Monday, May 19, 2008

Jangan Tunda Pencabutan Subsidi BBM

Oleh: Franz Magnis-Suseno

(Sebuah tulisan 3 tahun yang lalu yang pernah dimuat harian Kompas. Tulisan yang masih relevan untuk kondisi saat ini, untuk kita renungkan bersama)

MENAIKKAN harga BBM termasuk tindakan paling kritis di banyak negara, termasuk di negara ini. Bukan hanya BBM sendiri yang oleh sebagian masyarakat dibutuhkan setiap hari akan menjadi amat lebih mahal, melainkan biaya angkutan umum dan harga sembako akan ikut naik. Masyarakat akan menjerit.

Akan ada unjuk rasa. Bahkan mungkin akan pecah kerusuhan. Karena itu, pemerintah suka menunda-nunda tindakan yang sebenarnya diketahui tidak dapat dihindari. Dalam situasi ini, perbedaan antara populisme murahan dan tanggung jawab moral, antara suara-suara kebapakan dan kepemimpinan yang sebenarnya, akan kentara. Keberanian untuk mengambil tindakan tidak populer merupakan bukti kualitas seorang pemimpin.

Dalam tulisan ini, saya ingin mengajukan pendapat bahwa justru sesudah malapetaka tsunami, subsidi bahan bakar minyak (BBM) perlu dicabut dengan berani. TETAPI, beberapa waktu lalu Kwik Kian Gie menyangkal bahwa subsidi BBM perlu dinaikkan. Argumen utama Kwik adalah bahwa tidak benar negara sekarang menyubsidi harga BBM. Menurut Kwik-dan saya percaya bahwa ia mengetahuinya-biaya memproduksi BBM hingga sampai ke tempat penjualan akhir sekarang pun masih tetap di bawah harga penjualan.

Jadi, Pertamina tidak rugi dan tidak perlu disubsidi untuk menawarkan harga-harga yang sekarang. Kita baru boleh bicara tentang subsidi apabila bagi Pertamina lebih menguntungkan tidak menjual bensin di pompa-pompanya. Istilah "subsidi" memang sebuah "penipuan politik halus". Yang sebenarnya dimaksudkannya adalah bahwa negara tidak menarik keuntungan maksimal dari produksi minyak dalam negeri yang mungkin dipengaruhi kondisi-kondisi pasar global.

Namun, inilah argumentasi inti Kwik mengingat kekayaan Bumi harus demi sebesar-besarnya kemaslahatan masyarakat, seharusnya negara jangan mendahulukan maksimalisasi keuntungan finansial terhadap penyediaan BBM dengan harga terjangkau. BENARKAH argumentasi itu?

Satu pertanyaan pendahuluan: Bukankah kita sejak beberapa waktu sudah menjadi net-importer produk minyak bumi dan produksi kita malah terus menurun? Berapa persen dari BBM yang dijual di Indonesia masih tidak terpengaruh harga di pasar internasional? Bahwa produksi minyak bumi kita terus menurun-dari pernah 1,5 juta barrel menjadi 900.000 barrel per hari sekarang-amat mengkhawatirkan. Sebab, bukan pertama-tama bahwa minyak kita sudah pasti tidak ada, melainkan bahwa penanaman modal di bidang perminyakan dan, lebih gawat lagi, dalam eksplorasi sejak lama dilalaikan.

Sebagai orang awam di bidang ekonomi maupun perminyakan, saya hanya dapat bertanya: Apakah kecenderungan ini dapat dibalik selama produk minyak bumi dijual dengan harga yang, menurut ukuran internasional, murah secara menggelikan? NAMUN, andaikata pun kita tidak perlu mengimpor minyak sama sekali: Harga minyak murah merangsang sikap boros yang tidak bertanggung jawab sama sekali.

Mengapa minyak bumi tidak boleh diboroskan? Pertama karena minyak bumi terlalu bernilai (karena diperlukan sebagai bahan dasar pelbagai produk industrial) daripada untuk dibakar!

Kedua, karena kalau bensin dan sebagainya murah, industri tidak akan mengembangkan produk hemat energi maupun energi bukan fosil ("mobil tiga liter" [per 100 km] yang sudah mungkin hanya tidak diproduksi karena bensin begitu murah!).

Ketiga, karena dengan menghemat penghabisan minyak bumi, minyak bumi akan tahan beberapa puluh tahun lebih lama yang perlu untuk mengembangkan alternatif- alternatif. Pendek kata, tanggung jawab atas masa depan umat manusia, termasuk bangsa Indonesia, menuntut agar bensin segala macam dijual dengan semahal mungkin. Masak manusia membakar habis dalam waktu 200 tahun apa yang pembentukannya memerlukan ratusan juta tahun! AKAN tetapi, bagaimana halnya masyarakat ekonomi lemah yang jelas akan merasakan dampak kenaikan harga BBM?

Bulan lalu saya bertanya langsung kepada sekelompok masyarakat yang berkumpul berkat jasa Urban Poor Consortium, Mbak Wardah Hafidz, apa yang akan mereka pilih: Mempertahankan harga BBM tanpa perubahan lain atau harga BBM dinaikkan tajam, tetapi anak-anak mereka bisa ke sekolah dasar tanpa dipungut biaya apa pun? Mereka menyatakan akan memilih yang kedua.

Masyarakat akan mengatasi kenaikan harga BBM jika Rp 70 triliun yang sekarang diboroskan dipakai secara terarah untuk memperbaiki struktur-struktur sosialnya. Pertama, untuk menjamin bahwa segenap anak Indonesia dapat mengikuti pendidikan dasar selama sembilan tahun tanpa dipungut biaya apa pun.

Kedua, untuk membiayai sebagian besar fundamental asuransi kesehatan dasar wajib yang memungkinkan setiap warga negara mengakses pelayanan kesehatan biasa dengan biaya terjangkau. Belum adanya asuransi kesehatan dasar wajib bagi sebagian besar masyarakat merupakan kebrutalan sosial paling gawat yang diderita masyarakat ekonomi lemah di negara kita.

Katanya pembangunan kembali Aceh/Nias dan lain-lain akan membutuhkan biaya Rp 30 triliun. Ini kurang dari setengah dari Rp 70 triliun yang diboroskan sekarang! Namun, kiranya lebih baik biaya pembangunan kembali daerah-daerah tsunami diambil dari dana-dana khusus yang akan dimobilisasikan. Pilihan harga BBM mahal bersifat struktural, maka manfaatnya harus struktural juga.

Semoga Presiden dan DPR menunjukkan keberanian moral mengambil tanpa ragu keputusan yang jelas tidak populer, tetapi mereka ketahui tak bisa ditunda selamanya karena akan memungkinkan kita mengatasi beberapa kekerasan sosial paling gawat yang sampai sekarang dialami masyarakat.

Franz Magnis-Suseno SJ Rohaniwan,
Direktur Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta

No comments: