Thursday, September 20, 2007

Resume Survei Minyak Tanah Di DKI Jaya April 2005

Survei Dilakukan oleh BBMWATCH Research Indonesia


PERANG TERHADAP KEJAHATAN MINYAK TANAH

Ada sejumlah point penting yang bisa dikemukakan dari hasil pemantauan dan survei minyak tanah rakyat di wilayah DKI Jaya yang meliputi 120 pangkalan yang dipilih secara random pada bulan April – Mei yang lalu, berikut adalah ulasannya.

Keamanan Pasokan Minyak Tanah Di Tingkat Pangkalan
Secara umum dari kegiatan pemantauan di lapangan Indikasi kasus kelangkaan minyak tanah di tingkat pangkalan masih relatif kecil. Indikasi kelangkaan yang ditunjukkan dengan adanya antrian masyarakat sangat kecil di 12 (dua belas) wilayah pengamatan pada 120 (seratus dua puluh) pangkalan.

Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan, didapati 84% pangkalan minyak tanah tidak mengalami antrian. Sedangkan sekitar 16% lainnya justru mengalami antrian pembeli minyak Tanah dimana kadar antrian terbagi atas 8% tingkat antrian relatif panjang, sedangkan 9% pangkalan lainnya juga mengalami antrian yang relatif tidak terlalu panjang. Adanya antrian memang tidak mengindikasikan adanya kelangkaan. Namun, adanya antrian menunjukkan bahwa tingkat permintaan yang semakin tinggi namun jika tidak didukung dengan jaminan keamanan pasokan dari Pertamina, akan berdampak pada kondisi krisis, kritis, bahkan kelangkaan.

Keamanan Pasokan Minyak Tanah Dari Sisi Kelurahan

Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan, 84% pihak kelurahan tempat pangkalan minyak tanah berdomisili menyatakan wilayahnya tidak mengalami antrian masyarakat membeli minyak tanah. Hanya sekitar 10% saja dari Kelurahan yang dipantau menyatakan bahwa di daerahnya terkadang mengalami kekurangan minyak tanah yang ditunjukkan dengan adanya antrian warga membeli minyak Tanah.


Pelanggaran
Selain melakukan pemantauan dan survei terhadap pangkalan minyak Tanah, tim juga menemukan beberapa kegiatan yang secara tidak langsung terkait dengan pangkalan atau kelurahan yang dipantau. Hasil dari temuan-temuan ini, khususnya yang terkait dengan pelanggaran terhadap UU No. 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi hendaknya dapat ditindaklanjuti oleh pihak terkait sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Secara umum jenis pelanggaran yang berhasil dipantau dapat dibagi dalam 3 (tiga) kategori yaitu:
(1) Pelanggaran terhadap UU No. 22 Tahun 2001.
(2) Pelanggaran terhadap Peraturan Pertamina UPMS III.
(3) Pelanggaran yang tidak termasuk (1) dan (2) namun berpotensi untuk menyalahgunakan peruntukan minyak Tanah bersubsidi.

Pelanggaran terhadap UU No. 22 Tahun 2001
Dalam kegiatan yang dilakukan diperoleh 5 (lima) potensi kasus besar yang diindikasikan bertentangan dengan UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, meliputi:

Penjualan BBM bersubsidi (minyak tanah rumah tangga) kepada sektor lain yang bukan peruntukannya (industri besar).
Tim pemantauan dan survei wilayah Kebayoran Lama menemukan sebuah pangkalan yang diindikasikan menjual minyak tanahnya ke sektor industri dengan menggunakan drum-drum. Hingga kini Tim terus mengembangkan aspek investigasi untuk mengetahui kebenaran dari laporan relawan yang ada di lapangan.

Menurut laporan yang diperoleh dari pihak-pihak terkait di wilayah tersebut, pangkalan tersebut sering kali menjual sebagian minyak tanahnya untuk keperluan bahan bakar perusahaan roti (Holland Bakery) dan usaha laundry yang semestinya memang tidak diperbolehkan membeli minyak Tanah rumah tangga dan usaha kecil.

Penampungan BBM bersubsidi (minyak tanah rumah tangga) untuk kemudian disalurkan ke sektor lain yang bukan peruntukannya.
Tim pemantauan wilayah Pulogadung menemukan sebuah lokasi/ tempat yang bertindak sebagai tempat penampungan/ penadah minyak tanah bersubsidi yang dibeli melalui pangkalan-pangkalan resmi. Umumnya minyak Tanah yang dibeli diangkut menggunakan gerobak-gerobak dorong untuk kemudian disalurkan ke sektor-sektor yang bukan peruntukannya.

Pangkalan Resmi Dengan Agen Dari Koperasi TNI, Kegiatan Penyalurannya Tidak Jelas.
Tim pemantauan dan survei wilayah Duren Sawit menemukan sebuah lokasi/ tempat yang dalam daftar alamat yang diberikan oleh Pertamina diidentifkasikan sebagai pangkalan resmi. Setelah didatangi oleh relawan ternyata pangkalan yang agen minyak tanahnya berasal dari Koperasi TNI tersebut tidak menunjukkan aktivitas pendistribusian minyak tanah ke masyarakat sekitar (sering kali tutup), padahal alokasi yang diberikan oleh Pertamina sangat besar mencapai 125 KL/ bulan (rata-rata 1 tangki/ hari).

Ketika tim mencoba untuk masuk, pagar lokasi pangkalan dikunci. Menurut Ketua RT setempat, semenjak berdiri (tiga) tahun yang lalu, pangkalan tersebut tidak pernah terlihat melakukan aktivitas sebagaimana layaknya sebuah pangkalan minyak Tanah. Dengan alokasi dari Pertamina mencapai 125 KL per bulan serta asumsi subsidi minyak tanah Rp. 2000 per liter, maka selama 3 (tiga) tahun negara berpotensi dirugikan mencapai Rp. 9 Miliar.

Penjualan minyak tanah tanpa izin dan penyalurannya tidak jelas serta diduga melibatkan oknum di Pertamina.
Tim pemantauan dan survei wilayah Ciracas menemukan sebuah lokasi/ tempat yang berpotensi untuk diidentifikasi sebagai pangkalan ilegal (tidak ada dalam data alamat yang diberikan Pertamina). Menurut beberapa pihak sekitar pangkalan yang ditanyai oleh relawan, pangkalan tersebut merupakan milik orang yang bekerja di Pertamina.

Hingga kini Tim terus mengembangkan aspek investigasi untuk mengetahui kebenaran dari laporan relawan yang ada di lapangan ini.

Pangkalan minyak tanah yang memperoleh minyak Tanah langsung dari dropping pihak “Pertamina”.
Tim pemantauan dan survei wilayah Senen-Gambir menemukan sebuah pangkalan minyak Tanah yang terdata sebagai pangkalan resmi namun setelah ditanyakan siapa agennya, pihak pangkalan mengatakan bahwa minyak tanahnya mendapat dropping langsung dari pihak “Pertamina” atas nama (inisial) HT.

Menurut pemilik pangkalan, semenjak agen yang lama bermasalah, maka pengisian dilakukan langsung oleh “pihak Pertamina”. Kondisi ini sebenarnya tidak sesuai dengan tata niaga yang berlaku. Lebih lanjut, jika kemudian terbukti bahwa pihak pertamina yang dimaksud merupakan personal di pertamina dan tidak memiliki izin resmi sebagai agen minyak Tanah, maka jelas kegiatan ini melanggar UU No 22 tahun 2001 tentang usaha pengangkutan tanpa izin semestinya. Hingga kini Tim terus mengembangkan aspek investigasi untuk mengetahui kebenaran dari laporan relawan yang ada di lapangan ini.

Pelanggaran Terhadap Peraturan Pertamina UPMS III

Dalam kegiatan yang dilakukan sepanjang 10 (sepuluh) hari efektif kerja dari tanggal 1 April 2005 hingga 12 April 2005 diperoleh 5 (lima) jenis potensi pelanggaran terhadap peraturan atau ketentuan yang telah ditetapkan Pertamina UPMS III yang dapat mengakibatkan terjadinya beberapa kondisi seperti lonjakan harga jual, terhambatnya pasokan minyak tanah, hingga dampak penghambur-hamburan uang subsidi minyak tanah karena tidak tepat sasaran. Berikut diantaranya :

1. Menjual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) sesuai dengan SK Gubernur DKI Jakarta Rp. 885/ liter.
Dari pantauan yang dilakukan tim ternyata masih sangat banyak pangkalan resmi (46% pangkalan yang dipantau) menjual minyak tanah diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah dan Pertamina. Beberapa pangkalan bahkan menjual jauh diatas toleransi yang telah disepakati (Rp. 900/ liter).

Dari 12 Wilayah pemantauan, semua wilayah menjual diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan. Beberapa wilayah kecuali Kelapa Gading, Palmerah, Duren Sawit, Kembangan, dan Tanjung Priok, semuanya secara rata-rata menjual diatas Rp. 900/ liter. Wilayah yang paling banyak pelanggaran HET adalah Kramat Jati, Senen dan Jagakarsa dimana rata-rata HET bisa mencapai diatas Rp 950/ liter.
Data ini sebenarnya menunjukkan bahwa pihak Agen yang tentunya diketahui oleh Pertamina tidak berhasil mengontrol para pangkalan untuk menjual dengan HET yang sesuai dengan ketentuan.
Ditemui juga sebuah pola dimana para pangkalan yang menjual dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) umumnya hanya memberlakukan harga ini untuk para gerobak dorong. Sedangkan untuk sektor rumah tangga yang membeli langsung di pangkalan ditetapkan harga diatas HET dengan argumen para pangkalan agar gerobak dorong bisa bersaing dalam hal harga jual.

Dari seluruh pangkalan minyak Tanah yang dipantau, ada 18 pangkalan minyak tanah (15,12%) yang menjual diatas kewajaran yaitu menjual diatas harga Rp. 1.000/ liter. Sedangkan yang menjual diantara Rp. 900-1.000 per liter relatif sedikit sekitar 5 pangkalan (4,2%). Sedangkan yang menjual di kisaran Rp. 900/ liter berjumlah 32 pangkalan (26,89%).

Sedangkan yang menjual dengan harga HET mencapai 64 pangkalan atau sekitar 53,78% dari pangkalan yang dipantau selama tim bekerja. Fakta menarik lain di lapangan, ternyata pada beberapa pangkalan terjadi penyesuaian harga seperti pada saat pemantauan dilakukan. Jadi, bisa jadi pangkalan-pangkalan yang pada saat dipantau menjual dengan HET resmi, namun sebenarnya mereka menjual diatas HET sebelum pemantauan dilakukan. Fakta pendukungnya adalah adanya kenaikan harga jual di tingkat pengecer dibandingkan periode sebelum kenaikan harga BBM.

2. Agen Menjual di atas Harga Resmi sesuai dengan Komposisi HET dalam SK Gubernur DKI Jakarta Untuk Radius 40 km.
Tim menganalisis salah satu penyebab para pangkalan tidak bersedia menjual dengan harga HET adalah dikarenakan harga jual dari Agen ke pangkalan sudah naik dan tidak standar.

Secara umum memang harga beli dari Agen masih berkisar Rp. 4.075.000. Namun cukup banyak ditemukan harga jual ditingkat agen ke pangkalan yang diatas besaran resmi tersebut bahkan bisa sampai dengan Rp. 4.175.000 per tangki minyak tanah.

Dengan kondisi ini maka semestinya pihak Pertamina dapat mempertanyakan perbedaan harga ini kepada pihak Agen mengingat semuanya masih dalam radius Depo-Pangkalan sejauh 40 KM.

3. Menjual langsung lebih dari 80% (delapan puluh persen) minyak tanah yang dikirim ke sektor non rumah tangga.
Hampir sebagian besar Pangkalan yang dipantau (> 70%) tidak mematuhi aturan Pertamina bahwa pangkalan harus menjual langsung minimal 20% (dua puluh persen) minyak tanah yang dikirim Agen ke sektor rumah tangga seperti yang ditetapkan Pertamina UPMS III.

Sebagian besar pangkalan hanya menjual kurang dari 30 liter minyak tanah yang dikirim atau sekitar 0,6% dari setiap 5.000 liter minyak tanah yang dikirim ke pangkalan. Sisanya dijual ke gerobak dorong.

Kondisi ini sengaja diciptakan para pangkalan dengan menjual minyak tanah dengan harga relatif sama dengan harga jual gerobak dorong ke masyarakat sehingga pada akhirnya rumah tangga lebih suka membeli di pengecer dengan alasan harga beli sama dengan membeli langsung ke pangkalan. Disamping itu dengan kondisi ini para pangkalan yang juga selaku pemilik gerobak dorong akan mendapatkan margin yang lebih besar lagi dibandingkan daripada hanya menjual melalui pangkalan dengan harga eceran tertinggi.

4. Tidak menempelkan papan pangkalan sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Pertamina.
Masih didapati pangkalan-pangkalan yang tidak memasang papan pangkalan. Padahal sesuai dengan fungsinya papan pangkalan merupakan media informasi (aspek legalitas & informasi pangkalan) yang sangat diperlukan. Namun jumlahnya sangat sedikit hanya sekitar 5 (lima) pangkalan saja, dengan alasan yang beragam mulai dari masih dibuat, hilang, dsb.

Permasalahan utama dalam papan pangkalan adalah :
(1) Sebagian besar pangkalan yang telah memasang papan pangkalan juga umumnya tidak memasangnya di depan pangkalan. Masih banyak ditemukan pangkalan dipasang di tempat yang tersembunyi.
(2) Tidak ada standarisasi dalam papan pangkalan sehingga terkesan “apa adanya”. Baik dari substansi isi dari papan pangkalan masupun dari sisi tampilan yang ala kadarya sehingga cenderung semakin menunjukkan kesan kotor dan jorok pada pangkalan minyak tanah.

5. Sopir agen yang meminta uang curah/ uang cor kepada pangkalan minyak tanah yang diisi.
Dari survei yang dilakukan terhadap para pemilik/ pengelolah pangkalan masih cukup banyak ditemukan adanya pungutan sopir tangki dalam bentuk uang.

Kondisi ini umumnya sering disebut sebagai uang cor/ uang curah. Nilainya pun bervariasi mulai dari Rp. 25.000 – Rp. 100.000 untuk setiap kali pengantaran. Kondisi ini semestinya tidak perlu terjadi jika para sopir tangki benar-benar mendapatkan gaji yang layak sesuai dengan pekerjaannya.

Menurut pihak pangkalan implikasi jika para sopir tidak diberi uang cor/ curah maka dapat berakibat pada kurangnya volume minyak tanah yang dikirim. Alasan lain misalnya lebih sebagai bentuk perhatian pada para sopir agar memprioritaskan jadwal pengiriman kepada pangkalan yang bersangkutan.

Sedangkan dari sisi sopir tangki mengatakan bahwa mereka terpaksa melakukan hal ini karena mereka juga mengalami pungutan-pungutan di Depo Plumpang oleh oknum di sana.

6. Adanya Indikasi Pangkalan Fiktif (setelah dicek dengan data alamat pangkalan dari Pertamina, ternyata pangkalan tidak ada).
Antara data alamat pangkalan yang diberikan Pertamina dengan kenyataan di lapangan ternyata seringkali berbeda. Pada saat pemantauan di lakukan cukup banyak ditemui pangkalan-pangkalan yang alamatnya salah bahkan tidak ada.

Tidak tertatanya dengan baik “Database Alamat & Alokasi Agen-Pangkalan” milik Pertamina UPMS III bisa jadi salah satu penyebabnya. Untuk hal ini, Tim terpaksa meminta data yang lebih lengkap dan terstruktur dari DPP Hiswana Migas. Namun seperti halnya data pertamina, masih ditemui kejanggalan dimana ditemukan pangkalan-pangkalan yang alamatnya justru tidak ada ketika dicek di lapangan.

Dengan kondisi ini, maka terbuka peluang adanya potensi pangkalan fiktif karena hanya terdaftar di atas kertas, namun setelah dicek di lapangan pangkalan tersebut justru tidak ada atau tidak dikenal oleh masyarakat sekitar alamat terdaftar.

7. Pangkalan menjual dengan menggunakan kendaraan roda empat dan menggunakan jerigen atau drum (pangkalan mobile).
Ada Pangkalan yang menjual/ mengecerkan minyak tanah dengan modus menggunakan kendaraan roda empat untuk kemudian dibawa ke wilayah diluar kelurahan pangkalan tersebut berdomisili.

Pelanggaran Yang Belum Terdefinisikan (Tidak termasuk pelanggaran terhadap UU No 22 tahun 2001 dan ketentuan UPMS III Pertamina).

Berikut ini beberapa kegiatan yang menurut Tim Analisis berpotensi untuk masuk kategori pelanggaran meski tidak diatur secara eksplisit (tersurat) tercantum dalam ketentuan yang ditetapkan UPMS III Pertamina namun berpotensi untuk mengakibatkan pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi karena dapat mengakibatkan terjadinyan penyalahgunaan peruntukan minyak Tanah bersubsidi.

Dalam kegiatan yang dilakukan sepanjang 10 (sepuluh) hari efektif kerja dari tanggal 1 April 2005 hingga 12 April 2005 diperoleh 8 (delapan) jenis potensi pelanggaran yang belum terdefinisikan, meliputi:

1. Alokasi minyak tanah untuk pangkalan (dari Agen dan diketahui Pertamina) berlebihan diatas ≥ 80 Kilo Liter (KL) per bulan.
Dari 12 wilayah pengamatan yang terdiri dari 120 pangkalan pengamatan ditemukan indikasi adanya sejumlah pangkalan yang alokasi minyak tanah dari Agen (diketahui pihak Pertamina) mencapai ≥ 60 Kilo Liter (KL) per bulan (sekitar 3 tangki minyak Tanah per minggu).

Dari 12 wilayah pemantauan, ada 8 wilayah (66,66%) yang alokasi per bulannya mencapai ≥ 60 Kilo Liter (KL) per bulan. Dari 8 wilayah pemantauan tersebut 4 wilayah memiliki alokasi pengiriman diatas ≥ 70 Kilo Liter (KL) per bulan.

Dari total seluruh pangkalan minyak Tanah yang dipantau, ada 73 pangkalan minyak tanah (62%) yang alokasi per bulannya mencapai ≥ 60 Kilo Liter (KL) per bulan. 38% (tiga puluh persen) pangkalan minyak Tanah mendapat alokasi minyak tanah ≥ 80.000 Liter per Bulan (≥ 4 tangki per minggu). 25% (dua puluh persen) pangkalan minyak Tanah mendapat alokasi ≥ 100.000 Liter per bulan (≥ 5 tangki per minggu).

Alokasi tertinggi mencapai 160.000 Liter per Bulan (dalam satu hari ada yang dua kali pengiriman). Sedangkan alokasi rata-Rata mencapai 67.000 Liter per bulan (3 tangki per minggu). Alokasi terendah mencapai 5.000 liter per bulan (1 tangki per bulan)

Besarnya alokasi yang diberikan secara berlebihan jelas menimbulkan peluang untuk penyalahgunaan peruntukan karena kebutuhan minyak tanah suatu wilayah tidak sebesar alokasi pangkalan. Para pangkalan akan semakin terdorong untuk menghabiskan minyak tanah meski dengan jalan yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Kondisi ini tentunya disetujui oleh pihak Agen yang pastinya diketahui oleh Pertamina. Hal ini semakin menunjukkan bahwa antara pihak agen dan Pertamina tidak dapat mengatur alokasi distribusi minyak tanah secara proporsional dan wajar. Bahkan di beberapa pangkalan yang menjadi pemantauan dan survei ada indikasi bahwa pangkalan-pangkalan dengan alokasi yang sangat besar umumnya terafiliasi dengan pihak agen bahkan bukan tidak mungkin jika ditelusuri lebih jauh melibatkan oknum orang dalam di Pertamina.
Kedepan sebaiknya dikembangkan penyelidikan secara lebih mendalam pada pangkalan-pangkalan dengan alokasi minyak tanah diatas 60 Kilo Liter per bulan yang berpotensi untuk adanya indikasi penyaluran pada sektor yang bukan peruntukkannya serta berindikasi melibatkan pihak-pihak terkait seperti Agen dan Pertamina.

Dari penelusuran terhadap wilayah berdasarkan kondisi dan situasi kelurahan diperoleh banyak potret bahwa pada daerah yang kumuh alokasi minyak tanahnya relatif kecil, sedangkan pada daerah yang di sekelilingnya banyak terdapat industri atau di sekitar perairan alokasi minyak tanahnya sangat besar.

2. Jarak lokasi antar pangkalan yang satu dengan yang lain (dalam kelurahan yang sama) sangat berdekatan.
Dalam lokasi-lokasi yang sangat berdekatan terdapat sejumlah pangkalan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu. Misalnya dalam pemantauan ditemukan 2 pangkalan yang berada dalam lokasi yang berdekatan, berdampingan, bahkan berada dalam satu lokasi.

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan titik koordinat lokasi, dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) yang dianlisis menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) maka diperoleh hasil-hasil sebagai berikut:

(1) Jarak terjauh antar dua pangkalan terdekat adalah 1,5 km.
(2) Jarak rata-rata antar dua pangkalan minyak tanah terdekat adalah sekitar 100 meter.
(3) Jarak terdekat antar dua pangkalan minyak Tanah adalah 3,4 meter.


3. Antara pemilik Pangkalan dan Agen masih terdapat hubungan keluarga atau kerabat (terafiliasi).
Meski belum bisa dibuktikan secara tertulis, namun berdasarkan informasi yang didapatkan Tim dari para pengelola pangkalan, telah ditemukan adanya indikasi bahwa di beberapa wilayah telah terjadi konglomerasi usaha minyak Tanah.

Konglomerasi ini ada dalam bentuk adanya bentuk hubungan kepemilikian antara Agen Minyak Tanah dengan Pangkalan Minyak Tanah. Ditemukan beberapa pangkalan yang memilki alokasi besar di Wilayah Tanjung Priok ternyata masih ada hubungan keluarga sedarah dengan pemilik Agen Minyak Tanah. Bahkan dari pemantauan tim terlihat bahwa alamat antara agen dan pangkalan ada di satu lokasi.

Lebih jauh lagi telah terjadi konglomerasi niaga minyak Tanah hingga ketingkat pengecer (gerobak dorong) yang kenyataanya masih dimiliki oleh pangkalan-pangkalan yang masih ada hubungan dengan Agen-Agen Minyak Tanah tadi. Banyak ditemui pangkalan-pangkalan yang mempekerjakan para gerobak dorong.

4. Keterlambatan & Pembatalan pengiriman minyak ke pangkalan.
Dari pengaduan pihak pangkalan, diperoleh juga pengakuan bahwa para agen masih ada yang relatif sering terlambat dalam melakukan pengiriman ke pangkalan. Dalam situasi ketika tingkat permintaan masyarakat terhadap minyak tanah makin tinggi, maka keterlambatan pengiriman akan sangat mempengaruhi psikologis massa dalam mendapatkan minyak tanah.

Dari survei yang dilakukan kepada 120 (seratus dua puluh) pemilik/ pengelola pangkalan hasinya sekitar 1% pemilik pangkalan mengatakan bahwa agen seringkali terlambat dalam pengiriman minyak Tanah ke pangkalan, 11% menjawab kadang-kadang, dan sebagian besar lainnya (88%) menjawab tidak pernah terlambat.

Terlebih lagi pada saat kegiatan pemantauan mulai dilakukan, tangki-tangki agen rata-rata datang sesuai jadwal normal. Kuat dugaan, para agen telah dikondisikan oleh pihak pertamina bahwa akan ada kegiatan ini seperti yang tercantum dalam surat perintah kerja, dimana disebutkan bahwa kegiatan ini juga ditembuskan kepada pihak DPC Hiswana Migas).

5. Kekurangan volume pengiriman minyak ke pangkalan.
Masih ditemukan kondisi dimana volume minyak Tanah yang dikirim ke pangkalan tidak sesuai dengan jumlah yang semestinya. Diduga bahwa kegiatan ini dilakukan oleh sopir agen yang mengurangi (istilahnya kencing) volume minyak tanah dalam perjalanan dari Depo Pangkalan minyak Tanah.

Meski proporsi antara yang seringkali dan kadang-kadang masih lebih rendah dibanding yang tidak pernah mendapati kekurangan pengiriman jumlah liter minyak Tanah yang dikirim, namun dengan adanya laporan bahwa ada sekitar 15% (empat puluh persen) yang mengalami kondisi ini tetap cukup memprihatinkan dan harus lebih diperketat pengamanan terhadap kendaraan tangki minyak Tanah misalnya dengan melakukan pemasangan segel.

Kesimpulan Hasil Pemantauan dan Survei
Dari pemantauan (monitoring) dan survei yang dilakukan secara selama 10 (sepuluh) hari efektif kerja sejak tanggal 1 April hingga 12 April 2005 dapat disampaikan kesimpulan serta saran-saran yang bisa menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan distribusi minyak tanah seperti Pertamina, Pemerintah (pusat dan daerah) serta Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), diantaranya:

(1) Selama kegiatan pemantauan dilakukan masih ditemui adanya kelangkaan minyak tanah di tingkat pangkalan. Ini ditunjukkan dengan terjadinya antrian masyarakat dalam pembelian minyak tanah di pangkalan, meskipun dalam situasi yang masih terkendali.

(2) Masih banyak ditemukan perbedaan antara data pangkalan minyak tanah yang tertulis/ terdaftar dalam database Pertamina dengan hasil pantauan/ survei yang dilakukan Tim, khususnya dalam hal data alamat, pemilik, hingga alokasi per pangkalan.

(3) Secara umum sistem distribusi minyak tanah untuk konsumen akhir (end user) yang paling banyak dipantau adalah (secara berturut-turut):
1. Depo Plumpang – Agen – Pangkalan – Gerobak Dorong – Warung – Konsumen Akhir.
2. Depo Plumpang – Agen – Pangkalan – Gerobak Dorong – Konsumen Akhir.
3. Depo Plumpang – Agen – Pangkalan – Konsumen Akhir.

(4) Tingkat kepatuhan Para Pangkalan Terhadap Aturan Pertamina atas kewajiban/ peraturan/ ketentuan yang ditetapkan Pertamina UPMS III masih sangat rendah, khususnya dalam HET dan alokasi untuk rumah tangga yang harus disediakan setiap kali minyak tanah masuk ke pangkalan.

(5) Tim menemukan banyak pelanggaran, mulai dari yang sangat serius (pelanggaran terhadap UU No. 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi), pelanggaran administratif terhadap ketentuan Pertamina UPMS III, hingga pelanggaran yang tidak termasuk kedua kategori diatas namun tetap berpotensi untuk menyebabkan penyalahgunaan terhadap BBM bersubsidi yang berarti melanggar UU No. 22 tahun 2001 dan merugikan secara material bagi negara.

(6) Pelanggaran terhadap Harga Eceran Tertinggi (HET) di tingkat pangkalan masih sangat besar mencapai 55 pangkalan (46,21%) dari 120 pangkalan yang dipantau. Harga jual tertinggi ditingkat pangkalan yang ditemukan mencapai Rp. 1.250/ liter. Sedangkan harga jual rata-rata ditingkat pangkalan mencapai Rp. 916/ Liter.

(7) Salah satu penyebab utama melonjaknya HET nyata di tingkat pangkalan adalah dikarenakan masih ada Agen yang menjual ketingkat pangkalan dalam rentang harga diatas standar resmi Rp. 4.075.000/ tangki. Setidaknya ditemukan 10% Agen minyak Tanah yang menjual diatas standar resmi tersebut.

(8) Sebanyak 86 Pangkalan (72,88%) melanggar ketentuan Pertamina untuk wajib menjual setidaknya 20% dari minyak tanah yang masuk ke pangkalan secara langsung kepada sektor rumah tangga. Umumnya sektor rumah tangga hanya mendapatkan prioritas ke-3 dalam alokasi pendistribusian minyak Tanah di titik pangkalan setelah gerobak dorong, usaha kecil, atau warung-warung pengecer.

(9) Ditemukan 45 pangkalan pangkalan minyak tanah mendapat alokasi minyak tanah ≥ 80.000 Liter per Bulan (≥ 4 tangki per minggu). Bahkan ditemukan juga 30 pangkalan minyak tanah mendapat alokasi ≥ 100.000 Liter per bulan (≥ 5 tangki per minggu). Alokasi tertinggi mencapai 160.000 Liter per Bulan (dalam satu hari ada yang dua kali pengiriman). Rata-Rata mencapai 67.000 Liter per bulan (> 3 tangki per minggu). Alokasi terendah mencapai 5.000 liter per bulan (1 tangki per bulan)

(10) Jarak rata-rata antar pangkalan minyak Tanah sekitar 745 meter. Jarak terdekat antar dua pangkalan adalah 1,6 meter (Satu lokasi, 2 pangkalan) serta terjauh 3.000 meter. (dihitung menggunakan Global Positioning System)

(11) Usaha pengecer/ gerobak dorong yang terlibat dalam pendistribusian minyak Tanah bersubsidi mencapai rasio 1 berbanding 5,17 (Pangkalan : Gerobak Dorong). Dari 120 pangkalan yang dipantau dan disurvei terdapat sekitar 620 gerobak dorong yang mendistribusikan minyak Tanah ke pangkalan.

(12) Secara umum masih banyak ditemukan permasalahan meskipun tidak terlalu signifikan dari pihak pangkalan seputar pengiriman minyak Tanah oleh agen seperti dalam hal jadwal pengiriman, jumlah liter yang dikirim, hingga maraknya “uang cor” dari sopir tangki agen.


Perbaikan Sistem
Untuk mengantisipasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi perlu kiranya dibuat perbaikan sistem yang dilakukan oleh Pertamina, berikut sejumlah rekomendasi yang bisa diberikan :

(1) Pihak Pertamina UPMS III dapat lebih mempertegas aturan-aturan baik yang bersifat administratif maupun teknis bagi para agen dan pangkalan termasuk sanksi tegas bagi pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut. Aturan-aturan tersebut hendaknya dapat disosialisasikan secara meluas bagi kalangan agen dan pangkalan agar mereka mengerti dan memahami bagaimana berusaha minyak Tanah yang baik dan benar. Banyak pangkalan yang ternyata masih belum tahu dan faham terhadap aturan-aturan dalam niaga pertamina. Selanjutnya Pertamina UPMS III dapat memperbaharuhi aturan-aturan yang diperuntukan bagi kalangan agen dan pangkalan dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari hasil pantauan dan survei yang telah di lakukan.

(2) Pihak Pertamina UPMS III harus lebih mempebaiki database pangkalan Minyak Tanah yang ada di wilayahnya. Ke depan dapat dikembangkan database pangkalan dengan aplikasi berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dilengkapi dengan titik koordinat yang diperoleh dengan Global Positioning System (GPS). Sistem database ini dapat di-updating setiap bulan sehingga data milik Pertamina tidak kadaluarsa.

(3) Pertamina perlu mengkaji lebih jauh keberadaan pangkalan-pangkalan yang lokasinya berdekatan, berdampingan, bahkan dalam satu wilayah. Untuk pertamina perlu melakukan reposisi pangkalan-pangakaln yang lokasinya berdekatan agar tidak rawan dalam peyalahgunaan. Beberapa pangkalan yang lokasinya berdampingan atau berada dalam satu wilayah perlu dikaji lebih jauh kepemilikan pangkalan-pangkalan tersebut.

(4) Pertamina juga perlu mengkaji lebih jauh keberadaan pangkalan-pangkalan dengan alokasi minyak tanah per bulan yang sangat besar (> 80 KL/ bulan). Pangkalan dengan alokasi besar berpotensi untuk melakukan penyalahgunaan pemakaian minyak tanah bersubsidi mengingat kebutuhan masyarakat (rumah tangga) dalam wilayah pangkalan berdomisili tidak sebesar alokasi yang diperuntukan pangkalan tersebut. Solusi alternatif adalah dengan melakukan pemecahan pangkalan dalam radius yang relatif lebih jauh dan wajar.

(5) Untuk papan pangkalan, Pertamina harus melakukan standarisasi papan pangkalan baik dari sisi substansi (memuat sekurang-kurangnya Nama pemilik pangkalan, Nama Agen, NIAP Agen, Kontrak Pangkalan & Agen, HET resmi, Alokasi per bulan dalam satuan liter, jadwal pengiriman) maupun dari sisi tampilan yang lebih baik.

(6) Sebagai pihak yang ditunjuk untuk melakukan pendistribusian minyak Tanah bersubsidi, pangkalan-pangkalan perlu untuk ditekankan untuk lebih mmperhatikan aspek keamanan pangkalan (bahaya api) hingga kebersihan dan kerapian pangkalan. Sudah saatnya kesan jorok dan kotor pada pangkalan agar dikurangi melalui standarisasi kerapihan, kebersihan dan keamanan di pangkalan oleh pihak pertamina.

(7) Perlu dilakukan pemantauan (monitoring) dan survei secara lebih luas dan komprehensif pada seluruh pangkalan yang ada di DKI Jakarta beserta beberapa kota besar lain seperti Medan (UPMS I), Surabaya (UPMS V), dan Makasar (UPMS VII) sebagai perbandingan bagi kota Jakarta (UPMS III).

(8) Konsep Harga Eceran Tertinggi (HET) sudah semestinya ditinjau kembali karena dalam implementasinya konsep ini umumnya tidak dipatuhi oleh para pangkalan minyak Tanah. Dari besarannya yang terlalu ‘ganjil’ (Rp. 885) juga terkesan terlalu dipaksakan. Harus diperjelas bahwa Harga Eceran Tertinggi Pangkalan (HETP) harus dijalankan secara konsisten tidak hanya untuk gerobak dorong, namun juga berlaku untuk rumah tangga yang langsung melakukan pembelian di Pangkalan. Pertamina dan Pemerintah Daerah harus memperhatikan tingkat kelayakan dari Margin pangkalan dalam struktur HET sehingga pangkalan-pangkalan tidak mengambil kesempatan mendapatkan laba dengan cara menjual dengan HET.

(9) Pertamina harus mulai mempersiapkan sistem distribusi minyak alternatif yang dapat lebih meminimalisir in-efisiensi dalam pendistribusian minyak Tanah untuk rumah tangga. Dalam penyusunan tata niaga minyak Tanah alternatif, harus diperhatikan secara seksama keberadaan para pengecer dalam hal ini gerobak dorong yang jumlahnya sangat besar. Jika kemudian rantai distribusi minyak tanah dari pangkalan langsung dipotong maka jelas akan berdampak pada hajat hidup rakyat kecil yang ternyata sangat banyak.

(10) Pertamina harus bisa membuat kesetaraan posisi tawar (The Equilibrium of Bargaining Position) antara Agen Penjual Minyak Tanah (APMT) dan Pangkalan Minyak Tanah terutama dalam aspek teknis pendistribusian minyak tanah. Pangkalan Minyak Tanah semestinya bertanggung jawab langsung kepada Pertamina bukan melalui APMT. Dalam banyak hal posisi tawar pangkalan terlalu dibawah APMT. Dalam permasalahan pengaturan, pengurangan, bahkan pemutusan hubungan usaha (PHU) bagi pangkalan peran APMT terlalu besar.

(11) Pemerintah melalui Pertamina harus lebih aktif mensosialisasikan Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terutama dalam aspek hukum terhadap pelanggaran pendistribusian minyak Tanah bersubsidi.

(12) Perlu dibuat sistem dan alat bantu (tools) Monitoring distribusi minyak Tanah yang lebih efektif, efisien, dan independen agar publik dapat melaporkan terhadap berbagai kondisi di masyarakat terkait dengan terhambatnya pasokan, lonjakan harga eceran, hingga pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di tingkat pangkalan hingga pengecer.

No comments: