tetapi dihargai lebih murah dari air mineral yang sekedar “ditampung” dari mata air. Cadangan minyak akan makin cepat susut sehingga generasi mendatang tak bisa lagi menyicipi rezeki emas hitam. Selain itu, kita pun secara sadar menambah intensitas produksi racun ke udara, sehingga memperburuk pemanasan global dan menurunkan kualitas hidup.

Bagaimana dengan mitos bahwa kita merupakan negara produsen dan pengekspor minyak? Ternyata, dalam satu dasawarsa terakhir produksi minyak kita melorot terus, dari sekitar 1,5 juta barrel/hari pada tahun 1997 menjadi hanya 910 ribu barrel/hari pada tahun 2007. Karena tingkat konsumsi selalu naik, maka kita mengalami defisit yang bertambah besar. Keadaan semakin memprihatinkan karena kapasitas pengilangan minyak tak kunjung bertambah, sehingga defisit perdagangan BBM membubung. Pada tahun 2002 defisit perdagangan BBM baru 2 miliar dollar AS, lalu naik lebih dua kali lipat menjadi 4,2 miliar dollar AS, dan melonjak lebih tajam lagi menjadi 9,8 miliar dollar AS pada tahun 2007. Sekedar gambaran, ekspor dan impor BBM tahun 2007 masing-masing adalah adalah 2,9 miliar dollar AS dan 12,7 miliar dollar AS. Dengan demikian, sebetulnya BBM yang kita “hambur-hamburkan” itu makin banyak yang kita beli dari luar negeri.

Apakah pola konsumsi yang boros itu bisa ditoleransikan apabila kita dapat mukjizat mampu meningkatkan produksi, katakanlah, menjadi dua kali lipat, sehingga kembali menikmati surplus produksi dan menjadi mengekspor neto? Tentu saja, tidak. Karena, lebih baik sebagian besar peningkatan produksi kita jual pada harga internasional atau harga keekonomian, lantas dana yang kita peroleh puluhan triliun rupiah dialokasikan bagi pengentasan penduduk miskin dan belanja modal sehngga kita juga bisa mewariskannya kepada anak-cucu.

Pengalokasian dana untuk kegiatan-kegiatan produktif dan peningkatan akumulasi modal jauh lebih bermakna ketimbang untuk mempertahankan subsidi yang kian menggelebung. Apatah lagi mengingat bahwa sebagian besar subsidi dinikmati oleh kelompok berpendapatan menengah ke atas. Data versi pemerintah menunjukkan bahwa 20 persen penduduk terkaya menikmati 43 persen subsidi, sedangkan kelompok 20 persen penduduk termiskin hanya memperoleh 7 persen saja. Data yang tertera di dalam publikasi Bank Dunia terakhir lebih parah lagi: 10 persen terkaya menikmati sekitar 45 persen, sedangkan 10 persen termiskin hanya dapat sekitar satu persen saja.

Bukankah menaikkan harga BBM hanya akan menambah derita penduduk yang sudah miskin? Betul, jika pemerintah tak berbuat apa-apa terhadap mereka. Dilema yang muskil ini tak cuma dialami Indonesia. Di Kamboja, yang rata-rata penduduknya jauh lebih miskin dari Indonesia, harga premium 2,5 kali lebih mahal dari Indonesia. Di Timor Leste, yang ketika masih bergabung dengan Indonesia adalah propinsi termiskin, harga premium 1,8 kali dari Indonesia. Di kedua negara ini, kenaikan harga minyak dunia tak memicu demonstrasi, apalagi chaos. Kenapa kita harus berbeda sendiri dan terbelenggu oleh BBM? Pasti ada yang salah pada diri kita dan pasti telah terjadi salah urus.

Kita harus keluar dari pusaran masalah. Selama 30 tahun kita jadikan persoalan harga BBM sebagai “ritual tahunan”, yang ditandai dengan: sikap ragu pemerintah, demontrasi, pembahasan alot di DPR, kelangkaan pasokan, oplosan, penyelundupan, penimbunan, dan ekses-ekses lain yang kita buat sendiri.

Setiap penguasa berusaha menghindari risiko menaikkan harga BBM, dan sedapat mungkin mengalihkan risiko tersebut kepada penguasa berikutnya, kecuali kalau tak ada pilihan lain atau merupakan pilihan terakhir. Penundaan demi penundaan menyebabkan kos (cost) bagi perekonomian bertambah mahal dan kontraproduktif. Karena, ketika sudah terjepit, penyesuaian harga harus dilakukan secara drastik, sehingga perekonomian tak pernah sepi dari goncangan yang sebenarnya tak perlu terjadi.

Tak pernah ada rencana yang dilaksanakan dengan konsisten untuk mengakhiri rezim subsidi BBM, sehingga persoalan ini menjadi langgeng dan membelenggu diri kita sendiri. Apakah kita akan biarkan terus persoalan BBM menjadi duri di dalam daging perekonomian?

Kita sungguh sangat mendambakan kehadiran sosok negarawan yang mumpuni dalam memacu negeri ini untuk maju, bukan yang justru kerap menghambat kemajuan. Pemimpin yang mampu mengelola dan memobilisasikan seluruh sumber daya yang kita miliki secara efektif bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemerintahan yang senantiasa peka terhadap setiap ancaman yang menghadang rakyatnya serta menyiapkan dan mengoperasikan sekoci penyelamat apabila terjadi marabahaya yang tak lagi bisa terhindarkan.

Di sinilah inti persoalan yang tak kunjung disentuh pemerintah. Sangat kuat kesan bahwa daya dengus pemerintah tumpul dalam mengantisipasi persoalan. Segala upaya yang dilakukan untuk mengamankan kebijakan menaikkan harga BBM terkesan serba dadakan, seakan baru sekali ini terjadi. Dulu BLT, sekarang BLT. Sementara, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sudah diundangkan tak kunjung dihidangkan untuk disantap oleh warga miskin yang terhempas oleh mekanisme pasar bebas. Mengapa harus menunggu sampai batas akhir pemberlakuan efektif SJSN? Mengapa tak ada upaya mempercepat kehadirannya?

Kalau pengelolaan negara dengan cara seperti itu terus berlanjut, sebaik apa pun niatan dan segala tindakan pemerintah akan dipandang sebelah mata oleh rakyatnya. Kalau sudah begitu, sumber masalah terletak pada pemerintah sendiri. Jangan berharap pemerintah mampu menolong rakyat jikalau menolong diri sendiri saja tak mampu.


No comments: