Monday, May 19, 2008

Apakah Harga BBM Subsidi Harus Naik?




Oleh: Purbaya Yudhi Sadewa
(Analisis Danareksa tentang Subsidi BBM pernah dimuat Kompas.)
Harga minyak dunia yang tinggi telah menekan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2008 kita. Untuk menghilangkan tekanan terhadap APBN 2008 itu pemerintah berencana akan menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi. Apakah ini keputusan yang terbaik?

Kekhawatiran terhadap keadaan APBN kita cukup beralasan. APBN 2008 memiliki asumsi harga minyak 95 dollar AS per barrel, sedangkan harga minyak dunia saat ini di atas 110 dollar AS per barrel.

Sebenarnya, keadaan APBN kita tidaklah terlalu buruk. Perlu dikemukakan di sini bahwa harga minyak acuan APBN kita adalah harga minyak Indonesian Crude Price (ICP), yang cenderung berada di bawah harga minyak WTI (West Texas Intermediate), yaitu rata-rata lebih rendah sekitar 5 dollar AS per barrel.

Pada 21 April 2008, misalnya, ketika harga minyak WTI berada pada level 117,5 dollar AS per barrel, harga ICP berada pada leve1 107,0 dollar AS per barrel. Harga minyak OPEC pun tidak terlalu jauh dari level harga minyak ICP ketika itu.

Selain itu, harga rata-rata minyak ICP pada 2008 sampai 21 April baru 95,7 dollar AS per barrel, tidak terlalu banyak berbeda dengan asumsi APBN yang sebesar 95 dollar AS per barrel.
Harga rata-rata minyak OPEC bahkan baru mencapai 93,8 dollar AS per barrel. Jadi, walaupun agak tertekan, sebenarnya keadaan APBN kita jika dilihat dari sisi asumsi harga minyak bumi tidaklah terlalu buruk.

Namun, banyak kalangan yang kurang menyadari keadaan di atas. Akibatnya, media, ekonom, analis pasar modal, pengusaha, dan investor beramai-ramai menyimpulkan, APBN kita tidak akan berkesinambungan karena subsidi membengkak bila tanpa kenaikan harga BBM.

IHSG sulit naik
Berkurangnya kepercayaan terhadap APBN kita menyebabkan indeks harga saham gabungan (IHSG) sulit untuk mengalami kenaikan. Memang, pada Maret 2008 kekhawatiran terjadi resesi di AS telah menekan pasar saham dunia. Namun, pada April tekanan faktor global sudah hilang sepenuhnya. Hal ini terlihat pada pergerakan indeks harga saham SET (Thailand) dan KOSPI (Korea). Namun, IHSG masih belum mengalami kenaikan yang berarti.
Dampak negatif juga terlihat pada pasar obligasi. Harga obligasi pemerintah terus mengalami tekanan. Artinya, imbal hasilnya mengalami kenaikan karena pergerakan imbal hasil berbanding terbalik dengan pergerakan harga.

Imbal hasil rata-rata obligasi pemerintah mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari sekitar 9,7 persen pada Januari menjadi sekitar 11,3 persen pada Maret, dan bahkan sempat naik ke level yang lebih tinggi lagi pada bulan April. Dalam keadaan yang demikian, ongkos penerbitan surat utang baru menjadi lebih mahal daripada sebelumnya.

Oleh karena itu, jatuhnya kepercayaan terhadap kesinambungan APBN perlu dipulihkan secepatnya. Bila tidak, sentimen di pasar akan semakin negatif. Hal ini bila dibiarkan terus dapat memicu terjadinya pembalikan arus modal ke luar negeri secara besar-besaran.

Bila ini terjadi, pasar saham dan pasar obligasi akan terkoreksi dengan amat tajam. Rupiah pun akan tertekan secara amat signifikan. Dan, BI mungkin terpaksa harus menaikkan suku bunga dengan tajam untuk mencegah pelemahan rupiah yang berlebihan.

Dalam keadaan demikian, sulit bagi pemerintah untuk menerbitkan surat utang. Akibatnya, pembiayaan defisit APBN dari penerbitan surat utang menjadi tidak dapat dipenuhi.
Artinya, kegagalan memulihkan kepercayaan terhadap APBN dapat mengganggu kestabilan sistem finansial secara keseluruhan. Prospek perekonomian pun menjadi suram mengingat kenaikan suku bunga yang tajam dapat mengganggu kesinambungan ekspansi ekonomi yang sedang terjadi.

Simulasi kenaikan
Untuk memulihkan kepercayaan terhadap kesinambungan APBN, rasanya pemerintah memang terpaksa harus menaikkan harga BBM. Lalu, berapa dan kapan kenaikan tersebut harus diimplementasikan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Danareksa Research Institute melakukan simulasi dengan tiga skenario.

Dalam skenario pertama diasumsikan harga minyak ICP pada periode Mei sampai Desember 2008 bertahan pada level 105 dollar AS per barrel. Skenario kedua mengasumsikan harga minyak ICP pada level 115 dollar AS per barrel, sedangkan WTI pada kisaran 120 dollar AS per barrel. Dan pada skenario yang ketiga ICP diasumsikan berada pada level 125 dollar AS per barrel.

Misalnya, untuk skenario kedua, pemerintah harus menyediakan subsidi tambahan sebesar Rp 29,8 triliun. Tabel 2 memperlihatkan kenaikan harga BBM yang harus dikenakan agar subsidi BBM di APBN tidak naik (kelebihan harga di atas 100 dollar AS per barrel dibebankan ke masyarakat).

Untuk skenario dua, bila kenaikan dilakukan pada Mei, harga BBM rata-rata (premium, solar, dan minyak tanah) harus dinaikkan sebesar 38,8 persen. Bila kenaikan dilakukan pada Juni, rata-rata kenaikan harga BBM sekitar 44,2 persen dan 51,5 persen untuk kenaikan pada bulan Juli.

Hasil simulasi ini juga menunjukkan bahwa besarnya kenaikan harga juga tergantung dari waktu kenaikan. Penundaan kenaikan dari bulan Mei ke Juli, misalnya, akan menyebabkan kenaikan tambahan sebesar 12,7 persen (untuk skenario dua). Jadi, semakin cepat harga BBM dinaikkan, semakin kecil tingkat kenaikannya.

Tepat waktu
Lalu, apakah rencana kenaikan BBM yang telah diberitakan (kenaikan pada bulan Juni dengan rata-rata kenaikan sebesar 28,5 persen) sudah tepat?

Dari sisi waktu tampaknya memang demikian walaupun sebenarnya kenaikan pada bulan Mei akan lebih baik. Mungkin, pemerintah perlu waktu untuk sosialisasi kenaikan ini, termasuk sosialisasi dengan DPR.

Di samping itu, diperlukan juga waktu untuk mempersiapkan program bantuan untuk masyarakat bawah yang paling terpukul oleh kenaikan harga BBM.

Dari sisi besaran pun rasanya cukup sesuai. Tampaknya pemerintah mengambil asumsi harga minyak ICP bertahan pada level 110 dollar AS per barrel dan WTI sekitar 115 dollar AS per barrel sampai akhir tahun.
Melihat perkembangan harga minyak dunia saat ini, angka ini rasanya cukup dapat diterima. Asumsi yang diambil pemerintah berada antara skenario satu dan skenario dua dalam simulasi yang telah disebutkan di atas.

Nilai rata-rata sederhana kenaikan harga BBM dari kedua skenario itu untuk kenaikan bulan Juni tidaklah terlalu jauh dengan besarnya kenaikan yang direncanakan oleh pemerintah.
Kenaikan yang hampir mendekati 30 persen ini rasanya tidak akan mengurangi daya beli secara signifikan.

Kenaikan ini diperkirakan akan memberikan inflasi tambahan sebesar 2 persen. Jadi, dengan laju inflasi saat ini yang berada pada level sekitar 9 persen, laju inflasi pada Juni akan meningkat ke sekitar 11 persen.

Suku bunga mungkin akan naik. Namun, rasanya kenaikan BI Rate yang dibutuhkan tidaklah terlalu besar. Diperkirakan BI Rate dapat naik 50-100 basis poin sepanjang tahun ini.
Dengan demikian, BI Rate dapat naik ke sekitar 9 persen. Level ini diperkirakan tidak akan terlalu mengganggu pertumbuhan ekonomi.

Pengalaman selama ini menunjukkan, selama BI Rate berada di bawah 9,5 persen, ekonomi masih dapat berekspansi dengan baik. Hal yang perlu diwaspadai justru adalah dampak negatif terhadap masyarakat bawah. Mereka sudah terpukul oleh kenaikan harga pangan akhir-akhir ini. Karena itu, pemerintah harus mengimplementasikan program bantuan langsung tunai atau jaring pengaman sosial lainnya dengan sungguh-sungguh.

Kegagalan menyiapkan dan merealisasikan jaring pengaman sosial akan dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Jadi, walaupun berat, untuk memulihkan kepercayaan terhadap APBN tampaknya pemerintah terpaksa harus menaikkan harga BBM.
Purbaya Yudhi Sadewa
(Chief Economist Danareksa Research Institute)

No comments: